Jika kamu berkunjung ke Lampung, seruit adalah kuliner yang wajib dicoba. Bukan hanya karena rasanya yang menggoda, tapi karena nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Seruit adalah perpaduan ikan goreng atau bakar, sambal terasi, tempoyak (fermentasi durian), dan lalapan. Rasanya rumit tapi seimbang: gurih, pedas, asam, dan manis - sebuah simfoni rasa yang hanya bisa dihasilkan oleh warisan turun-temurun.
Baru-baru ini Indonesia meraih peringkat ketujuh sebagai salah satu negara yang memiliki kuliner terlezat di dunia versi Taste Atlas 2025. Sudah tidak kaget jika negara kita meraih posisi itu, selain memang kaya akan rempah-rempah, cita rasa sudah tidak lagi diragukan. Berbicara kuliner, bagi saya ada satu sajian khas dari tanah lada (Lampung) yang menyimpan cita rasa sekaligus makna mendalam, yaitu; seruit.
Lebih dari sekadar makanan, seruit adalah ikon budaya masyarakat Lampung. Ia hadir dalam setiap acara adat, pertemuan keluarga, hingga jamuan penting. Tak berlebihan jika seruit disebut sebagai jantung dari tradisi makan orang Lampung.
Nama “seruit” berasal dari kata “nyeruit” dalam bahasa Lampung yang berarti "makan bersama-sama." Ini menegaskan bahwa seruit bukanlah makanan yang dinikmati sendirian. Ia adalah simbol kebersamaan, gotong royong, dan kasih sayang antar sesama.
Dalam budaya Lampung, seruit menyatukan - bukan hanya rasa, tapi juga manusia. Ia adalah medium untuk mempererat hati, menciptakan ruang berbagi, dan memperkuat hubungan sosial. Dari satu piring seruit, lahir kehangatan yang menyentuh batin.
Proses pembuatan seruit cukup sederhana namun penuh perhatian. Ikan yang digunakan adalah ikan sungai seperti baung, nila, mas, atau gurame. Ikan dibersihkan lalu digoreng atau dibakar hingga matang sempurna - garing di luar, lembut di dalam.
Adapun sambal, merupakan campuran cabai rawit, bawang merah, terasi, dan garam diulek halus. Tambahkan perasan jeruk nipis dan sedikit gula merah untuk kesegaran (sesuai selera). Lalu, tambahkan tempoyak durian atau jika tidak ada, bisa pakai irisan mangga muda.
Seruit paling enak ditemani lalapan segar seperti daun kemangi, timun, dan daun singkong, daun selada, atau daun jambu mente yang masih muda.
Semua ini kemudian disatukan dalam satu sajian: ikan yang dicocol sambal, dilumuri tempoyak, dimakan bersama nasi dan lalapan. Hasilnya? Ledakan rasa yang sarat emosi dan budaya.
Seruit sebagai Cermin Hidup
Seruit menyimpan filosofi hidup yang indah: bahwa kehidupan, seperti rasa dalam seruit, membutuhkan keberagaman. Asam, pedas, gurih, dan manis - semuanya penting. Tidak ada yang mendominasi, justru keindahannya muncul dari keharmonisan.
Lebih jauh, seruit juga mengajarkan keterbukaan. Ia bisa dikombinasikan dengan bahan baru seperti sambal mangga atau petai, tanpa kehilangan jati diri. Seperti budaya yang tumbuh dan beradaptasi, seruit fleksibel tapi tetap otentik.
Seruit bukan sekadar hidangan, melainkan simbol diplomasi budaya. Sajikan kepada tamu dari luar negeri, dan kisahkan bahwa dalam setiap suapan terkandung cinta, sejarah, serta identitas masyarakat Lampung.
Bagi siapa pun yang datang ke Lampung, menyantap seruit bukan hanya soal rasa. Ini adalah perjalanan batin menyusuri akar budaya. Seruit menjadi saksi nilai-nilai luhur yang dijaga oleh masyarakat Lampung: kebersamaan, toleransi, dan kehangatan.
Maka saat kamu mencicipi seruit, jangan hanya nikmati pedas dan asamnya. Rasakan juga denyut kehidupan yang mengalir di baliknya - rasa yang tumbuh dari cinta pada tanah kelahiran, keluarga, dan warisan yang abadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
