Tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali  menyayat hati. Insiden ini menjadi cerminan pahit bahwa kita seolah tak pernah belajar. Seperti pepatah lama: "Jatuh di lubang yang sama adalah kebodohan." Lagi-lagi, penyebabnya diklaim akibat cuaca buruk, manifest tak akurat, muatan berlebih, dan lemahnya pengawasan. Sering kali nakhoda, pemilik kapal, atau staf lapangan jadi kambing hitam, sementara akar masalahnya luput dikupas tuntas.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia membutuhkan angkutan penyeberangan yang andal, aman, dan nyaman. Jalur-jalur padat seperti Ketapang--Gilimanuk, Merak--Bakauheni, Bajoe--Kolaka, serta Kayangan--Pototano menjadi nadi penghubung antar-pulau. Fungsi angkutan penyeberangan bukan sekadar transportasi, tapi juga jembatan antarjaringan jalan nasional dan logistik antarpulau.
Namun, dalam praktiknya, angkutan penyeberangan sering disamakan dengan angkutan laut, padahal keduanya punya karakteristik berbeda. Kapal penyeberangan memerlukan draft rendah, dua pintu ramp, dan desain khusus untuk kendaraan. Pelayanannya pun bersifat point-to-point. Karena itu, dulu urusan ini berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, namun sejak April 2025 dipindahkan ke Direktorat Jenderal Perhubungan Laut---dan justru menimbulkan polemik baru.
Kasus tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya bukan yang pertama. KM Sinar Bangun di Danau Toba, KMP Lestari Maju di Selayar, hingga KMP Yuncee di Selat Bali adalah sederet contoh kelalaian sistemik. Umumnya, kapal yang mengalami kecelakaan adalah LCT (Landing Craft Tank) yang dimodifikasi jadi kapal penumpang Ro-Ro, tanpa kajian keselamatan memadai. Bahkan, kapal yang mestinya ber-GT 5.000 pun sering dimanipulasi ukurannya demi memenuhi syarat lintasan padat seperti Merak--Bakauheni.
Regulasi sudah ada, mulai dari PM 104 Tahun 2017 (izin penyelenggaraan angkutan penyeberangan), PM 30 Tahun 2016 (pengikatan kendaraan di atas kapal), hingga PM 115 Tahun 2016 (pengangkutan kendaraan di atas kapal). Namun implementasinya sering diakali. Drill keselamatan mingguan pun kerap diabaikan. SMC (Safety Management Certificate) tetap berlaku, meski pelaksanaan nyatanya nol besar.
Di setiap kecelakaan, kementerian lebih sibuk berdebat soal kelembagaan ketimbang menyelesaikan substansi. Kelaiklautan kapal, modifikasi ilegal, dan pengawasan yang longgar tak pernah disentuh serius. Lalu, ketika masalah muncul, solusi yang diajukan justru tukar-tukar kewenangan antar-direktorat, bukan perbaikan sistem.
Padahal, pascatragedi KM Sinar Bangun, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat sempat melakukan reformasi dengan memperkuat SDM dan sistem. Tapi kini, ketika urusan kembali ke Perhubungan Laut, kecelakaan justru berulang.
Sebagai anak bangsa, Ari Sumarto Taslim turut berduka cita atas tragedi tenggelamnya KMP di Selat Bali.
"Sudah saatnya urusan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (TSDP) berdiri sendiri sebagai Direktorat Jenderal yang terpisah. Selama ini hanya ditangani satu direktorat eselon 2, tak sebanding dengan kompleksitas masalahnya.Jika terus berada di bawah DJPD atau DJPL, perhatian dan alokasi sumber daya akan selalu terbagi dan tak fokus," ucap Ari Sumarto Taslim.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI