Belum menikah bukan berarti nggak boleh belajar soal keuangan rumah tangga. Justru sekarang saatnya siap-siap!
Kalimat ini sudah sering kita dengar, bahkan jadi bahan candaan di berbagai forum: “Uang suami itu uang istri, uang istri? Ya, uang istri.”
Sekilas terdengar lucu. Tapi kalau direnungkan lebih dalam, di balik guyonan itu tersembunyi pertanyaan besar: sebenarnya bagaimana pasangan suami-istri sebaiknya mengelola keuangan?
Saya pribadi belum menikah, bahkan masih lajang. Tapi bukan berarti saya tidak bisa ikut memikirkan persoalan ini. Justru karena belum berada di dalam perahu, saya merasa perlu belajar arah angin sejak dini - agar ketika waktunya tiba, saya tidak goyah menghadapi gelombang.
Cinta Bertemu Realita: Bicara Uang Bukan Tabu
Menikah itu bukan cuma soal cinta. Ada listrik yang harus dibayar, cicilan rumah, biaya pendidikan anak, kebutuhan makan sehari-hari, sampai dana darurat. Semua ini perlu dibicarakan, sejak sebelum ijab kabul.
Sayangnya, banyak pasangan muda terjebak pada romantisme semata. Padahal menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, lebih dari 50% pasangan muda di kota besar pernah berselisih soal keuangan dalam tahun pertama pernikahan. Ironisnya, bukan karena kekurangan uang — melainkan karena tidak punya visi bersama dalam mengelolanya.
Maka dari itu, penting sejak awal memiliki “peta keuangan rumah tangga” yang jelas. Dan diskusi ini harus terbuka. Tidak perlu malu atau merasa “tidak romantis”. Justru dari keterbukaan itu tumbuh rasa saling percaya.
Tiga Pola yang Sering Dipakai Pasangan
Dari berbagai obrolan dengan teman dan saudara yang sudah menikah, saya melihat ada tiga pola umum dalam mengatur keuangan rumah tangga:
1. Model Tradisional
Suami sebagai pencari nafkah utama, istri mengatur pengeluaran. Penghasilan istri (jika ada) dianggap “tabungan” atau milik pribadi.
Cocok jika peran gender dalam rumah tangga disepakati sejak awal. Tapi bisa menimbulkan ketimpangan jika salah satu merasa terbebani lebih banyak.
2 Model Modern
Kedua pasangan bekerja, lalu menggabungkan seluruh penghasilan ke satu rekening bersama.
Transparansi dan kesetaraan jadi nilai utama. Tapi butuh kedewasaan tinggi untuk menyatukan dua pola pikir finansial yang mungkin berbeda sejak kecil.
3. Model Hybrid
Masing-masing punya rekening pribadi, tapi juga ada rekening bersama untuk kebutuhan rumah tangga.
Fleksibel dan realistis, terutama untuk pasangan yang sama-sama bekerja. Tapi harus ada kejelasan proporsi kontribusi agar tidak memicu konflik.
Tak ada satu model pun yang “paling benar”. Yang terpenting adalah: duduk bersama, ngobrol, dan membuat kesepakatan yang adil bagi kedua pihak.
Budaya Kita Kadang Menyisakan Beban
Dalam budaya Indonesia, terutama di beberapa daerah, laki-laki masih dipandang sebagai “kepala keluarga” yang wajib menanggung seluruh kebutuhan. Sementara perempuan meskipun bekerja, sering kali tetap dianggap “hanya membantu”.
Padahal kenyataannya kini berubah. Banyak istri yang justru berpenghasilan lebih tinggi, atau lebih stabil secara finansial. Tapi jika mentalitas lama masih melekat, sering kali peran istri dalam keuangan tidak dihargai secara setara.
Ini bukan soal siapa yang lebih banyak menghasilkan, tapi bagaimana peran dan kontribusi masing-masing dihargai secara adil. Karena dalam rumah tangga, logika bukan soal menang-kalah, tapi soal tumbuh bersama.
Saya Masih Sendiri, Tapi Boleh Belajar
Sebagai orang yang belum menikah, saya tidak ingin berlagak tahu segalanya. Tapi saya juga percaya: lebih baik belajar sebelum terjun, daripada tenggelam karena tak siap.
Saya melihat bahwa komunikasi keuangan bukan hal yang bisa ditunda sampai setelah menikah. Justru pembicaraan itu harus dimulai sejak masa pendekatan. Bukan dalam bentuk tanya gaji berapa, tapi obrolan tentang visi hidup, gaya hidup yang diinginkan, cara menyimpan dan mengelola uang, hingga pandangan tentang utang, tabungan, dan investasi.
Saya pribadi ingin kelak menjadikan keuangan sebagai proyek bersama - bukan medan perang. Ingin menyusun anggaran keluarga seperti menyusun rencana perjalanan: realistis, terukur, dan tentu saja menyenangkan.
Jadi, Bagaimana Sebaiknya?
Untuk kamu yang akan menikah, atau bahkan sudah menikah: jangan biarkan candaan seperti “uang suami itu uang istri” menjadi pembenar untuk relasi yang tidak setara.
Pernikahan adalah kerja sama. Dan uang, suka tidak suka, adalah salah satu alat ukur kedewasaan kita dalam kerja sama itu. Tidak ada salahnya kalau suami dan istri punya penghasilan masing-masing. Tapi akan jauh lebih sehat jika ada ruang untuk merencanakan, menyepakati, dan bertumbuh bersama.
Untuk yang masih jomblo seperti saya? Yuk, kita belajar dari sekarang. Supaya nanti saat waktunya tiba, kita bisa membangun rumah tangga yang tidak hanya hangat - tapi juga sehat secara finansial.
Karena cinta memang penting. Tapi tanpa literasi finansial, kadang cinta justru bisa kandas karena hal yang sangat praktis: uang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI