Dalam beberapa adegan dimunculkan tindakan kasar orang-orang kulit putih terhadap kulit hitam. Budak-budak dipukul dan dicambuk oleh mandor jika melakukan pelanggaran. Bahkan orang kulit hitam yang berstatus bebas pun tetap diperlakukan kasar.
Bahkan, pendeta kulit hitam bernama Samuel Green pun terlihat berupaya mencari aman dengan memberikan kothbah-kothah yang membahas mengenai kebaikan kaum kulit putih. Padahal pendeta yang merupakan seorang tokoh agama, sudah seharusnya dapat bersikap sesuai dengan jalan kebenaran.
Saya menemukan satu adegan film yang sederhana, namun sarat akan makna. Adegan tersebut saat pemakaman Edward Broddes, di mana keluarga Broddes yang adalah kulit putih berada di sisi sebelah kanan dengan pakaian hitam dan mewah, sedangkan segerombol kulit hitam terpisah di sebelah kiri dengan pakaian seadanya.
Adegan tersebut memperlihatkan perbedaan kasta antara kulit hitam dan kulit putih yang terjadi pada abad 19 yang sangat kental, di mana bahkan untuk bergabung secara fisik terlihat sudah sangat tidak layak.
Rasisme kulit hitam di Amerika yang terjadi pada masa itu sangat mengiris hati saya. Saya terhanyut dalam film dan tidak sanggup membayangkan betapa kerasnya hidup kaum berkulit hitam.
Perjuangan dari Minty, menjadi Harriet
Setelah kematian Edward, Gideon Broddes memegang kendali atas budak-budak yang dimiliki keluarganya. Pada saat itulah Gideon memutuskan untuk menjual Minty.
Minty yang mempunyai kemampuan melihat masa depan, dapat merasakan takdir buruk sudah sangat dekat. Dari situ, Minty bertekad untuk mengubah takdir dengan memilih kabur dan membebaskan diri.
Pada adegan setelahnya, diperlihatkan Minty berpapasan dengan Johnny suaminya, dan meminta izin untuk pergi membebaskan diri supaya keluarga kecil mereka nantinya dapat hidup dengan bahagia dan bebas dari perbudakan.