Mohon tunggu...
Made Kusumadewi
Made Kusumadewi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

lagi belajar nulis.....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[MPK] Simfoni Perjalanan Kalisya

10 Juni 2011   18:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:38 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Kekaguman, kasih, dan kebersamaan berjalan sementara, lalu berakhir pada rengkuhan kehendak-Nya…merajut renda serpihan bilah kisah yang tergaris, menjadi bekal menuju Sang Kalik kelak”

Siang itu cerah seperti biasanya. Sengatan sinar matahari tidak mengurungkan niat Kalisya meninggalkan rumah kecil yang dikontraknya di perbatasan antara Jakarta dan Tangerang. Dengan pembawaan khasnya yang ceria, Kalisya yang biasa disapa Kalis saja, mengunci pintu rumahnya, kemudian menyalakan kendaraan roda empat yang selalu menemaninya menyusuri hiruk pikuk kota Jakarta di keseharian aktivitasnya.

Di tempat yang berbeda, puluhan kilometer dari kediaman Kalis, seorang laki-laki berbadan tegap bernama Bagas masih saja dalam berbagai tanda tanya.

“Apa yang sebenarnya terjadi pada Kalis?”

Kalis adalah teman sekantornya. Gadis yang selalu tampak ceria dan bersikap ramah itu. Tanpa ragu, segan, dan sungkan, Bagas sering sekali menunjukkan perhatian yang lebih kepada wanita berparas cantik itu. Hanya balasan senyuman yang sering diterima dalam bisuan ucapan apapun.

Siang itu, Bagas hendak menemui Kalis. Sudah beberapa hari belakangan ini, Bagas menemuinya dan mengajaknya keluar bersama. Kalis hanya tersenyum dalam bisunya. Lalu berucap lirih,

“Saya sudah ada janji, maaf ya!”

Jawaban Kalis singkat, tapi tetap tidak meninggalkan keramahannya. Dengan perasaan sedikit kecewa, Bagas membututi Kalis menuju kediamnannya.

Di sebuah toko kue dan alat-alat tulis, Kalis turun dari kendaraannya. Dia sudah terlihat akrab dengan pelayan toko di sana. Nampak tidak ada kekakuan. Mereka sesekali tertawa bersama. Lalu, dua buah kardus besar dibawa pelayan toko dan dimasukan ke dalam bagasi mobil Kalis.

Bagas belum putus semangat. Dengan segala kayakinan hatinya dia terus mengikuti Kalis hingga tiba di kediamannya.Kardus-kardus di bagasi tidak Kalis turunkan. Bahkan dia masuk ke dalam rumah tanpa menengok lagi pada bagasi mobilnya.

******

Hari ini seluruh karyawan libur. Pagi-pagi sekali Bagas sudah berpakaian rapi dan siap meninggalkan apartemennya. Dengan penuh semangat Bagas menembus segarnya udara pagi kota yang seadanya saja. Kediaman Kalis adalah tujuannya.

Sampai di tikungan terakhir menuju rumah bercat merah bataitu, tatapannya tertuju pada kendaraan yang melintas di seberang jalan. Dengan segera Bagas memutar balik arah mobilnya dan mengikuti kendaraan dengan plat nomor dan warna yang sudah sangat dia hafal di luar kepala itu.

Dengan segala tanda tanyanya, Bagas masih saja setia membuntuti wanita yang selalu mengganggu pikirannya itu. Entah karena penasaran atau cinta yang berlebih, sehingga membuat Bagas selalu ingin menjadi bagian darihari-hari Kalis.

Ungkapan sayang dan cinta serta perhatiannya hanya dibalas dengan senyuman dan keramahan ucapan “terimakasih”. Aahh….bagi Bagas perjalanan ini amat membingungkan.

Oh…..betapa terkesimanya Bagas melihat pemandangan di hadapannya. Dia parkirkankendaraan agak jauh dari kendaraan Kalis berhenti. Pada saat yang sama, di sebuah halaman kecil, puluhan anak-anak berlari menghampiri Kalis. Mereka menyalaminya, terlihat akrab, dan tampak mengharukan. Nampak seorang anak dengan usia mungkin sekitar 4 tahun, berlari paling belakang dari teman-temannya. Kalis pun menghampiri dan menggendongnya. Kenapa saat itu Bagas terkesima dengan pemandangan itu?

Hatinya seperti luluh. Lemas sekujur tubuhnya. Inilah tempat yang selalu Kalis katakan “sudah ada janji”.

