Pendidikan adalah denyut nadi sebuah bangsa. Ia bukan sekadar institusi atau kurikulum, melainkan cermin peradaban dan arah masa depan suatu negeri. Setiap tahun, pada tanggal 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), mengenang jasa Ki Hajar Dewantara, seorang pelopor kebangkitan pendidikan yang memandang ilmu bukan semata soal angka dan gelar, melainkan alat pembebas jiwa dan pengangkat derajat manusia.
Namun, di tengah hiruk-pikuk transformasi zaman, sistem pendidikan kita masih dibayangi oleh warisan model penyeragaman yang kaku. Model yang menyamaratakan anak-anak dari Sabang sampai Merauke seolah-olah mereka hidup dalam lingkungan dan kultur yang sama. Padahal, Indonesia adalah mozaik kebudayaan yang kaya, sebuah gugusan kepulauan yang dihuni oleh ratusan etnis dan agama yang memiliki cara pandang dan kebutuhan yang beragam.
Saat dunia telah bergerak menuju pendidikan yang personal, adaptif, dan berbasis konteks lokal, kita masih berkutat dengan kebijakan tunggal yang kadang terasa jauh dari realitas di lapangan. Maka, Hari Pendidikan Nasional seharusnya bukan sekadar seremoni rutin, melainkan momen reflektif untuk bertanya: apakah sistem pendidikan kita benar-benar membangun manusia Indonesia seutuhnya?
Kini, saat Indonesia menatap ambisi besar menuju Indonesia Emas 2045, inilah waktunya untuk mereformulasi arah pendidikan. Dari sistem yang menyeragamkan menjadi sistem yang menghargai perbedaan. Dari sekadar mengajar untuk menghafal menjadi membimbing untuk berpikir dan merasa. Dari pola lama yang mencetak generasi seragam, menuju pendekatan baru yang membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan, sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
Penyeragaman Sistem Pendidikan: Masalah di Tengah Keberagaman
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau, dihuni oleh ratusan suku bangsa, bahasa daerah, dan sistem nilai budaya yang berbeda-beda. Dalam kenyataan ini, pendekatan pendidikan yang seragam dan tersentralisasi justru berpotensi menimbulkan ketimpangan, baik dalam akses, pemahaman, maupun relevansi isi pelajaran terhadap kebutuhan hidup masyarakat setempat.
Sistem penyeragaman yang selama ini diterapkan, seperti kurikulum nasional tunggal, model evaluasi yang sama dari kota hingga pelosok, serta tolok ukur keberhasilan berbasis ujian nasional, sering kali mengabaikan konteks sosial dan kultural peserta didik. Anak-anak di pedalaman Papua atau pesisir Maluku, misalnya, diajarkan konten yang sama dengan anak-anak di pusat kota Jakarta, tanpa mempertimbangkan ketersediaan infrastruktur, lingkungan belajar, hingga bahasa ibu yang mereka gunakan sehari-hari. Hal ini tidak hanya menciptakan kesenjangan prestasi, tetapi juga membuat pendidikan terasa asing dan tidak membumi.
Penyeragaman juga telah menutup ruang bagi kreativitas lokal. Guru-guru di daerah yang seharusnya menjadi agen perubahan justru dibebani oleh standar administratif yang kaku. Sementara itu, kearifan lokal, yang merupakan sumber nilai dan kekuatan karakter bangsa, sering kali tidak diberi ruang dalam kurikulum formal. Pendidikan menjadi terlalu teknokratis, kehilangan sentuhan kebudayaan dan spiritualitas yang justru menjadi jati diri bangsa Indonesia.
Dalam jangka panjang, sistem seragam ini tidak hanya menciptakan disparitas, tetapi juga bisa menimbulkan alienasi identitas. Anak-anak Indonesia tumbuh dengan beban "harus menjadi seperti standar nasional," bukan menjadi versi terbaik dari potensi dan akar budayanya sendiri. Akibatnya, pendidikan gagal membentuk manusia Indonesia yang utuh, yang tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga memiliki kepekaan sosial, etika, dan jiwa kebangsaan yang kuat.
Oleh karena itu, sudah saatnya paradigma ini dirombak. Bukan berarti meniadakan standar nasional sama sekali, tetapi menata ulang sistem agar lebih adaptif terhadap keragaman geografis, sosial, dan kultural Indonesia. Pendidikan tidak boleh bersifat "satu ukuran untuk semua", melainkan harus inklusif, kontekstual, dan dialogis, sejalan dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan cita-cita keadaban bangsa.
Solusi Obyektif: Pendidikan Kontekstual, Beretika, dan Berpancasila