Menjawab pertanyaan di atas, sebagaimana diutarakan Matius dalam berita itu, program LKLB melatih ribuan guru untuk membantu siswa belajar keberagaman agama agar menghapus stereotip negatif. Pengetahuan tentang perbedaan diubah menjadi solidaritas dan empati. Perwujudan multikulturalisme dan kohesi sosial dalam program ini adalah kolaborasi dengan mereka yang berbeda dengan rasa saling menghormati untuk common good.
Sikap menyambut hangat dan membumikan harmoni merupakan basis dinamika untuk menjaga keberagaman dan dimensionalitas kehidupan. Meski kekhawatiran global atas penyebaran disinformasi, misinformasi, dan ujaran kebencian cenderung besar, Menteri Agama Nasaruddin Umar menanggapinya dengan pengendalian diri terutama pada jari jemari. Ujaran kebencian bertema agama menjadi potensi besar perpecahan masyarakat dengan dampak luas. Diperlukan pengendalian pada setiap ketikan agar tidak menjadi penyalur ujaran-ujaran negatif -destruktif.
Keterjalinan dalam masyarakat merupakan tugas berlanjut umat manusia kini untuk menjamin kemanusiaan yang adil dan kontekstual. Tantangan ini justru mengundang masyarakat untuk kembali menyadari perbedaan dan berkeja sama mengusahakan kebaikan bersama. Jaminan akan representasi tak lagi berkutat di urusan politik, namun ke ruang digital. Kohesi sosial pun mewujudnyata dalam setiap ketikan.
Untuk itu, hidup bersama dalam keberagaman tak ubahnya menikmati makanan khas Indonesia, gado-gado. Kondimen utama, seperti sayur-sayuran, tahu, dan tempe, tetap bertahan secara an sich tanpa kehilangan perpaduan rasa dari bumbu kacang. Bumbu inilah kesadaran eksistensial untuk menyatukan perbedaan itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI