Dalam dunia yang serba cepat dan instan, kisah perjuangan Abah Karsim dari Dusun Belendung, Subang, Jawa Barat, menghadirkan pelajaran yang menyejukkan hati. Ia bukan siapa-siapa di mata dunia: hanya seorang petani kecil yang menyewa sawah, tinggal di rumah sederhana, dan mengais rezeki dengan membuat terasi. Namun di balik kesederhanaannya, tersembunyi tekad besar — berangkat haji bersama istri tercinta.
Tak semua orang mampu bermimpi setinggi itu. Apalagi jika realitas ekonomi begitu sempit dan serba pas-pasan. Namun, bagi Abah Karsim mimpi itu bukan sekadar angan. Ia menyimpannya dalam doa, menguatkannya dengan niat, dan menanamnya dalam setiap butir keringat yang menetes saat mencangkul tanah dan menjemur terasi.
Segalanya bermula dari pesan seorang Kiai. Bukan khutbah panjang yang penuh retorika, melainkan wejangan sederhana tapi dalam: “Kalau niatmu lurus, insya Allah, Gusti Allah cukupkan jalan.” Sejak itulah Abah Karsim menanam tekad: suatu hari nanti, ia akan menunaikan ibadah haji.
Niat ini ia rawat dalam diam, tanpa banyak publikasi. Ia sadar bahwa haji bukan sekadar perjalan fisik ke Mekkah, melainkan perjalanan iman yang diawali dari dalam diri. Maka setiap kali ia menyemai padi, memeras keringat di sawah, atau menggiling udang kering untuk dibuat terasi, yang ada di benaknya adalah satu: ini bukan hanya untuk makan besok, tapi juga untuk tabungan ke Baitullah.
Sawah Sewa dan Terasi Tangan Sendiri
Apa yang dilakukan Abah Karsim adalah cermin dari betapa ekonomi kreatif bukan sekadar istilah kota. Ia tak punya lahan sendiri, tetapi mampu mengelola sawah sewaan dengan tekun. Hasilnya tak besar, tapi cukup untuk makan, sedekah, dan sedikit demi sedikit ditabung. Tabungan itulah yang setiap bulan ia selipkan, tak peduli berapa pun jumlahnya.
Agar lebih banyak pemasukan, ia dan istrinya membuat terasi. Terasi yang dibuat bukan hanya untuk dijual, tapi juga sebagai simbol ketekunan: dari bahan mentah yang bau dan kasar, menjadi sesuatu yang bernilai tinggi jika dikelola dengan sabar. Terasi buatan tangan itulah yang turut membiayai perjalanan hajinya — sebuah jalan panjang yang tidak instan, tetapi sungguh bermakna.
Nilai yang Tertanam, Lebih dari Perjalanan
Setelah bertahun-tahun menabung dan bersabar, akhirnya pada 2012, Abah Karsim dan istrinya sampai juga di Tanah Suci. Bagi mereka, itu bukan hanya tentang menyentuh Ka'bah atau berdiri di Arafah. Lebih dari itu, haji menjadi momen puncak untuk menyatakan: mereka telah menepati janji iman.