Mestinya KAI bisa meningkatkan utilisasi rel kereta double track dengan cara: Pertama menambah armada kereta api jarak jauh dengan menghidupkan kembali nama kereta uyang sudah hilang seperti gaya baru malam utara atau bisa saja membuat nama baru. Tujuannya adalah meningkatkan daya angkut kereta penumpang. Kedua, kereta api mengisi ceruk pasar penumpang diantara bus dan pesawat. Jika untuk Jakarta-Surabaya harga tiket bus eksekutif Rp 300 ribu dan pesawat Rp 500 ribu, mestinya tiket paling mahal KAI yaitu Agro Anggrek adalah Rp 400 ribu. Sehingga akan ada urut kacang sesuai kelas kereta api. Dengan cara ini, maka akan semakin banyak yang naik kereta api. Ketiga, buat jalur rute menengah seperti Surabaya-Madiun, Yogyakarta-Madiun, perbanyak rute Surabaya-Semarang, Yogyakarta-Bandung dan lainnya.
Menggunakan kendaraan darat dari Surabaya-Semarang setidaknya memakan waktu 7-8 jam, bandingkan dengan kereta yang hanya sekitar 3-4 jam. Tentu mestinya dapat dimanfaatkan KAI untuk mendapatkan potensi bisnis baru. Eksplorasi minyak di Cepu tentu akan semakin memperbanyak mobilitas dari arah Surabaya-Semarang.
KAI Tidak Fokus Pada Pengangkutan Penumpang dan Barang
Nampak KAI ikut-ikutan berbagai BUMN untuk mengutilisasi aset dengan membentuk anak usaha baru dibidang properti dan lainnya. Tidak salah memang, tapi kenapa tidak diserahkan ke BUMN lain yang berkecimpung dibidang tersebut dan cukup deviden saja. Jika takut dicurangi tentu di perjanjian bisa dibentengi.
Upaya optimalisasi potensi sah-sah saja, namun mestinya fokus pada kompetensi inti KAI yaitu di angkutan penumpang dan barang. Diluar kompetensi inti, sebaiknya dikerjasamakan dengan perusahaan lain yang lebih kompeten.
Ada keluhan yang pernah saya rasakan, seperti parkir. Di Bandara Juanda ongkos parkir motor adalah Rp 1.500,- per sekali parkir (berapapun jamnya) atau maksimal Rp 5.000 sehari. Sedangkan di St. Gubeng ongkos parkir perjam Rp 3.000,-. Jika saya ada tugas keluar kota atau ada acara, setidaknya 48 jam biaya yang dikeluarkan untuk parkir atau sekitar Rp 144.000,-. Bandingkan dengan biaya parkir di Bandara Juanda yang hanya Rp 10.000,- (2 hari). Biaya ini tentu menambah total biaya naik kereta api.
Keberhasilan KAI tidak bisa dilihat dari sekedar keuntungan, karena asal jujur saja mengelola KAI pasti untung karena monopoli di moda transportasi kereta api. Tetapi keberhasilan seharusnya diukur dari berapa peningkatan jumlah penumpang yang bisa diangkut dan berapa komposisinya. Idealnya adalah 40% ekonomi, 30% bisnis, 30% eksekutif. Angka ini sudah jauh moderat dibandingkan kewajiban pengembang perumahan dengan hitungan 1:2:3 yaitu 1 rumah mewah, 2 rumah menengah dan 3 rumah sederhana. Artinya jika pengembang bangun 1.000 rumah mewah maka harus juga bangun 3.000 rumah sederhana. Lha ini kok KAI yang BUMN dan dapat fasilitas Pemerintah kok lebih utamakan bisnis dan eksekutif?
Reformasi Angkutan Udara Terapkan di Angkutan Darat
Cara lain mempercepat transformasi KAI adalah memisahkan tugas angkutan penumpang dan barang dengan tugas mengatur/memelihara infrastruktur. Dahulu PT Angkasa Pura mengendalikan lalulintas (traffic) pesawat yang ada fee setiap memandu naik dan turun pesawat, selain pendapatan sewa parkir pesawat dan non aeronautical lainnya. Lalu Pemerintah membentuk Perum Navigasi yang mengontrol seluruh penerbangan di Indonesia sehingga Angkasa Pura fokus pada perannya sebagai penyedia layanan bandara. Hasilnya meskipun jumlah bandara tetap dan runway relatif tidak bertambah, frekuensi penerbangan pesawat naik pesat dan maskapi setiap bulan menerima pesawat baru. Artinya apa? Terjadi optimalisasi aset secara luar biasa.
Bisa saja KAI ditetapkan sebagai Perusahaan yang fokus pada pengangkutan penumpang dan barang, lalu ada Perum yang mengelola stasiun dan rel kereta api. Kan tinggal transfer pegawai ke BUMN yang baru tersebut. Jika ini bisa dilakukan maka dapat dibuka kesempatan swasta untuk ikut terjun di bisnis angkutan penumpang dan barang melalui jalur kereta api yang sudah double track. Keuntungannya adalah akan mempercepat jumlah kereta yang beroperasi, mempercepat pertumbuhan penumpang dan barang, dan meningkatkan efisiensi. Apakah KAI akan rugi, belum tentu bisa saja KAI akan semakin melaju karena kompetisi akan menciptakan daya saing. Sebagai perusahaan yang sudah eksis lebih dahulu maka akan memiliki daya adaptasi yang lebih besar dan cepat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI