Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Politik

Setahun Prabowo-Gibran: Janji, Harapan, dan Rasa yang Tertinggal di Jalan

14 Oktober 2025   20:48 Diperbarui: 14 Oktober 2025   20:48 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan mahasiswa dan warga menggelar aksi damai di Jakarta, menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah. (Sumber: Human Rights Watch.)

Setiap pemerintahan selalu datang dengan janji dan harapan. Rakyat menyambut dengan rasa optimistis, meski sebagian masih menahan ragu. Sejak satu tahun lalu, Indonesia kembali menaruh keyakinan kepada pasangan baru di pucuk kekuasaan.

Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka diberi amanah untuk memimpin negeri ini menuju arah yang lebih baik - setidaknya begitu harapan awalnya. Namun, seiring waktu, optimisme itu mulai diuji oleh realitas di lapangan yang tak selalu berpihak pada rakyat kecil.

Banyak yang mengira perubahan besar akan segera terasa: harga stabil, pekerjaan mudah, dan hukum tegak untuk semua. Tapi yang terjadi, justru kehidupan makin pelik. Bukan karena rakyat menuntut hasil instan, melainkan karena tanda-tanda kemajuan itu belum benar-benar terasa. Yang muncul justru keluh kesah, kekecewaan, dan rasa kehilangan arah.

Janji 17 Juta Lapangan Kerja dan Realitas di Lapangan

Masih segar di ingatan bagaimana janji 17 juta lapangan kerja jadi salah satu magnet terbesar kampanye tahun lalu. Rakyat tentu antusias, apalagi setelah melewati masa sulit pasca-pandemi. Tapi kini, satu tahun berlalu, di mana semua itu?

Di berbagai kota, berita PHK justru makin sering muncul. Industri padat karya seperti garmen dan manufaktur mulai merumahkan karyawan karena pesanan menurun. Di sisi lain, dunia digital yang dulu digadang-gadang jadi penopang ekonomi justru sedang lesu. Startup tumbang, marketplace sepi, dan lapangan kerja digital yang dijanjikan tak secerah yang diharapkan.

Ironinya, di tengah situasi itu, syarat mencari kerja makin ribet. Buat SKCK harus punya BPJS aktif, dan BPJS itu sendiri harus dibayar penuh agar dianggap sah. Sementara bagi mereka yang belum bekerja, aturan seperti ini terasa seperti candaan pahit. Mau kerja harus punya BPJS, mau punya BPJS harus punya uang, tapi uangnya dari mana kalau belum kerja?

Di sisi lain, diskriminasi usia masih kuat. Banyak perusahaan menolak pelamar di atas 35 tahun, bahkan untuk posisi yang sebenarnya bisa dikerjakan dengan pengalaman. Sementara fresh graduate juga kesulitan, karena hampir semua lowongan mensyaratkan “pengalaman minimal dua tahun”. Jadi, entah di mana posisi aman bagi rakyat biasa yang cuma ingin bertahan hidup dengan cara yang halal dan layak.

Pemerintah, Aturan Nyeleneh, dan Suara Rakyat yang Tak Didengar

Bukan hanya soal pekerjaan. Setahun terakhir ini, rakyat juga dibuat geleng-geleng kepala dengan sejumlah kebijakan dan pernyataan dari para petinggi negara. Mulai dari aturan-aturan yang berubah tanpa penjelasan yang masuk akal, hingga keputusan yang terasa lebih mengutamakan kepentingan elite daripada kepentingan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun