Berbeda dengan masyarakat nomaden, kelompok desa mampu membentuk peradaban yang stabil. Sistem hukum di desa biasanya lebih tertata, dan tidak bergantung pada kekuasaan absolut seorang kepala suku. Kehidupan seperti ini jelas lebih dekat dengan visi ideal yang disebut dalam Al-Qur'an: masyarakat yang tertib, beriman, bertakwa, dan diberkahi langit dan bumi.
Dengan begitu, nampak bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki visi yang sangat luas dan jauh ke depan. Seolah beliau ingin menyampaikan pesan bahwa suatu saat nanti, umat Islam akan mencapai tingkat peradaban seperti masyarakat desa yang beradab dan mapan. Dan negeri yang bisa dijadikan contoh nyata dari visi tersebut sebagai negeri yang diberkahi dan pantas dijadikan panutan adalah Negeri Shin, yang sangat mungkin merujuk pada Nusantara.
Mengapa Nusantara? Karena Nabi pernah bersabda: "Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Shin." Sangatlah logis jika Nabi menganjurkan umatnya belajar dari negeri yang telah maju dalam peradaban, memiliki tata pemerintahan yang baik, budaya yang luhur, dan struktur masyarakat yang rapi. Negeri seperti itu tidak lain adalah negeri yang "diberkahi langit dan bumi" Nusantara.
Jika kita menengok sejenak ke lembaran sejarah masa lalu, pada saat dunia Barat masih berkutat dalam era kegelapan dan masyarakat Arab hidup berpindah-pindah dalam tenda-tenda di padang pasir, bangsa kita Nusantara telah lama mengenal tatanan hidup yang mapan. Dari pesisir-pesisirnya yang sibuk, kapal-kapal Nusantara berlayar mengarungi lautan, membawa rempah-rempah dan hasil bumi ke Afrika dan berbagai penjuru dunia. Bukan sekadar berdagang, bangsa ini telah menjadi simpul peradaban maritim global.
Sabda Nabi tentang "belajar hingga ke negeri Shin"ukan hanya ajakan eksplisit untuk mencari ilmu, tetapi juga gambaran aspiratif tentang pentingnya membangun masyarakat madani sebuah masyarakat yang nilai-nilai religiusnya tidak hanya berhenti di lisan dan ritual, tetapi hadir dalam tindakan nyata: keadilan sosial, cinta kasih, solidaritas, dan tanggung jawab kemasyarakatan. Inilah fondasi bagi terciptanya kehidupan yang damai, aman, tenteram, dan sejahtera.
Saya meyakini, bahwa ayat-ayat dan pesan kenabian yang kita bahas sebelumnya sangat relevan dengan karakter dan jiwa bangsa Nusantara. Terutama bagi masyarakat desa, yang sejak dulu menjadi benteng peradaban, tempat budaya lokal bertahan dan hidup. Desa bukan sekadar struktur administratif, tetapi jiwa bangsa yang menyimpan nilai-nilai luhur: kearifan lokal, gotong royong, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap alam serta sesama.
Kini, ketika arus modernisasi datang begitu deras, saatnya kita kembali menyadari bahwa kunci keberkahan dan masa depan bangsa terletak pada bagaimana kita merawat desa dan nilai-nilai budaya yang tumbuh di dalamnya. Desa adalah penjaga peradaban. Setiap desa membawa kisah, adat, dan tradisi yang memperkaya mosaik kebudayaan Nusantara.
Budaya kita tidak mengajarkan kekerasan, tidak menormalisasi korupsi itu bukan budaya kita. Justru sebaliknya: budaya kita menanamkan semangat musyawarah, toleransi, dan keterbukaan terhadap perbedaan. Nilai-nilai ini adalah warisan peradaban luhur yang telah lama ditanamkan oleh nenek moyang kita yang sempat dilupakan, direduksi, bahkan coba dihapus oleh para penjajah melalui kolonialisasi fisik dan mental.
Namun kini, kebangkitan itu harus dimulai kembali. Kita adalah bangsa yang memiliki akar sejarah yang dalam, dan saatnya kita menyambung kembali rantai emas peradaban itu. Menyatukan yang terserak, menyuarakan kembali jati diri bangsa, dan membangun masa depan yang berlandaskan pada kekayaan masa lalu yang tak ternilai.
Bangkitlah, Indonesia. Kini saatnya kembali berdiri, bukan hanya sebagai penonton sejarah, tetapi sebagai pelaku utama peradaban dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI