Ada perjalanan yang bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan undangan bagi jiwa untuk hadir dan merasakan keberkahan. Itulah yang saya alami pada Agustus 2023, ketika Allah memberi kesempatan langka untuk duduk di majelis Habib Umar bin Salim bin Hafidz, ulama kharismatik dari Tarim, Hadramaut, Yaman.
Saya mengenal beliau melalui potongan nasihat yang sering berseliweran di media sosial. Kharismanya terasa bahkan dari layar handphone: senyum yang teduh, tutur kata yang lembut, dan pesan yang mudah menembus hati.
Dalam hati kecil saya selalu berdoa, “Semoga suatu saat bisa bertemu langsung.” Maka ketika kabar safari dakwah beliau ke Indonesia muncul, tekad saya langsung bulat: apa pun rintangannya, saya harus hadir.
Waktu itu keadaan keuangan sedang sulit. Tabungan tipis, pekerjaan pun nggak pasti. Namun niat yang tulus selalu menemukan jalannya sendiri. Tiba-tiba saya memenangkan sebuah challenge dari brand lokal, dan hadiah itu menjadi modal perjalanan saya dari Lampung ke Jakarta. Rasanya seperti tanda bahwa ketika langkah menuju kebaikan sudah diputuskan, Allah akan memudahkan.
Masjid Istiqlal sore itu berdiri megah seperti biasa, dengan kubah raksasa yang seolah memeluk siapa saja yang datang. Namun kali ini suasananya berbeda. Ribuan jamaah memadati area dalam masjid, bahkan meluber hingga ke halaman dan jalan-jalan di sekitarnya.
Udara Jakarta yang gerah seolah kalah oleh semangat orang-orang yang ingin mendengar ilmu dan shalawat. Saya merasa beruntung bisa masuk ke dalam masjid di lantai utama, meski harus berdesakan di tengah lautan manusia.
Ketika tabligh akbar dimulai, suasananya sungguh magis. Lantunan shalawat menggema, seolah dinding-dinding Istiqlal ikut bergetar oleh gelombang cinta kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam (SAW).
Dan saat mahalul qiyam tiba - ketika hadirin berdiri menyambut dengan syair “Marhaban Ya Marhaban” - tubuh saya merinding hebat. Air mata jatuh tanpa terasa, seakan jiwa ini sedang diajak larut dalam samudera kasih yang melintasi batas ruang dan waktu. Malam itu bukan sekadar acara besar; ia adalah pertemuan ruhani yang membuat siapa pun merasa kecil di hadapan-Nya.
Selain Habib Umar, hadir pula banyak ulama dan habaib yang selama ini hanya saya kenal lewat video dan buku-buku. Ada Habib Ali Zainal Abidin Al Hamid, Habib Nabiel Al Musawa, Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, Habib Idrus Alaydrus, dan lainnya.
Melihat beliau-beliau duduk bersama di satu majelis, di hadapan ribuan jamaah, menghadirkan haru yang sulit dijelaskan. Ada rasa syukur yang pekat karena diberi kesempatan menyaksikan kehangatan para alim ulama berkumpul dan menebarkan ilmu dengan penuh cinta.
Selepas tabligh akbar, saya memilih bermalam di masjid agar bisa mengikuti shalat subuh keesokan harinya. Fajar perlahan menyelinap ke dalam ruangan yang hening. Saya mendapat tempat duduk di shaff ketiga dari barisan VIP, cukup dekat untuk melihat wajah Habib Umar yang memimpin jamaah.
Setelah shalat, suasana tiba-tiba menjadi haru: seorang pria melangkah maju untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia menyatakan diri untuk memeluk agama Islam - Habib Umar membimbingnya dengan suara lembut, sementara jamaah menyimak dengan mata basah.
Di bawah cahaya subuh yang lembut, momen itu terasa seperti saksi bahwa hidayah bisa datang kapan saja, kepada siapa saja, dengan cara yang penuh kasih. Saya merinding menyaksikannya - sebuah pengingat bahwa majelis ilmu bukan hanya tempat mendengar nasihat, melainkan juga ladang bagi jiwa-jiwa baru yang mencari jalan pulang.
Perjalanan itu tak berhenti di Istiqlal. Sehari sebelumnya saya sempat menghadiri haul Habib Abu Bakar bin Salim di Cidodol, juga berziarah ke Keramat Empang Bogor. Setelah tabligh akbar, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi makam Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi di Kwitang. Makam yang sederhana itu, berdiri tenang di tengah riuh kota, mengingatkan bahwa jejak kebaikan akan selalu lebih abadi daripada gemerlap dunia.
Jika saya menoleh ke belakang, ada satu benang merah dari seluruh perjalanan itu: niat yang tulus akan menemukan jalannya, bahkan ketika awalnya tampak mustahil. Dari rezeki tak terduga yang membiayai perjalanan, hingga kesempatan duduk di majelis ilmu dan menyaksikan seseorang menemukan cahaya imannya - semuanya menjadi pengingat bahwa keberkahan sering datang ketika hati mantap melangkah.
Dan tahun ini, kabarnya Habib Umar akan kembali safari dakwah ke Indonesia pada bulan Oktober. Dimulai dari Solo, lalu ke Jakarta dengan tabligh akbar yang rencananya akan digelar di Monumen Nasional (Monas) pada 17 Oktober. Semoga Allah kembali mengizinkan saya dan siapa saja yang merindukan suasana itu untuk hadir, duduk, dan menyerap hikmah dari majelis beliau. Aamiin.
Dari pengalaman itu saya belajar, momen berharga tak selalu hadir dalam bentuk kejutan besar atau kemewahan. Kadang ia tersembunyi di antara detik-detik sederhana: di tengah lautan jamaah yang berdiri penuh cinta, dalam lantunan shalawat yang mengguncang hati dan jiwa atau dalam bisikan lembut seorang guru yang menuntun seseorang ke jalan cahaya.
Mungkin itulah yang disebut one in a million moment - anugerah yang tidak bisa dipaksa, namun dapat dijemput dengan niat baik dan langkah yang tulus. Dan ketika ia datang, yang perlu kita lakukan hanyalah hadir sepenuh jiwa, mensyukuri setiap detiknya, karena keberkahan sering menyelinap di sela-sela waktu yang kita hargai dengan sepenuh hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI