Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kekerasan Seksual di Kabupaten Banjarnegara

24 Februari 2015   19:43 Diperbarui: 20 Juni 2016   15:14 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar www.lbh-keadilan.org

Pelecehan atau dalam bahasa yang lebih familiar kerap disebut grawilan sesungguhnya bukanlah perilaku biasa, namun dalam kenyataannya perkara ini terkadang masih dipandang hanya sebagai “aib” bahkan tabu untuk dibicarakan, baik oleh korban maupun keluarganya. Namun berbeda bagi pelaku, tidak jarang kita saksikan dapat “lolos” dari jerat hukuman, entah karena alasan apa persoalan pelecehan seksual menjadi semakin kompleks dan tidak mudah untuk diproses. Dalam diskursus pelecehan seksual perempuan hampir dapat dipastikan menempati urutan pertama sebagai korban meskipun tidak menutup kemungkinan ada pula korban laki-laki namun jumlahnya tidak sebanyak perempuan. Kenapa demikian? karena patut diduga korban tidak “merasa” dirinya menjadi korban pelecehan.

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di pinggiran Banjarnegara, saya merasa memiliki tanggung jawab untuk menggugah para pembaca terkait dengan realita pelecehan seksual di sekitar kita. Tengok saja catatan yang dilansir oleh P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) kabupaten Banjarnegara, dari tahun ke tahun angka kekerasan seksual mengalami kecenderungan naik yang patut kita wasapadai.

Tahun 2009 misalnya tercatat ada 27 kasus kekerasan dan 11 diantaranya adalah kekerasan seksual dengan korban perempuan dewasa 4 orang dan 7 anak perempuan. Tahun 2010 mengalami kenaikan drastis, tercatat ada 62 kasus kekerasan dengan korban kekerasan seksual mencapai 23 orang, 1 perempuan dewasa 19 korban anak perempuan dan 3 anak laki-laki. Tahun 2011 pun demikian, tercatat 63 kasus kekerasan dengan korban kekerasan seksual berjumlah 12 orang, 1 perempuan desawa dan 12 korban anak perempuan.

Sedangkan pada 2012 tercacat 61 kekerasan dengan korban sebanyak 23 orang, 1 perempuan dewasa serta 22 anak perempuan. Memang pada tahun 2013 hanya tercatat 49 kekerasan dengan korban kekerasan seksual 22 orang, 2 perempuan dewas, 3 anak laki-laki dan 17 anak perempuan bukan berarti persoalan pelecehan seksual bisa dianggap adem ayem saja. Kenapa begitu? Karena persoalan kekerasan seksual, meminjam bahasa para pegiat anti kekerasan seperti fenomena gunung es yang tampak di permukaan namun bergemuruh di dasar yang sewaktu-waktu dapat meledak. Oleh karenanya di depan kita ada tantangan besar dan pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi seluruh lapisan masyarakat umumnya serta pemerintah daerah setempat khususnya. 

Di kabupaten Banjarnegara memang telah terbit peraturan bupati No. 420 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Bagi Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Kekerasan Terhadap Anak, namun bukan berarti persoalan kekerasan seksual telah selesai. Dalam konteks ini, menurut hemat saya perlu pemahaman kembali atau redefinisi mengenai pencegahan dan penanganan korban kekerasan (seksual) terutama bagi perempuan dan anak, baik di ranah domestik maupun publik. Misalnya dalam konteks merujuk korban, Negara dalam ini adalah pemerintah daerah perlu berpikir keras mengenai kebijakan yang lebih ramah/aplikatif untuk mengurangi kesan “birokratis” dalam melakukan penanganan korban kekerasan (seksual), baik di tingkat desa, kecamatan (Pusat Pelayanan Terpadu) dan kabupaten (P2TP2A). Artinya bahwa di setiap lini layanan, para aparat sudah seharusnya memiliki kemampuan yang sama dalam melakukan penanganan korban kekerasan mulai dari tingkat konseling awal sampai rujukan.

Tidak kalah penting pula bahwa di setiap layanan yang disediakan oleh pemerintah, perlu dipersiapkan para “tenaga” terdidik atau yang terbiasa atau bahkan “mumpuni” di bidangnya yaitu dalam mendampingi korban kekerasan, dalam konteks ini yang mendesak menurut pandangan saya adalah tenaga konselor yang merupakan pintu awal pendampingan psikis bagi para korban kekerasan berbasis gender. Selain penguatan kebijakan di tingkat daerah menurut hemat saya setiap desa perlu menyambut baik perbub tersebut diatas dengan carsalah satu pedoman dalam menerbitkan peraturan desa (baca RPJMDes) sebagai salah satu bentuk mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tingkat perdesaan. Dengan diterbitkannya peraturan desa, maka secara tidak langsung masyarakat secara luas diajak turut serta dalam melakukan pembenahan layanan bagi korban kekerasan yang sejauh ini saya rasakan masih jauh dari kata ideal.

Kekerasan (seksual) tidak boleh lagi dianggap sebagai persoalan individu korban dan keluarganya, karena kekerasan seksual di segala lini merupakan suatu ancaman nyata sangat serius. Bahkan tempat yang kita anggap paling aman-pun, yakni rumah dan sekolah tidak luput dari ancaman kekerasan. Oleh karenanya menurut hemat saya setiap orang memiliki kepentingan yang sama untuk mencegah dari persoalan tersebut.

Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk berperan serta dalam upaya meminimalisir kekerasan (seksual) baik bagi anak maupun perempuan. Sedikit demi sedikit mau tidak mau kita perlu merubah pola pikir yang berpandangan bahwa laki-laki adalah “penguasa” perempuan (patriarkhi). Perhatikanlah Dalam catatan sejarah kehidupan, laki-laki tidak jarang dianggap sebagai makhluk yang paling kuat dan perempuan merupakan makhluk lemah. Dalam teori patriarkhi (menganggap laki-laki lebih unggul) tidak mudah menemukan pembagian peran yang setara antara laki-laki dan perempuan.Selanjutnya, alangkah baiknya dari kalangan ahli agama untuk kembali membangun atau melahirkan tafsir-tafsir yang lebih “ramah” terhadap nilai-nilai kesetaraan dan keadilan bagi sesama, karena tampak jelas dalam penglihatan bahwa tidak terlalu sulit kita menemukan tafsir dari suatu dalil/ayat yang jauh dari kata setara, bahkan lebih miris lagi apabila ada yang memiliki anggapan bahwa tafsir lebih benar ketimbang kitab sucinya.

Catatan berikutnya secara psikologis kita perlu membuka diri serta bersedia untuk merekonstruksi pemahaman kita mengenai keadilan dan kesetaraan. Saya mafhum bahwa hal ini tidak mudah dilakukan, apalagi ada pengetahuan-pengetahuan yang telah tertanam dalam memori kita semenjak masih kanak-kanak. Namun begitu, tidak ada ruginya kita mencoba sesuatu yang “baru” demi terciptanya keadilan-kesetaraan yang diharapkan melahirkan nilai kehidupan yang mengesampingkan aku-isme (merasa paling benar), karena pada hakikatnya kita adalah makhluk setara dan hanya perbuatan baiklah yang menjadikan kita berbeda dari orang lain.

Oleh karenanya, berdiam diri atau menerima begitu saja bukanlah jawaban atas persoalan kekerasan yang dewasa ini kerap terjadi, terlebih bagi korban anak. Sebagai salah satu anggota masyarakat kita memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan secara lengkap apa itu kekerasan (seksual) dan apa yang perlu dilakukan untuk mencegahnya.Pertama, kita tidak perlu tabu untuk membicarakan kekerasan tentu saja dengan cara yang bijak. Kedua, kita perlu mengajarkan pada anak, saudara teman dan orang lain mengenai “privasi” yang melekat di tubuh kita yang tidak boleh disentuh orang lain, meminjam bahasa orang-orang pintar ada yang namanya sentuhan aman dan tidak aman. Ketiga, kita perlu menyebarluaskan bahwa perilaku kekerasan diancam dengan hukuman yang tidak ringan, ke-empat membagi informasi kepada masyarakat mengenai keberadaan pusat layanan bagi korban kekerasan serta ke-lima membangun kesadaran kolektif untuk berperilaku asertif apabila menjumpai persoalan kekerasan.*

*Dari berbagai sumber

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun