Setiap pagi, jutaan pekerja di seluruh Indonesia meninggalkan rumah. Mereka pamit pada keluarga, berharap bisa kembali pulang di sore hari dengan selamat. Di antara harapan dan realita keras di tempat kerja, baik itu di ketinggian gedung pencakar langit, di samping deru mesin pabrik, maupun di tengah proyek infrastruktur. Ada satu sistem yang seharusnya menjadi malaikat pelindung mereka: Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
K3 bukanlah sekadar helm atau sepatu bot. Ia adalah sebuah sistem komprehensif yang dirancang untuk memastikan setiap risiko telah diidentifikasi, diukur, dan dikendalikan. Puncaknya seringkali terwujud dalam selembar sertifikat yang menyatakan bahwa sebuah perusahaan telah memenuhi standar kelayakan.
Namun, apa yang terjadi ketika sertifikat itu, sang penjaga nyawa, bisa "dibeli"?
Kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan sertifikasi K3 yang baru-baru ini mencuat di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan adalah alarm yang memekakkan telinga. Ini bukan sekadar berita tentang penyalahgunaan wewenang atau perputaran uang haram. Ini adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan jutaan pekerja. Ini adalah cerita tentang bagaimana korupsi di level atas secara langsung menempatkan nyawa dan produktivitas pekerja di level paling bawah sebagai taruhannya.
Ilusi Keselamatan di Atas Kertas
Ketika sebuah sertifikat K3 bisa "dibeli", bukan berarti ada transaksi jual-beli selembar kertas di pasar gelap. Praktiknya lebih halus dan berbahaya. "Membeli" sertifikat berarti membayar untuk sebuah jalan pintas:
Membayar agar auditor "menutup mata" pada perancah yang sudah rapuh.
Membayar agar mesin produksi yang pelindungnya rusak tetap diloloskan.
Membayar agar catatan pelatihan keselamatan fiktif dianggap sah.
Membayar agar sertifikat Ahli K3 terbit untuk personel yang tidak kompeten.
Hasilnya adalah sebuah ilusi yang mematikan. Perusahaan memegang sertifikat yang valid secara hukum, para manajer merasa tenang, namun para pekerja di lapangan sesungguhnya bekerja di tengah bom waktu. Mereka dilindungi oleh selembar kertas, bukan oleh standar keselamatan yang nyata.