Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sunrise di Wajah Lela

19 Januari 2015   23:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:48 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lela berdiri canggung di depan rumah kayu itu. Tangannya memilin ujung jilbabnya dan sesekali menggigit bibir bawahnya. Lela mengenakan jilbab biru yang dihadiahkan kekasihnya kepadanya saat ulangtahunnya yang ke dua puluh. Sudah lima tahun berlalu, warna jilbab itu masih secerah pertama kali dia memakainya. Ragu, ia mengetuk pintu kayu yang berukirkan sulur tanaman. Dia diam sebentar, menunggu. Lagi, ia memilin ujung jilbabnya. Lela gugup sekali, beberapa kali dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan berat.

Dari dalam rumah terdengar langkah kaki, disusul dengan daun pintu yang bergerak, dan pintu itu pun terbuka tanpa menimbulkan bunyi. Perempuan itu masih mengenakan celemek, sepertinya sedang sibuk di dapur. Matanya berbinar menatap gadis manis di depannya.

“Lela? Wah, ayo masuk-masuk.” perempuan itu mempersilahkan tamunya masuk. Bisa dilihat kalau mereka sudah cukup akrab. Perempuan itu membimbing Lela yang masih gugup ke dapur. “Ibu masak semur ayam, kesukaan Mas kamu, kamu juga suka kan?” tanya perempuan itu,  melihat Lela sebentar, lalu melanjutkan memotong-motong kentang. Lela tersenyum dan mengangguk. “Syukurlah.” Perempuan itu menambahkan, tangannya masih sibuk dengan bumbu-bumbu dapur. Beberapa menit berlalu, hening menari-nari di antara mereka.

“Ibu, Mas Aji nya ada?” tanya Lela pelan.

“Oh, ada di kamar. Ibu nggak tahu kenapa anak itu. Dia berubah banyak akhir-akhir ini. Coba kamu samperin gih.”

Mendengar jawaban itu, raut wajah lela semakin terlihat cemas. Dia memandang cukup lama ke padanya. Sepertinya Mas Aji tidak cerita sama Ibu, pikir Lela. “Lela samperin Mas Aji dulu ya Bu?” Lela minta izin. Perempuan itu mengangguk tak lupa senyumnya diberikan kepada gadis itu.

Di pintu kamar Aji, ditempel post it warna kuning, “Just for urgent”. Di dalam, Aji tergeletak di kasur, matanya menatap kosong pada langit-langit kamarnya yang ditempelin dengan gambar bintang, bulan, dan awan yang akan bersinar kalau gelap. Di sela jemarinya, sebatang rokok yang ujungnya masih menyala menebar aroma nikotin. Di sebuah meja kecil, lima gelas kopi yang hanya tinggal ampas berjejer. Kamar laki-laki itu sungguh padat dan pengap. Di satu sisi tempat tidurnya poster Curt Cobain berukuran dua meter menempel gagah, dan di  dua sisi lainnya rak buku menjulang hingga menyentuh atap. Rak buku itu diisi ratusan komik-komik jadul. Dan yang menjadi tempat favoritnya, seperangkat PC lengkap dengan sound system yang pada saat itu tengah memutar Lithium-nya Nirvana, dan gitar akustik bersandar di dinding kusam. Semuanya itu adalah dunia laki-laki yang menginjak usia dua puluh lima itu.

Sesekali ia menyesap rokok di tangannya, menghembuskan perlahan, dan mencoba membantuk lingkar asap dari mulutnya.

Lela berdiri di depan pintu, mengamati post it kuning itu, kepalan tangannya tertahan mengetuk pintu kamar kekasihnya. Awan-awan kelabu menaungi wajah oval manis itu. Ini tak akan mudah, Lela membatin.

“Tok tok tok!” Lela mengetuk, dia menggigit bibir bawahnya. Tidak ada jawaban. Dia mengetuk lagi. Tak juga ada jawaban. Dia mengetuk untuk terakhir kalinya, kalau masih  tidak ada jawaban dia lebih baik pulang.

“Tok, tok, ...” Lela mengetuk untuk yang ketiga kalinya, pintu itu sudah terbuka kasar. Lela terkejut begitu juga dengan Aji. Lela menatap wajah pria itu, bulu-bulu di bawah hidungnya sudah memanjang. Wajahnya berminyak dan kusam. Rambutnya bagian poni diikat menggunakan karet gelang.  Sedangkan Aji menatap gadis di hadapannya, tidak banyak ada yang berubah selain raut wajahnya yang cemas.

“Mas,” panggil Lela, tapi tak sedikitpun ia berani mendekat. Aji tak menjawab. Matanya memandang entah kemana. Lalu dia berbalik masuk ke kamarnya tanpa menutup pintu. Lela mengikuti di belakangnya. Mata gadis itu kini memandang punggung Aji.

“Ada perlu apa?” tanya Aji dingin dan tegas. Lela sedikit tersentak ditanya dengan nada dingin dan tegas seperti itu. Ini pertama kalinya Aji begitu dingin padanya. Mata gadis itu berkaca-kaca. Dia berusaha keras untuk tidak menangis lagi. Sudah cukup malam-malam yang kelam yang penuh dengan airmatanya. Ini saatnya untuk menghadapi semuanya.

“Lela pengen jelasin semuanya sama Mas. Ini tidak seperti yang mas pikirkan. Lela nggak mungkin ngelakuin semua itu. Lela nggak akan berbuat begitu sama Mas.” Sepertinya pertahanan itu tak bertahan lama. Bendungan di mata indah gadis itu tengah menunggu waktu untuk jebol dan membasahi pipinya.

