Mohon tunggu...
Cornelius JuanPrawira
Cornelius JuanPrawira Mohon Tunggu... Politeknik Negeri Jakarta

Pencari suaka dan kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa, Logika, dan Nilai Sosial: "Ajarkan Bahasa Selaras Logika" dalam Kompas Edisi 25 Juni 2025

21 Juli 2025   17:38 Diperbarui: 21 Juli 2025   17:42 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Bahasa dan wawasan  (Sumber: Pinterest/https://id.pinterest.com/pin/277745501996392557/)

Bahasa menciptakan wawasan, kesepahaman, dan bibit kesatuan. Menurut antropolog linguis asal Amerika, Edward Sapir (1884--1939), bahasa tidak hanya merepresentasikan budaya, namun membentuk cara pandangan dunia terhadap masyarakat yang menggunakan. Ini berarti, bahasa tak lagi sekadar medium komunikasi, namun representasi nyata dunia yang dapat diinternalisasi manusia ke aspek intelektual dan spiritual.

Membangun cara pandang terhadap dunia melalui bahasa memang tak jauh dari konstruksi pendidikan bahasa di instansi pendidikan. Pedagogi pengajaran dan keterlibatan pengajar menjadi faktor pendukung suksesi penggunaan bahasa secara holistik dan fungsional bagi murid. Bidang ini selalu relevan karena selalu menyuguhkan gejala dan analisa tertentu dalam perkembangan zaman. Hal ini selaras dengan berita "Ajarkan Bahasa Selaras Logika" pada ePaper Kompas edisi Rabu, 25 Juni 2025.

Dalam berita, konteks yang hendak diangkat adalah generasi muda yang bisa menjaga bahasa Indonesia yang baik dan benar di arus utama berbahasa dalam keseharian. Meski begitu konteks ini berjumpa dengan dua tantangan yang dicerap Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti: pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang minim inovasi serta kesantunan berbahasa di media sosial.

Permasalahan pertama, pendidik perlu membantu murid menumbuhkan nalar berpikir dalam berbahasa, bukan sekadar mengembangkan kemampuan membaca atau menulis ejaan yang benar. Kemampuan berbahasa menjadi primer dalam keseharian karena tantangan mempertahankannya secara etis dan benar kian melemah. Semakin nyata bila melihat permasalahan kedua, yaitu berbahasa di media sosial sangat lemah. Secara an sich --- meski akan ada penolakkan --- kebiasaan umum masyarakat saat ini adalah memfragmentasi realita pada dua dunia, nyata dan maya.

Fragmentasi kedua semakin gencar "disosialisasikan" dalam nuansa dan akselerasi fitur serta manfaat. Kerap tak disadari, ruang maya justru menjadi ruang paling bebas untuk melepas norma dan idealitas berbahasa. Bicara sopan di ruang tamu, namun biadab di dunia maya. Intensionalitas yang tinggi pun sampai terbawa di realita. Data survei Digital Civility Index (DCI) 2021 memperlihatkan, warganet Indonesia paling tidak sopan dalam bertutur kata di media sosial di Asia Tenggara.

Masalah ini lantas menemui pemecahan masalah dengan mengajarkan logika berbahasa. Keakuratan ejaan dan wawasan kata perlu dibangun bersama kekuatan menciptakan kerangka berpikir. Logika bukan soal bagaimana kalimat disusun, namun makna dan etika yang perlu diperhatikan. Logika membantu konteks pada kalimat memiliki makna definit.

Dalam hal ini, anjuran belajar bahasa untuk menguatkan kemampuan berpikir menjadi suatu nilai sosial. Nilai sosial adalah gagasan mengenai segala sesuatu yang dinilai oleh masyarakat sebagai penting, berharga, dan berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar atau pengembangan. Penggunaan bahasa untuk mengembangkan logika sejatinya merupakan upaya pencapaian literasi yang konstruktif. Masyarakat tidak hanya terbebas dari buta huruf, namun mampu mengartikulasikan pikiran secara logis dan beretika.

Anjuran ini sejatinya perlu dimaksimalkan menjadi kebiasaan. Logika yang dipelajari melalui bahasa sebagai petunjuk arah dalam mempertimbangkan makna dalam kalimat. Selain itu, hal ini membantu seseorang menimbang penghargaan saat menciptakan kalimat, apakah secara bahasa, etis dan dalam tempat/konteks yang sesuai? Sekaligus, sebagai benteng dari godaan ruang yang membuka ruang sebesar-besarnya untuk berkomentar.

Sikap ini idealnya menuntut pola perilaku, berupa kebiasaan, tata kelakuan, dan sampai tradisi. Keseriusan meengembangkan potensi literasi yang konstruktif dengan pengembangan logika menjadi bibit representasi budaya yang sebenarnya. Kekhasan bahasa Indonesia memuat kekuatan pengembangan luar biasa untuk segi intelektualitas dan etika.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun