Mohon tunggu...
Coolis Noer
Coolis Noer Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writing to Release an Overthinking

Menulis sebagai bentuk ekspresi, juga mengungkapkan rasa syukur

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Menjadi jurnalis, Mimpi Belaka Ataukah Sebuah Cita-cita?

13 Februari 2017   16:11 Diperbarui: 1 Maret 2017   00:00 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi seorang jurnalis banyak sekali keuntungannya. Mulai kerja lapangan yang mengasyikkan, bertemu orang-orang baru dari berbagai kalangan yang akan sangat welcome, sampai hobi jalan-jalan yang dibayar orang karena menjadi pekerjaan. Tapi baru-baru ini saya sangat galau akankan menjadi jurnalis menjadi mimpi belaka ataukah cita-cita yang akan saya dan harus tetap saya capai.

Merupakan sebuah pilihan sulit bagi seorang mahasiswa perguruan tinggi yang ingin membahagiakan orang tua dengan berprestasi ke luar negeri seperti saya. Cita-cita adalah sebuah harapan yang sudah diukir sejak mungkin kita belum mengenal apa itu rintangan dan apa itu sebuah perjuangan. Yap sejak dulu kecil saya sangat tertarik dengan lingkungan, ingin menjelajahi satu tempat ke tempat yang lainnya. 

Sejak dulu ingin mengenal satu desa ke desa yang lainnya meski cuma jalan-jalan ala kadarnya. Hingga akhirnya saya masuk perguruan tinggi mengenal ada yang namanya dunia internasional, meski sekadar tahu saja tanpa sekalipun pernah ikut terlibat dalam aktifitas berkaitan kegiatan antar negara dan antar bangsa. Namun mendengar hal itu saja, sangat memotivasi saya untuk bisa mendatangi negara-negara lain dan bertemu serta bercampur dengan kebudayaan mereka.

Pernah sekali mengikuti program praktikum pengalaman profesi atau dulunya di dalam lingkup study perguruan tinggi untuk menjadi guru masih disebut sebagai program praktik lapangan. Meski program tersebut dilaksanakan di Malaysia, negara luar selain Indonesia tercinta yang saya datangi, namun menurut saya hal tersebut bukanlah sebuah aktifitas atau kegiatan yang bersifat mempertemukan satu atau beberapa unsur kebudayaan secara nyata. Karena di sana kami hanya sempat melihat unsur kebudayaan tersebut secara satu arah, bukan melalui aktifitas fisik yang melibatkan dua empu kebudayaan yang berbeda antara saya dengan bangsa atau warga negara lain.

Entah mengapa sejak di perguruan tinggi itu kemudian tertarik sekali ingin mengunjungi negara-negara lain, mengenal kebudayaan mereka, berbaur dengan orang-orang dari negara mereka, menimba ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya dan tentunya bermodal materi yang tidak bersumber dari orang tua lagi. Hal ini mengingat sejak dari dahulu hanya saya seorang dari keluarga yang sampai hari ini duduk di perguruan tinggi masih mengandalkan jatah uang saku dari orang tua tanpa sempat membalasnya. 

Terlebih kedua kerabat yang lain sejak lulus smp dan sma sudah bisa memberikan sesuatu. Namun sampai di perguruan tinggi ini saja rasa-rasanya belum ada sesuatu yang membuat mereka bangga dengan pencapaian ini sehingga saya merasa perlu resep baru sebagai mahasiswa di perguruan tinggi, saya harus mencapai sesuatu yang lain yang tidak pernah diberikan oleh kedua kerabat saya maupun mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi lain di sekitar lingkungan saya berada. Resep itu menurut saya adalah dengan berpartisipasi sebagai mahasiswa yang dapat menimba ilmu di negeri orang lain.

Memang itu cita-cita yang sangat menyenangkan dan mungkin harapan banyak orang di luar sana. Tapi di sisi yang lain, sebenarnya dalam hati masih sangat tertarik dalam dunia yang dulu sempat saya jalani dan sempat memberikan sebuah kesenangan yang tidak dapat digambarkan, yakni dunia jurnalistik. Dulu sempat saya aktif selama awal hingga akhir pertengahan perkuliahan bergerak dalam bidang jurnalistik. Bahkan sempat sekli dua kali menjadi bagian orang-orang penting. 

Memang banyak sekali hal-hal menyenangkan dengan berbaur di tengah-tengah orang yang berkecimpung di dalam dunia jurnalistik seperti motivasi, cerita-cerita pengalaman menyenangkan yang semakin mengobarkakan hasrat untuk terjun ke sana sampai kejutan-kejutan dalam dunia jurnalistik yang tidak dapat diduga-duga.

Serta yang paling utama meminjam istilah dari Octo Lampito, redaktur harian Kedaulatan Rakyat yang bukunya saya selesaikan dalam sekejap ini yakni bahwa di dalam dunia jurnalistik itu “ada kebanggaan tersendiri ketika hanya dialah yang bisa melaporkan sebuah kejadian dan dialah orang yang pertama kali melaporkan suatu kejadian kepada pembacanya” baru sempat saya angan-angankan dan belum sempat saya rasakan sebagai sebuah pengalaman hidup. 

Rasa-rasanya menjadi jurnalis itu adalah sebuah mimpi yang kenikmatannya tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Dan berbekal kata-kata Octo Lampito yang tertuang dalam bukunya Jurnalisme di Cincin Api yang menggambarkan aktifitas riil seorang wartawan di lapangan tatkala meliput bencana erupsi merapi 2006 dan 2010, hidup kembalilah hasrat saya untuk menjadi jurnalis yang sempat redup itu menjadi menggebu-gebu kembali.

Sebuah keinginan yang sangat mendalam akan sangat membahagiakan ketika dapat diwujudkan. Namun di sisi yang lain sbelum hal itu akhirnya dapat terwujud, ternyata bagi saya ada sesuatu hal lain yang ingin saya wujudkan bahkan keinginan ini mungkin melebihi keinginan saya pribadi. Siapa sih seorang anak yang tak ingin membahagiakan orang tuanya, tentu semuanya berhasrat untuk memberikan sesuatu yang dapat membuat senyum merekah bangga di raut wajah mereka yang selama ini membiayai kehidupan kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun