Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi Tua dengan Baik dan Benar: Renungan Meme Seno Gumira Ajidarma

14 April 2015   09:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap pagi setiap mengantar anak sekolah saya melewati kantor Polda yang sebagaimana kita tahu dulu pernah berada sebagai bagian dari institusi militer, sehingga memiliki kedisplinan ala militer juga. Ada yang menarik dari ritual setiap pagi yang saya amati: orang-orang yang bersiap untuk upacara, kadang dengan terburu-buru, memarkir motor atau mobilnya di tepi jalan, lalu berlari-lari menuju halaman upacara. Padahal hari masih pagi, mungkin baru beranjak beberapa menit dari pukul 07.00 WIB. Mereka yang berlari-lari itu kelihatan seperti ketakutan akan sesuatu, mungkin hukuman atau sanksi yang akan diterima karena terlambat. Yang membikin trenyuh, kadang mereka yang berlari itu bukan hanya anak-anak muda, namun juga bapak-bapak yang rambutnya mulai memutih. Mungkin ketakutan itu tidak hanya menghinggapi para prajurit, namun juga perwira.

Mengamati itu, tiba-tiba saya teringat dengan potongan meme di media sosial yang konon merupakan tulisan Seno Gumira Ajidarma, seperti gambar berikut:

[caption id="attachment_378281" align="aligncenter" width="300" caption="Menjadi tua, dari Seno Gumira Ajidarma, sumber; akun fb"][/caption]

Kata-kata tersebut lebih jelasnya berbunyi demikian: "Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa." Ungkapan itu begitu menohok ketika saya baca pertama kali pada wall facebook seorang rekan, hingga saya menjadikannya wallpaper di laptop. Istri saya yang kebetulan membaca berkomentar: kalau gitu jangan jadi pegawai dong, tapi pengusaha, katanya. Ungkapan yang juga cukup menohok itu ternyata hanya bisa saya jawab dengan tersenyum kecut. Siapa yang berani keluar dari pekerjaan meskipun hanya pegawai negeri dalam usia masuk kepala 4 seperti ini, apalagi dalam kondisi memiliki beberapa anak sebagai tanggungan dan posisi yang rasanya sudah cukup nyaman ini? Faktor zona nyaman ini saya kira yang menghalangi seseorang untuk melakukan tindakan demi mendapatkan negasi dari kondisi yang disampaikan Seno tersebut, atau ekstremnya: masa muda yang bebas, pekerjaan yang menyenangkan, lingkungan yang nyaman dan kemudian hidup pada masa tua dengan jaminan penghasilan yang layak.

Sungguh mungkin itu impian setiap orang yang terlihat sempurna. Mungkin memang ada yang tidak setuju dengan ukuran material sebagai ukuran keberhasilan di masa tua tersebut, seperti yang juga saya baca dalam halaman facebook teman tersebut. Namun pada hemat saya, ungkapan itu sebetulnya tidak ingin mengagungkan materi yang akan dicapai di masa tua, namun hanya menyayangkan, bahwa begitu banyak pengorbanan di masa muda ternyata dibayar dengan imbalan yang kurang layak di masa tua. Apalagi kita harus realistis, siapa yang mau menanggung biaya hidup kita, ketika banyak dari anak-anak kita mungkin juga tengah mengalami beban yang sama. Jadi memang wajar untuk mempersiapkan hidup yang layak dan terjamin dengan kemampuan sendiri di masa tua.

Memang, banyak juga pegawai-pegawai kantoran yang berjibaku dengan waktu, tenaga serta pikiran, dan kemudian mendapatkan imbalan gaji yang layak. Namun selain imbalan, sebetulnya ada lagi kerugian non materi yang juga dialami, yaitu kerugian untuk lalai memikirkan hal-hal yang besar, karena harus memikirkan kewajiban dan tugas-tugas rutin yang harus diemban. Pemikiran besar dan petualangan jiwa mungkin hanya akan hadir dengan kebebasan pikir dan kebebasan berekspresi. Memang, Seno berhak bicara begitu, karena dia memang seorang petualang sejati, yang tetap eksis dan hidup dengan segala keliaran yang dimiliki (lihat di sini).

Akhirnya, di tengah kondisi yang sudah dijalani ini, saya berpikir, bahwa menjadi tua pun seharusnya bisa dilakukan dengan menjalankan tugas-tugas rutin, tanpa kehilangan petualangan jiwa, sehingga kita tidak tumbuh serupa mesin. Yang diperlukan hanya melakukan manajemen beban, waktu dan pikiran, antara tugas-tugas rutin kantor, melakukan pengayaan batin dengan membaca buku, serta melakukan perenungan-perenungan yang dapat dilakukan sepanjang waktu. Syukur-syukur lagi bila nanti memiliki jaminan pensiun yang mencukupi untuk masa tua. Alangkah idealnya :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun