Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mobil Pertamaku, Berkat Menjual Vespa dan Cincin

25 Juli 2017   10:45 Diperbarui: 25 Juli 2017   18:08 2239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, tapi mobil pertama saya beneran persis mirip seperti ini. | Dokumentasi mobil.waa2.co.id

Pertama kali saya merasakan memiliki mobil adalah saat orangtua membeli Suzuki Carry 1000 yang diproduksi pertengahan 1980-an. Warna mobil tersebut merah tua dengan lis di sekitar lampu berwarna hitam. Ibu dan ayah saya membeli mobil tersebut pada awal 1990-an, saat saya masih berseragam putih-merah.

Orang tua saya membeli mobil itu secara tunai dari salah satu kerabat. Awal 1990-an perusahaan pembiayaan sepertinya belum menjamur seperti saat ini. Selain itu, harga mobil juga belum terlalu tinggi, sehingga kendaraan umumnya dibeli dengan tunai --khususnya kendaraan second hand. Bayangkan saja, harga perhiasan emas saat itu masih sekitar Rp25.000/gram.

Saat itu kami sebenarnya tidak terlalu berminat untuk membeli mobil. Keluarga kami hanya bertiga --saya, ibu dan ayah. Menggunakan sepeda motor rasanya sudah cukup, apalagi kendaraan umum masal di Bogor, Jawa Barat, sudah cukup baik. Hanya tinggal stop dan membayar sekitar Rp200-300, sudah sampai ke tujuan.

Namun kerabat kami yang ingin menjual mobil tersebut mengatakan, kualitas Suzuki Carry 1000 yang ia miliki sangat bagus. Sayang bila harus dijual ke orang lain. Sebenarnya ia pun tidak berminat menjual mobil tersebut, namun suami dan anaknya ingin mengganti mobil dengan keluaran terbaru. Sementara bila tidak dijual, uang untuk membeli mobil "baru" tersebut tidak akan cukup.

Saya sendiri memang sempat merasakan ketangguhan Suzuki Carry 1000 itu. Beberapa tahun sebelumnya, saya pernah ikut keluarga si kerabat berkeliling Jawa-Bali dengan menggunakan mobil tersebut. Selama perjalanan mobil itu melaju lancar, tidak ada keluhan sama sekali. Padahal jarak Bogor-Bali-Bogor termasuk lumayan.

Akhirnya ibu dan ayah saya terbujuk. Namun karena saat itu kami tidak memiliki uang simpanan yang cukup, kami akhirnya terpaksa menjual motor vespa kesayangan ayah. Selain itu, kami juga menjual beberapa perhiasan. Kebetulan ibu saya rajin menabung dengan membeli cincin emas. Walaupun terkadang karena uang yang sangat terbatas, cincin yang dibeli ibu saya secara berkala hanya seberat satu gram sehingga tipis dan rawan patah.

Mudik Seminggu Sekali

Meski awalnya ragu untuk dimiliki, kendaraan roda empat tersebut ternyata sangat banyak membantu. Sejak memiliki mobil kami lebih sering berkunjung ke rumah nenek yang tinggal di Sukabumi, Jawa Barat. Biasanya kami hanya berkunjung satu bulan sekali, setelah memiliki mobil kami berkunjung satu minggu sekali. Sabtu sore berangkat, pulang Senin subuh.

Dulu kami enggan ke Sukabumi karena malas berdesak-desakan di angkutan umum. Waktu itu kami biasanya menggunakan Kol Mini L300 yang terkadang kalau sedang ramai penumpang suka dipaksa dijejal-jejalkan agar cukup. Bangku yang seharusnya bisa diisi oleh empat orang, dipaksa diduduki oleh lima orang. Terkadang malah si supir menambahkan bangku tambahan kecil yang membuat suasana semakin pengap.

Selain itu, terkadang ada saja penumpang nakal yang merokok. Perokok tersebut tidak peduli penumpang lain yang harus merasakan kondisi yang lebih pengap karena tambahan asap rokok. Mending kalau penumpang itu merokok saat jalanan lancar --kami bisa membuka kaca jendela mobil lebar-lebar agar asap rokok keluar, seringnya mereka justru merokok saat suasana sedang macet.

Saat ini kondisi angkutan Kol Mini L300 sedikit berbeda, penumpang tidak lagi seramai dulu. Penumpang juga tidak lagi seenaknya merokok di dalam kendaraan. Mungkin salah satu dampak sukses Program Pemerintah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang digadang-gadang sejak satu dasawarsa terakhir.

Saat itu --sebelum memiliki mobil, Kol Mini L300 memang menjadi andalan kami untuk menempuh perjalanan Bogor-Sukabumi-Bogor. Saat itu kami tidak suka menggunakan bus karena lajunya lambat --sering berhenti di tengah jalan untuk mencari penumpang. Kami juga tidak suka menggunakan kereta api karena saat itu sering mogok di tengah jalan yang jauh dari keramaian. Apalagi beberapa tahun kemudian kereta api Bogor-Sukabumi-Bogor sempat berhenti beroperasi selama beberapa tahun.

Bisa Bewisata Kapan Saja, ke Mana Saja

Sejak memiliki mobil kami merasakan sedikit kemewahan, yakni bisa berwisata kapan saja dan kemana saja --tentu yang masih di sekitaran Pulau Jawa. Saat itu, kami sering berkunjung ke Bandung, Jawa Barat. Berkeliling melihat kebun binatang dan objek-objek wisata lain sambil mengunjungi beberapa keluarga yang memang menetap disana.

Namun di antara sekian banyak tempat wisata, Pantai Pelabuhan Ratu Sukabumi merupakan tempat wisata yang paling sering kami kunjungi. Mungkin karena keluarga besar lebih banyak menetap di Sukabumi, sehingga sebelum berangkat ke pantai, kami lebih dulu menjemput beberapa keluarga untuk menghabiskan waktu bersama.

Biasanya agar tidak terlalu ramai dan macet, kami pergi pada jam-jam ajaib --waktunya tetap hari libur. Kalau tidak sehabis shalat shubuh, kami pergi menjelang tengah malam. Terkadang bila pergi pagi atau sore, jalur sepanjang objek wisata tersebut penuh dengan kendaraan sehingga macet dan rawan tersenggol mobil atau motor lain.

Sesekali kami juga pergi ke beberapa tempat yang lebih jauh. Pernah kami rombongan pergi ke Pekalongan, Jawa Tengah. Jalan-jalan sambil menghadiri salah satu kerabat yang menikah. Seru rasanya, bisa menambah keakraban keluarga. Apalagi kami membawa semua perbekalan dari rumah --termasuk perbekalan makanan.

Menurut saya, berwisata dengan menggunakan mobil pribadi sangat menyenangkan. Selain lebih hemat, juga bisa menjelajah tempat wisata lebih banyak. Meski awalnya dari rumah hanya berniat berkunjung ke Borobudur dan Prambanan, bila ditengah jalan berubah pikiran ingin pergi lebih jauh, bisa lho tiba-tiba kami pergi ke Bali. Tinggal isi bensin banyak-banyak karena perbekalan biasanya sudah penuh tersedia. Biasanya dulu kami menjelajah seperti itu sehabis lebaran. Kebetulan cuti kerja sehabis Idul Fitri lumayan banyak, selain itu waktu libur anak sekolah juga lumayan panjang.

Sayang perjuangan Suzuki Carry 1000 menemani keluarga kami harus berakhir di akhir 1990-an. Hal tersebut dikarenakan harga mobil tiba-tiba melonjak naik akibat inflasi dan krisis moneter. Saat itu ada kenalan orangtua yang menawar si merah dengan harga yang lumayan tinggi, jauh dibanding harga saat membeli. Alhasil mobil itu dijual, dan kami beralih ke Daihatsu Espass yang tahun produksinya lebih baru dibanding Suzuki Carry 1000.  Sengaja kembali membeli mobil besar, biar bisa jalan-jalan rame-rame. Selain itu, dulu mobil sedan identik dengan pajak mahal.

Dulu saat awal-awal dijual, kami sering sengaja melintas di depan rumah orang yang membeli mobil pertama kami. Ingin melihat seperti apa mobil itu dirawat. Setelah mobil itu dijual kembali ke orang lain, kami masih sering "mengintip-ngintip" --entahlah, rasanya seperti ada ikatan batin. Namun setelah kembali berpindah tangan, kami tidak tahu lagi nasib si merah.

Kalau teman-teman Kompasianer yang lain seperti apa ceritanya dengan si mobil pertama? Yuk, berbagi cerita di kolom komentar. Salam Kompasiana! (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun