Mohon tunggu...
Cornelius JuanPrawira
Cornelius JuanPrawira Mohon Tunggu... Politeknik Negeri Jakarta

Pencari suaka dan kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kohesi Sosial Basis Multikulturalisme: "Literasi Agama Lintas Budaya Perkuat Kohesi" dalam Kompas Edisi 26 Juni 2025

21 Juli 2025   18:42 Diperbarui: 21 Juli 2025   17:59 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pluralisme menuju multikulturalisme (Sumber: Pinterest/https://i.pinimg.com/1200x/20/b4/f2/20b4f2fb5ec3c1f98294aa152f52b4a5.jpg)

Sangat lumrah bila seseorang menanyakan identitas agama dalam mengetahui sampai menilai seseorang. Agama bisa jadi kualifikasi dalam menilai etika dan perilaku seseorang. Kadang tanpa disadari pula, saat menanyakan agama pada lawan bicara atau saat membahas seseorang, hadir ketegangan antara rasa aman atau tidak yang menyelimuti tergantung bobot masalah.

Ambil saja, ada orang terkemuka yang mengonsumsi obat terlarang. Lalu dalam senyap gerak digital, khalayak penasaran dengan agama orang itu. Saat seseorang menemukan keterangan di ruang maya bahwa orang itu seagama dengannya, maka bisa saja timbul keraguan terhadap. Sebaliknya, bila tidak seagama, maka pencarian di jejak digital tadi hanyalah upaya menghibur diri semata.

Menarik bila memperhatikan berita bertajuk “Literasi Agama Lintas Budaya Perkuat Kohesi” di Harian Kompas edisi Kamis, 26 Juni 2025. Tulisan itu memperkenalkan model masyarakat multikultural, yaitu Program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang dipresentasikan dalam forum The International Conference on Cohesive Societies di Singapura pada pertengahan Juni. Program LKLB diinisiasi Institut Leimena pada 2005 dengan tujuan membangun masyarakat yang inklusif dan harmoni melalui dialog dan pemahaman lintas budaya.

Multikultural, cukupkah?

Tulisan ini menangkap keberagaman sebagai keadaan alamiah suatu masyarakat yang berada dalam lingkup globe (seluruh bulatan bumi). Globalisasi. Bukan semata-mata perbedaan fisik, namun semua individu punya kesadaran atas keberadaannya di muka bumi. Dari keberadaan, muncul kesadaran untuk mengembara. Pencarian menghasilkan penemuan dari kumpulan perbedaan yang dikonstruksi. Dengan keseluruhan perbedaan itu, semua individu saling membangun dan membiasakan keterkaitan serta ketergantungan satu sama lain. Dalam timeline hidup, semua individu mengalami skala kehidupan yang multidimensional.

Namun, bagaimana dinamika keberagaman dan dimensionalitas skala kehidupan di masa kini? Dalam konteks perbedaan antaragama di tulisan itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho menyuarakan dua tantangan yang agaknya mengelilingi pertanyaan itu. Matius mengungkapkan absennya perwujudan solidaritas dan empati kepada orang lain yang berbeda agama. Lalu, prasangka dan stereotip negatif terhadap orang yang berbeda adalah bibit konflik sosial.

Dari tantangan itu, maka masih ada kecenderungan bersikap globalis pesimistis dalam realitas globalisasi di bidang agama. Individu atau sekelompok masih mudah membangun distingsi negatif dalam menanggapi perbedaan. Bisa jadi, belum ada kesiapan menerima proses sosialisasi dan kemungkinan koeksistensi individu dan komunitas yang berbeda.

Sebelum itu, bagaimana keberagaman ini disikapi bersamaan dengan pesimisme yang ada? Presiden Singapura Tharman Shanmugaratnam mengapresiasi program LKLB karena menjadi contoh membangun kohesi sosial dalam masyarakat multikultural. Menurut britannica.com , multikulturalisme adalah pengakuan khusus terhadap perbedaan ras, budaya, etnis, dan kelompok minoritas dalam suatu budaya politik yang dominan. Budi Rajab dalam opininya di Kompas edisi 27 September 2021, multikulturalisme menjadikan pluralitas sebagai kekayaan dan sumber integrasi di masyarakat. Superioritas dan dominasi nihil di mata konsep ini.

Tepat untuk menjadikan multikulturalisme sebagai pionir kesatuan. Namun, apa tujuan dari kohesi sosial? Apakah konsep terprogram seperti multikulturalisme tidak cukup menyatukan kemajemukan masyarakat? Kohesi sosial menurut Emile Durkheim (1897) adalah kuatnya ikatan sosial dengan indikasi kekuatan masyarakat sipil, stabilitas demokrasi, dan penegakan hukum yang adil. Maka, dengan multikulturalisme yang diidealkan, kohesi sosial menjadi tenaga untuk mewujudkannya.

Kohesi mendorong setiap perbedaan terintegrasi dalam kekuatan masyarakat di level universal. Ada kontribusi sistematis dan kontinu dari dorongan itu. Politik yang representatif dari setiap kalangan menjadi nyata di konteks parlemen. Alhasil, setiap unsur kemajemukan memiliki hak dalam pemerintahan (redistribusi kekuasaan). Di level sipil, keanekaragaman terasa dengan variasi subkultur (budaya-budaya yang lahir dari satu budaya induk), perspektif, dan komunal (sistem keyakinan dan praktik keseharian untuk menjalankan hidup).

Pengendalian diri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun