"Sesungguhnya bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Barang siapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan."
- Tere Liye, Hujan
Di tengah derasnya arus digital, media sosial, dan krisis identitas, Generasi Z atau Gen Z kerap dihadapkan pada tantangan yang tak kalah berat: kecemasan, kehilangan, dan usaha memahami diri sendiri. Di sinilah kekuatan novel Hujan karya Tere Liye terasa sangat relevan dan menyentuh.
Meski berlatar masa depan (2044–2050), Hujan bukan sekadar novel fiksi ilmiah. Ia menelusuri luka-luka manusia yang universal dan abadi: cinta, kehilangan, dan keberanian untuk menerima realitas. Kisah Lail dan Esok mewakili jiwa-jiwa muda yang berusaha bertahan ketika dunia tak lagi memberi pelukan.
Kisah Dua Remaja dan Jejak Luka yang Abadi
Novel ini bermula dari bencana letusan gunung super besar yang mengubah segalanya. Lail, gadis 13 tahun, kehilangan kedua orang tuanya. Esok, remaja 15 tahun, kehilangan semua kakaknya. Mereka bertemu di lorong bawah tanah - sebuah simbol lahirnya harapan di tengah reruntuhan.
Kisah mereka berkembang dari rasa saling menguatkan menjadi ikatan emosional yang dalam. Namun, hidup membawa keduanya pada jalan berbeda: Esok diadopsi oleh ilmuwan dan tumbuh jadi inovator besar, sedangkan Lail tumbuh di panti asuhan dan menjadi relawan kemanusiaan.
Namun, bayang-bayang masa lalu tak pernah benar-benar pergi.
Teknologi Penghapus Ingatan: Melupakan atau Menerima?
Hal paling menarik dari novel ini adalah keberanian Tere Liye memasukkan unsur fiksi ilmiah secara elegan. Di tahun 2050, manusia bisa menghapus memori tertentu lewat terapi khusus. Lail menjadi pasiennya. Ia ingin melupakan semuanya - terutama tentang Esok dan hujan, simbol dari kehilangan.
Cerita pun berjalan dengan alur maju-mundur yang rapi, dibingkai oleh sesi konseling bersama Elijah, psikolog profesional. Dari sinilah, kita diajak menyusun ulang serpihan hidup Lail - penuh emosi, konflik batin, dan renungan.
Nilai-Nilai yang Relevan untuk Saat Ini