Semakin banyak pertanyaan di pikiran Bagas tentang wanita itu. Kenapa selalu menghindar saat pria-pria menghampirinya dan memberikan perhatian lebih padanya. Apa yang kurang dari dirinya. Parasnya, pekerjaannya, tutur katanya, keramahannya, kerendahan hatinya bahkan ke taatannya beribadah. Tidak menunjukan sesuatu yang salah sedikitpun.

Semakin terbuai Bagas dalam lamunan dan angannya. Dari kejauhan tampak Kalis bercanda dan tertawa ceria bersama anak-anak penghuni pondok itu. Kemudian sesaat terdengar teriakan,

“Kakak………”

Bagas yang mulai merasakan kantuk di dalam mobil, setengah terkaget mendengar teriakan kecil itu. Seperti ada yang membangunkan dari kantuk sesaatnya.

Seorang anak kecil berlari ke arah gerbang. Entah kenapa, Bagas ingin sekali menghampirinya.

“Ada apa, Dik?”, sapa Bagas.

“Kakak Kalis pingsan om”, sang anak menjawab.

“Adik mau ke mana?” tanya Bagas bercampur rasa cemas dan kawatir.

“Mau panggil Pak Dokter di sana”, jawabnya lantang sambil terus berlari ke arah ujung jalan.

Dengan memberanikan diri Bagas memasuki ruang demi ruang di pondok itu. Kemudian ia menemukan pemandangan yang mengharukan. Di sebuah kamar di sudut Pondok, terlihat tempat tidur yang dikelilingi oleh anak-anak penghuninya. Ada yang memijat kaki Kalis. Ada yang berdoa.

Hati Bagas semakin tidak karuan melihat pemandangan di hadapannya itu.

Tiba-tiba terdengar suara ibu-ibu paruh baya menyapanya.

“Maaf, Adik siapa?”,

“Saya Bagas, teman Kalis”, jawab Bagas.

“Oh, ini nak Bagas. Beberapa kali Kalis pernah menyebut dan bercerita tentang nama Bagas”, kata ibu itu.

“Kalis selalu bermain di sini di sela kesibukan pekerjaannya. Pondok ini adalah keluarga buat dia. Dia memang besar di Pondok ini. Sejak orang tuanya divonis dokter menderita HIV. Kedua orang tuanya menitipkan Kalis yang masih berusia 3 tahun di sini. Dan saat usia Kalis 12 tahun, kedua orangtuanya pergi untuk selamanya”, ungkap ibu, yang ternyata pemilik pondok, sambil memandang anak-anak yang terlihat begitu mengkhawatirkan keadaan Kalis.

“Kalis kakak buat mereka semua. Menjelang dewasa, Kalis sering merasa lemas. Dengan riwayat orangtuanya yang menderita HIV, dokter menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan pada Kalis. Bertahun-tahun Kalis menjalani pemeriksaan yang disarankan dokter dan akhirnya…..”, sambil menarik nafas panjang, ibu pemilik pondok menghentikan ceritanya.

Hati Bagas tiba-tiba kalut. Dia merasakan kekhawatiran yang begitu dalam.

“Lalu…..Kalis?”, singkat terucap kata-kata itu dari mulut Bagas.

“Iya Nak, Kalis dinyatakan positif terkena HIV karena saat dia dalam kandungan, ibunya menderita HIV”.

Tiba-tiba hawa panas merayapi sekujur tubuh Bagas. Lemas dan dengan pandangan penuh arti, Bagas menoleh ke arah wanita yang tertidur di dipan sebelahnya berdiri.

“Saya tahu persis, orang tua Kalis adalah orang tua yang baik. Ayahnya pengusaha besar. Ibunya seorang wanita yang taat ibadah. Menurut dokter keluarganya, Ibu Kalis tertular HIV saat terjadi musibah perampokan di rumahnya. Salah seorang perampok memperkosa ibu Kalis. Saat itu, beberapa minggu sebelumnya sang ibu dinyatakan hamil oleh dokter”.

Bagas terpaku mendengar cerita ibu pemilik pondok itu. Matanya memanas dan tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Bukan karena kasihan dan iba pada Kalis. Tapi karena keyakinan, wanita yang tertidur di hadapannya adalah wanita yang amat Bagas cintai.

Kepantasan kita sebagai sosok mahluk-Nya terletak pada tindak empati…ikut merasakan apa yang dia-mereka rasakan, menampakan peduli pada apa yang dia-mereka alami, tanpa sikap tuntut balik…empatilah roh perasaan sayang dan cinta yang sejati- tulus…sumber harmonisasi teater hidup kita..asal muasal laku bijak dalam sikap jura pada-Nya”

Peserta No.58 (refotorai + d-wee)

NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasilkarya malam prosa kolaborasi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun