Mohon tunggu...
Corry LauraJunita
Corry LauraJunita Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Tsundoku-Cat Slave

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ironis, 7 dari 9 Anak Kelas 5 di Sebuah SD Merokok Secara Aktif

29 November 2019   13:47 Diperbarui: 29 November 2019   19:33 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pinterest.com oleh Chelle Rogers

7 tangan dari 9 anak laki-laki kelas 5 di sebuah SD Swasta di lereng Merbabu sana terangkat saat saya bertanya siapa yang sudah merokok. Yang 2 lainnya mengelak dengan alasan tidak tiap hari. 

Berarti yang 7 anak ini merokok secara aktif setiap hari. Pelan-pelan saya bertanya berapa rata-rata yang mereka hisap dalam sehari. Rata-rata mengaku merokok 1-2 batang sehari secara rutin. Tetapi 3 orang diantaranya mengaku lebih dari 2-3 batang sehari, tergantung uang jajan.

Lemas. Itu yang saya rasakan mendengar pengakuan mereka.

Informasi ini saya dapatkan secara langsung saat saya sedang ikut pengabdian yang diadakan oleh teman-teman sesama awardee penerima beasiswa. 

Keterlibatan saya berawal dari sebuah pesan di grup yang mencari mahasiswa kesehatan yang bersedia memberikan penyuluhan mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Sekolah.

Berhubung jadwal kuliah sudah sedikit longgar dan saya rindu berinteraksi dengan anak-anak yang biasa kunjungan ke kantor untuk kunjungan ilmiah, saya mengajukan diri untuk mengisi kegiatan tersebut.

Awalnya fokus dari penyuluhan tersebut adalah mengenai makanan berbahaya dan pentingnya sarapan pagi. Saya dan 2 orang awardee lain yang juga akan memberikan penyuluhan yang sama sepakat untuk seminimal mungkin menyinggung masalah rokok.

Toh, pada 8 daftar kegiatan PHBS di sekolah yang disusun oleh bidang promosi kesehatan Kemenkes RI, tidak merokok di sekolah berada di urutan ke 6 dan menurut saya sendiri (dan seorang penyuluh kesehatan dinkes yang pernah saya temui) tujuannya adalah menyasar tenaga pendidik dan orang dewasa yang berkegiatan di sekitar sekolah.

Kami berangkat dari Yogyakarta dalam 2 rombongan, tujuan kami adalah memberikan motivasi belajar, mengenalkan hidup bersih dan sehat, serta sedikit informasi mengenai literasi digital untuk anak kela 4,5 dan 6 di SD yang sudah ditentukan sebelumnya. 

Saya berkesempatan untuk berbagi dengan adik-adik di kelas 5 ini.

Memberikan Motivasi Belajar Untuk Anak SD | Dokumetasi Pribadi
Memberikan Motivasi Belajar Untuk Anak SD | Dokumetasi Pribadi
Awal mula kami mengetahui ada yang merokok adalah saat pemberian motivasi. Saya lupa bagaimana awalnya rekan saya tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan yang dijawab dengan kata "merokok" oleh anak-anak ini. 

Saat ditanya memang ada yang merokok, mereka dengan riuh tertawa-tawa menunjuk temannya, terutama murid-murid perempuan.

Yang laki-laki beberapa mengangkat tangan sambil berkata "ayo jujur, jujur woy. Berani.." Kami hanya tertegun. 

Teman saya dengan sisa sesi motivasi yang tinggal sedikit, hanya bisa mengaitkan bahwa merokok itu akan merusak tubuh mereka, membuat mereka sakit dan tidak bersemangat belajar. Mereka akan kesulitan mencapai cita-cita mereka sebagai pemain bola atau dokter.

Dengan sisa waktu yang sempit dan media terbatas, saya dipaksa berakrobat untuk menyampaikan informasi mengenai bahaya merokok pada anak-anak ini. 

Pemahaman mereka mengenai hidup sehat tidaklah kurang. Mereka paham mengenai pentingnya sarapan, mayoritas sarapan di rumah kecuali berangkatnya kesiangan.

Mereka mengatasinya dengan sarapan bubur di kantin sekolah. Mengenai cuci tangan, mereka bisa mempraktekkan enam langkah cuci tangan dari WHO, untuk aplikasinya, mereka memang masih harus banyak diingatkan. 

Membersihkan bak mandi dan mencegah perkembangan jentik juga mereka khatam. Mereka tahu apa itu jentik, bagaimana jentik jadi nyamuk, dan bahayanya jika nyamuk itu ternyata Aedes Aegypti yang tersohot itu. Mereka tahu penyakit Dengue dan DBD.

Bagaimana dengan rokok??

Mereka tahu. Tahu efek merokok akan membuat paru-paru mereka hitam. Tahu jika merokok bisa menyebabkan kanker saat mereka dewasa. Tahu jika merokok membuat mereka sesak bernafas saat bermain bola atau berenang di air terjun di dekat desa mereka. 

Mereka tahu jika rokok bisa menyebabkan leher mereka berlubang dan rusak seperti gambar di bungkus rokok yang mereka hisap.

Kenapa mereka merokok? Jawabnya ga kenapa-kenapa. Orang tua mereka merokok, orang dewasa di lingkungan mereka merokok. Mereka merasa wajar jika mereka merokok. Sumber rokoknya adalah warung, bukan mengutil punya bapaknya.

Ya. Mereka beli sendiri, dan yang punya warung tahu itu untuk mereka hisap sendiri. Ingin menangis saya mendengarnya. Apakah orang tua dan guru tahu? Ya, mereka tahu. 

Reaksinya hanya menegur atau memarahi saja. Lalu? Ya, besoknya mereka ulangi lagi. Alangkah sulitnya menjadi guru dan orang tua sekarang ini.

Pertanyaan saya berikutnya adalah yang mereka rasakan saat merokok itu apa? Enaknya dimana. Anak-anak ini terdiam. 

Saya bertanya apakah mereka gelisah kalau tidak merokok, atau mulutnya terasa asam seperti pengakuan teman saya yang kalau tidak merokok langsung seperti cacing kepanasan, atau mereka jadi merasa lebih semangat kalau merokok.

Mereka mengeleng. Sayang sekali tidak ada yang bisa mendeskripsikan kenikmatan merokok ini. Ketika ditanya apakah mereka merasa keren jika merokok, mereka tertawa. 

Bagaimana kalian bisa merasa lebih keren dari teman di sebelahnya jika kalian sama-sama merokok. Harusnya lebih keren dong kalau bisa menahan diri ga merokok, ga melakukan perbuatan yang dilarang orang tua dan agama. Dan reaksinya adalah tersipu-sipu.

Sungguh saya kesulitan menemukan bahasa yang tepat untuk mereka. Akhir sesi saya, saya hanya bisa meminta mereka untuk berpikir ulang mengenai bagaimana kebiasaan mereka ini akan mempengaruhi masa depan mereka. Memikirkan kembali cita-cita dan hobi yang mereka sebutkan di sesi motivasi.

Alangkah sedihnya mereka tidak bisa berlari karena memiliki tenggorokan yang berlobang seperti di bungkus rokok yang mereka hisap setiap hari. Mereka saat itu berjanji. Entahlah nanti.

Masa saya seusia mereka, rokok adalah barang yang sangat terlarang. Ada satu dua teman yang penasaran merokok dengan mengambil rokok ayahnya. 

Risikonya jika ketahuan maka sabetan sapu atau lidi mewarnai betis mereka. Tetapi sepanjang ingatan saya, tidak ada teman sekelas saya di SD yang merokok.

Sewaktu SMP dan SMA pun hanya segelintir saja yang merokok, mereka dari kalangan anak-anak yang jadi incaran guru BP karena sering bolos, dan jika ada guru atau yang mereka kenal lewat, mereka tidak berani terang-terangan merokok di tempat umum. 

Ternyata setelah saya melakukan sedikit browsing, fenomena merokok di kalangan anak SD ini sudah banyak sekali diberitakan. Astaga, ini dunia yang berubah terlalu cepat, atau saya yang kurang banyak main?

Ada satu kenangan yang teringat oleh saya ketika saya masih SD juga. Bapak adalah guru SMP, beberapa muridnya sering nongkrong di belakang warung mie dekat rumah kami. 

Pernah sekali saya membeli mie di warung tersebut dan ada anak yang saya kenal sebagai murid bapak sedang merokok, anak ini otomatis mematikan rokoknya dan meminta saya untuk tidak melapor ke bapak.

Saya lupa, apakah akhirnya saya ngasih tahu bapak atau tidak, tetapi ingatan ini tiba-tiba terlintas saat saya memikirkan alangkah bedanya pandangan anak-anak ini terhadap rokok, dengan masa saya sekolah dulu.

Banyak cara yang telah dilakukan pemerintah dan LSM untuk menurunkan angka perokok aktif di negara kita. Di antaranya membatasi jam tayang iklan rokok, memberikan peringatan dan gambar menakutkan di bungkus rokok, melarang rokok menjadi pembiaya di kegiatan sekolah, melarang baliho rokok di sekitas sekolah, dan bahkan yang membuat heboh melarang perusahaan rokok menyelenggarakan seleksi untuk pemain bulu tangkis muda.

Tetapi, apakah kita benar-benar mengetahui apakah semuanya itu sudah efektif? Jangan-jangan selama ini yang disasar hanya sekolah di perkotaan, tanpa menyadari bahwa di desa-desa ternyata semua yang mereka lakukan itu tidak ada artinya. 

7 dari 9 merokok secara aktif. Kalau satu atau dua mungkin mereka badung, tetapi sebanyak itu? Menurut saya pribadi itu kejadian luar biasa.

Apakah ini pengaruh mudah dan murahnya rokok untuk diperoleh? Bisa jadi. Mereka bisa membeli rokok secara eceran dengan uang jajan mereka yang berkisar 5000-1000 ribu sehari. 

Yang saya sesalkan adalah penjual rokok di warung yang mengijinkan mereka membeli untuk diri sendiri dan nongkrong di warung sambil merokok.

Lalu, apakah kenaikan cukai rokok yang mulai diberlakukan tahun depan akan memberikan pengaruh? Memang jika sudah menyangkut ekonomi sudah sulit berdebat mana yang baik dan mana yang tidak.

Pengalaman ini benar-benar membuka mata saya. Larangan membahas rokok di kalangan anak sekolah dasar dengan asumsi membuat mereka penasaran, atau membatasi info mereka terhadap rokok ternyata bukan cara pencegahan yang tepat.

Saat ini saya frustasi tidak bisa berbuat apa-apa selain mengingatkan dan memotivasi mereka untuk memikirkan setiap efek setiap batang yang mereka masukkan ke tubuh. 

Tetapi saya tidak tahu, apakah ada yang tersentuh dan berubah kebiasaannya hanya sekali saja mendengar tanpa bisa kami beri tindakan yang lebih lanjut.        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun