Mohon tunggu...
Isma Maulana Ihsan
Isma Maulana Ihsan Mohon Tunggu... Jurnalis - Founder BelajarPolitik

Mahasiswa aktif S1 UIN Sunan Gunung Djati Bandung sekaligus pendiri BelajarPolitik.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kompleksitas Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi

12 September 2022   06:18 Diperbarui: 12 September 2022   06:26 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Erosi yang terjadi di berbagai belahan dunia menjadikan wacana tentang demokrasi semakin hangat untuk diperbincangkan dewasa ini. Terjadinya otokrasi Xin Jinping di Asia Timur (China), populisme Erdogan di Turkiye, Vladimir Putin di Eropa menjadikan dialektika demokrasi semakin menguat, seiring dengan itu semakin banyak ia dibahas semakin sulit pula mencari contoh negara yang memenuhi tatanan demokrasi secara sempurna (Purwaneni, 2004). 

Di Indonesia sendiri, demokrasi pascareformasi yang menurut euforia awalnya akan tegak seiring dengan kehancuran diktatorisme Orde Baru ternyata demokrasi yang terjadi masih bersifat prosedural-kelembagaan, secara etis-subtantif belum sepenuhnya diterapkan (Arianti et al, 2022). Tulisan ini akan mencoba untuk melihat kompleksitas demokrasi yang terjadi terutama demokrasi pascareformasi 1998 di Indonesia di tengah erosi yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Konfigurasi politik-demokrasi pasca Orde Baru memang membuka ruang bagi masyarakat untuk terlibat secara maksimal dalam menentukan kebijakan negara. Ketika reformasi menyeruak dalam sosial-teks kehidupan masyarakat Indonesia. Muncul harapan akan lahirnya tatanan dan sistem politik Indonesia yang benar-benar demokratis. 

Namun, setelah dua puluh tahun berjalan. Demokrasi yang diharapkan belum sepenuhnya terjadi, demokrasi pun kemudian dipertanyakan dan digugat ketika sejumlah praktik politik mengatasnamakan demokrasi seringkali memperlihatkan paradoks dan kompleksitasnya sendiri (Purwaneni, 2004). 

Ditambah dengan erosi demokrasi lainnya seperti adanya politik dinasti yang dilakukan oleh rezim, menampakkan kompleksitas tersendiri dalam wajah demokrasi kita, pencalonan kandidat Presiden dan wakilnya yang dibatasi oleh Presidential Treshold, menurut beberapa ahli politik semakin memperlihatkan kompleksitas demokrasi Indonesia yang hanya berjalan dalam tataran retorika, dalam kehidupan riil politik Indonesia masih terkungkung dalam praktik yang mengarah pada otoritarianisme dan kehancuran demokrasi yang semakin membuat sulitnya bangsa Indonesia untuk menciptakan iklim demokratis yang subtansial.

Menurut Suharso, salah satu paradoks demokrasi Indonesia pascareformasi adalah tidak berjalannya demokrasi sebagai agenda politik melainkan hanya sebatas bahan pencitraan elite belaka. 

Sehingga, ketika dulu era Orde Baru banyak yang menentang keseragaman, kini sebagian elite berpandangan bahwa demokrasi bukan hanya persoalan perbedaan melainkan kesamaan-samaan, dulu era Soekarno pilihan tunggal mendapat banyak pertentangan, setelah reformasi tidak sedikit kita melihat dalam pemilihan umum seorang pasangan calon melawan kotak kosong yang katanya, demokratis. 

Pada akhirnya, kompleksitas yang terbentuk ialah demokrasi yang tidak merupa idealisme dalam usaha kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan hanya alat dan isu untuk meraih perhatian belaka (pencitraan). 

Lebih lanjut, dalam Arianti et, al (2022) ada kompleksitas tersendiri dalam usaha membangun demokrasi Indonesia dewasa ini, adanya polarisasi yang merupakan implikasi logis dari keberagaman bangsa Indonesia (Jurdi, 2016) pun akibat adanya paradoks demokrasi yang diakibatkan oleh kultus individu. 

Jika kultus terhadap Soeharto dengan berbagai simbolnya mendapat pertentangan, pada hari ini justru hal tersebut diperagakkan dengan begitu sadar dan insyaf. 

Dengan kemajuan teknologi, jenis komunikasi politik aktor pun berbeda. Dengan tumbuhnya demokrasi di ruang digital ternyata menumbuhkan juga kompleksitas didalamnya, yaitu bermunculannya buzzerRp dan influencer politik yang memang menjadi 'hama' dalam proses pen-demokratisasian masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun