Mendadak Devika sulit dihubungi. Raka semakin gelisah dan bertanya-tanya, ada apa gerangan? Mengapa dia tak merasakan ada sinyal buruk yang telah terjadi dalam hubungan mereka.
Raka tergesa-gesa pulang ke rumah lebih awal, berharap di rumah Devika sudah kembali dan segera menjelaskan semua ini. Sesampainya di rumah Raka hanya menemukan surat, yang berisi, bahwa Devika akan pulang larut malam. Dan tanpa alasan.
Kepala Raka serasa mau pecah dan jantung berpacu dengan cepat, sungguh sulit untuk tenang dan berpikir jernih. Gejolak ini bercampur aduk, antara kecewa, marah, sakit hati dan juga takut. Tiba-tiba Avara datang dengan senyum gembiranya, yang membuat hati Raka semakin tak menentu.
Sudah jam 10.00 malam, Devika belum juga datang. Avara sudah terlelap di samping Raka, tak biasanya Avara minta ditemani Ayahnya saat akan tidur. Tadi Avara dengan setengah merengek memohon agar Ayahnya membacakan sebuah cerita sebelum dia tidur.
Akhirnya terdengar juga suara ada orang yang datang dan Raka refleks melihat jam yang menunjukkan jama 1 lewat. Raka menunggu Devika di ruang makan, saat Devika melewatinya, Raka berkata: "Kita perlu bicara"
"Bisa kita bicara besok saja?" Devika tak mampu melihat mata Raka.
"Tidak. Kita harus bicara sekarang. Menunggu besok tak ada gunanya, karena aku pun tak bisa tidur."
Lalu Devika pun duduk. Raka menatap mata Devika yang terlihat lelah sekali, lalu bertanya: "Langsung saja, apa maksud surat gugatan cerai itu?"
"Aku hanya tidak sanggup menjalaninya lagi."
"Mengapa? Apa aku sudah menyakiti hati mu? Atau ada masalah lain?"
"Hmmm.. Aku tak tau harus mulai dari mana. Ini rumit Mas."