Mohon tunggu...
Chris D.a
Chris D.a Mohon Tunggu... -

Just an ordinary man. Hard-worker, husband, father

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

We Can, I Can (Hidup Bersama Kanker)

4 Februari 2016   20:47 Diperbarui: 5 Februari 2016   16:52 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Hari ini tanggal 4 Februari diperingati sebagai hari kanker sedunia sejak tahun 2005. Adanya hari kanker sedunia bertujuan untuk meningkatkan kepedulian pada kanker & langkah pencegahan, deteksi dini, maupun pengobatannya.

Dalam keluarga saya sendiri kanker bukanlah penyakit yang asing. (Eyang) Kakung (dari pihak Ibu), adik laki-laki & Ibu saya sudah berpulang karena kanker. Pada akhirnya "giliran" jatuh juga pada saya. :) Gaya hidup sehat sudah diterapkan (tidak merokok, olahraga, pola makan sehat). Mungkin memang ada faktor genetik yang menyebabkannya.

Dari ketiganya adik sayalah yang pertama kali terdeteksi kena kanker pada usia 17 tahun. Awalnya ada tumor ganas di levernya. Seiring dengan waktu keganasan itu meningkat. Berkali-kali operasi untuk membuang tumor dan akarnya yang terus muncul lagi - muncul lagi, pengobatan terus-menerus, beberapa kali rangkaian kemoterapi membuat adik saya kelelahan. Sekitar 4,5 tahun ia bertahan sebelum menyerah. 6 bulan terakhir kehidupannya hanya menjalani perawatan yang bersifat paliatif karena kankernya sudah menyebar ke paru-paru & usus besar. Tepat sehari setelah Natal tahun 1996, adik saya say good bye.

Hanya berselang beberapa bulan dari kepergian adik saya, Kakung kena giliran kejatuhan vonis juga. Kanker paru-paru yang entah dari mana bibitnya karena Kakung saya juga ndak pernah bersentuhan dengan rokok, tembakau dan pipanya, ataupun cerutu. Mungkin karena saat itu fokus perhatian keluarga besar sedang jatuh pada adik saya maka kesehatan Kakung jadi terabaikan. Kankernya diketahui saat sudah masuk stadium akhir. Menjelang 2 tahun kepergian adik saya, Kakung pun menyusul dalam damai.

Selanjutnya Ibu saya. Selama 2 tahun lamanya Ibu bekerja keras mengurus Bapak yang mengalami stroke sejak akhir tahun 2002. Semua dilakukan sendiri sepanjang hari. Ndak mau dibantu siapapun. Jadi dari urusan kebersihan Bapak, makan-minum (termasuk memasak, menyiapkan, menyuapi), membacakan sesuatu untuk Bapak, mengajak ngobrol, mengajak Bapak jalan keluar dengan kursi roda, mengantar kontrol ke dokter, semuanya dilakukan sendiri oleh Ibu. Asisten RT hanya mengurusi rumah & kebersihan. Sopir hanya menyopir & membantu Ibu untuk urusan mengangkat & memindahkan Bapak. Lalu anak-anaknya ke mana? Abang di Cilegon, saya di Jakarta, adik perempuan saya di Australia memulai kuliah S1nya.

28 Desember 2004 Bapak berpulang. Tapi kerja Ibu ndak lantas jadi berkurang. Giliran Mbah Uti (Ibunya Ibu) perlu banyak perhatian karena kondisi kesehatannya terus menurun (faktor usia). Semuanya itu membuat Ibu jadi mengabaikan kesehatannya sendiri. 

Akhir tahun 2007 Ibu terdeteksi kena kanker payudara. Sudah stadium 3. Harus ada yang merawat Ibu. Maka Ibu kami boyong ke sini. Masih ada Bude & Bulik yang bisa merawat Mbah Uti.

Mengingat saat itu Ibu belum sepenuhnya bisa menerima pernikahan saya dengan bu Tiwi  maka Ibu memilih untuk tinggal bersama Mas di Cilegon. Apalagi istri Mas seorang dokter. Tapi fasilitas kesehatan yang jauh lebih lengkap di Jakarta membuat Ibu kemudian berpikir ulang. Hanya beberapa bulan Ibu di Cilegon, Ibu mau tinggal bersama saya sekeluarga di Jakarta, sekaligus memperbaiki hubungan dengan menantu & cucunya.

Sejak awal divonis menderita kanker payudara Ibu sudah menolak untuk melakukan mastektomi, radiasi & kemoterapi. Hanya mau obat oral. "Seandainya aku mati, aku ingin mati dengan utuh," begitu pendapat Ibu. Segala cara kami lakukan agar Ibu bersedia meningkatkan kualitas pengobatan tapi Ibu tetap bersikukuh menolak.

Pertengahan tahun 2008 adik saya sudah menyelesaikan S2nya di Belanda. Ada kesempatan untuk berkarier di sana tapi adik saya memutuskan untuk pulang ke sini, ingin merawat Ibu. Maka Ibu pun kami lepas kembali ke rumah Malang bersama adik, berada di sana sampai wafatnya pada 23 Mei 2009, hanya berselang 5 hari dari wafatnya Mbah Uti.

Saya pernah berpikir bahwa sudah cukuplah sampai sekian sejarah kanker dalam keluarga kami. Tapi ternyata belum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun