Hidup di Bogor dengan segala kesibukan pekerjaan seringkali membuat penat. Namun, di tengah rutinitas yang padat itu, saya punya cara tersendiri untuk melepas lelah: naik Commuter Line atau KRL.
Berbeda dengan sebagian orang yang menggunakan moda transportasi ini setiap hari untuk bekerja, saya justru menjadikannya "teman setia" saat akhir pekan. Ini bukan sekadar perjalanan dari titik A ke titik B, melainkan ritual pribadi untuk mencuci mata, merenung, dan menikmati jeda dari kesibukan.
Saat akhir pekan tiba, saya sering memulai perjalanan dari stasiun kecil seperti Nambo atau Cibinong. Bukan untuk mengejar jam masuk kantor, melainkan untuk menikmati momen. Terkadang, tujuannya hanya Bogor Kota, sekadar untuk merasakan keramaian kota dan jajan. Namun tak jarang, saya putar haluan lebih jauh ke Jakarta. Bukan karena ada janji, tapi karena rindu suasana ibu kota dan ingin merasakan pergerakan kereta yang terus melaju.
Di sepanjang jalan, KRL menawarkan lebih dari sekadar perpindahan. Ia adalah ruang nyaman yang dilengkapi AC, kebersihan yang terjaga, dan sistem yang teratur.
Di dalam gerbong yang ramai, saya bisa melihat beragam wajah dan cerita. Ada keluarga yang hendak berekreasi, pasangan yang ingin menghabiskan waktu bersama, atau para pekerja yang baru selesai dinas di hari libur.
KRL menjadi tempat bertemunya berbagai lapisan masyarakat, dari berbagai latar belakang, yang disatukan dalam satu tujuan: mencari kebahagiaan di akhir pekan.
Ada semacam "budaya" tak tertulis yang saya amati di dalam KRL. Saat jam sibuk sekalipun, semua orang tahu cara berbaris rapi. Ketika ada penumpang lansia, ibu hamil, atau anak kecil, secara spontan akan ada yang menawarkan tempat duduk. Ini adalah cerminan dari empati dan kepedulian sosial yang masih hidup.
KRL mengajarkan kita untuk saling berbagi ruang dan waktu, untuk saling memahami, dan untuk menjadi bagian dari sebuah komunitas yang bergerak bersama.
Namun, bagian terbaik dari perjalanan KRL bagi saya adalah pemandangan di sepanjang jalan. Saat kereta melaju kencang, mata saya dimanjakan oleh visualisasi yang beragam. Pemandangan hijau sawah dan pepohonan di pinggiran kota perlahan berganti menjadi rumah-rumah padat penduduk, hingga akhirnya menyatu dengan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta. Rasanya seperti menyaksikan sebuah film dokumenter tentang perubahan lanskap dari pinggiran kota ke ibu kota.
Pemandangan ini memberikan saya waktu untuk merenung. Sambil memandang ke luar jendela, saya sering berpikir tentang banyak hal, dari impian kecil hingga rencana besar.