Aji membelakanginya. Menatap susunan komik di hadapannya. “Apa yang aku lihat sudah cukup jelas. Kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi. Sudah cukup jelas kok. Kamu bisa pergi sekarang.” Aji meraih komik Break Shoot. Melemparkan tubuhnya pada kasur dan mulai membaca. Dia sama sekali tak peduli pada gadis itu.

“Mas,” panggil Lela, Aji tidak menjawab, dia membalikkan badannya menghadap dinding. “Lela minta maaf,” gadis itu tak kuasa menahan sedih, airmata kini membanjiri pipinya. Aji masih membeku. Lela terisak hingga bahunya berguncang. Tak tahan mendengar isak tangis Lela, Aji bangkit, menarik  beberapa lembar tisu dan memberikan kepada gadis itu.

“Pulanglah, percuma kamu menangis, airmatamu tak kan mampu mengobati luka di hatiku.”

Pernyataan Aji membuat Lela berhenti menangis seketika. Dia mengeringkan airmatanya. Menghela nafas panjang. Dan tersenyum getir. Saat ia menatap mata Aji, dia menemukan lubang hitam menganga di sana. Begitu juga saat Aji menatap mata Lela, tak ada apa-apa di sana. Kosong.

“Lela pamit mas” Lela keluar dari kamar itu, menghampiri perempuan yang tengah menyiapkan makan siang. Lela izin pulang.

-

Tak lama setelah kepulangan Lela dan makan siang sudah terhidang di meja, perempuan itu memanggil anak semata wayangnya.

“Jiiiii! Makan siang nak!” tak perlu panggilan kedua, atau ketiga, Aji keluar dari kamarnya. Sepertinya dia memang sudah kelaparan.

Aji meneguk air putih yang sudah disiapkan. Aji duduk berhadapan dengan Ibu. Dan makan siang kali ini begitu kaku. Aji dengan pikirannya dan Ibu dengan tatapan matanya yang penuh kasih menatap anak kesayangannya itu. Saat nasi dan lauk di piring tinggal sesuap lagi. Ibu mulai bicara.

“Ji, bukannya Ibu mau ikut campur tentang hubungan kamu dengan Lela,” Ibu memulai dengan nada suara yang pelan dan terkesan hati-hati. Aji memasukkan suapan terakhir, mengunyah dengan hati-hati, dan menelan dengan cepat.

“Bisa Ibu lanjutkan?” perempuan itu meminta persetujuan Aji sebelum melanjutkan.

“Bisa donk,” jawab Aji cepat, matanya sedikit membeliak, tidak menyangka Ibunya begitu formal hari ini.

“Tentang pasangan hidup. Saat kamu sudah menemukannya, kamu merasa yakin, dia adalah temanmu untuk tumbuh, berkembang, dan bertambah tua, selama masih ada peluang untuk mendapatkannya, berjuanglah. Jangan biarkan lepas begitu saja.”

“Dia akan menikah Bu, aku nggak mau merampok calon istri orang.”

“Iya, dia a-k-a-n menikah.” perempuan itu memperlambat bicaranya saat mengucapkan ‘akan’ untuk menegaskan kondisi sebenarnya.

“Dia meng-iya-kan pinangan itu. Untuk apa aku berjuang, percuma.” Aji bangkit, menaruh piringnya di wastafel. “Dia mengingkari janjinya.” tambah Aji. “Aku mau tidur” Aji menuju kamarnya. Baru beberapa langkah, dia berbalik, “aku akan mencuci piringku nanti.” katanya pada Ibunya.

Perempuan itu hanya mengangkat bahunya.

-

Hari merangkak, luka di hati tak kunjung membaik. Seminggu sejak kedatangan Lela ke rumah Aji, keadaan pria itu semakin memburuk. Dia mulai menyakiti dirinya sendiri: mengurung diri di kamar, tidak makan, merokok tanpa henti dan mulai berteman dengan alkohol.

Ibu mana yang tidak khawatir dengan keadaan anak semata wayang yang semakin jauh dari kata baik. Perempuan itu terlihat sedang duduk di dapur menghadap buku kecil yang berisi daftar kontak orang-orang terdekat. Perempuan itu mencari nomor telepon sahabat anaknya, Neffry. Begitu menemukan yang dicari perempuan itu menuju meja di sudut ruang tamu.

Tak lama, Neffry datang dengan membawa sepelastik rambutan. Sepedanya diletakkan begitu saja di halaman. Perempuan yang sedari tadi menunggu menghela nafas lega melihat senyum ceria Neffry.

“Rambutan, Bu!” Neffry mengangkat plastik hitam penuh rambutan itu tinggi-tinggi. “Tadi saya lagi panenin rambutan orang, saya bawa aja sekalian, hehe.” tambahnya sambil terkekeh.

Perempuan itu mengangkat tangannya, “Sebentar, rambutan orang?”

“Iya. Enggak deng. Rambutan bibi, saya yang panenin tadi, dikasih dua pelastik besar. Saya bawa aja ke sini sepelastik.”

Perempun itu tersenyum, “Makasih ya nak, maaf Ibu merepotkan.”

“Weee, gapapa Bu, itu si Aji yang musti ditoyor. Hahaha! Saya langsung ke dalam ya Bu?”

Perempuan itu mengangguk. Ia meletakkan rambutan itu di meja beranda dan melihat-lihat  Krisan kesukaannya yang sedang berbunga.

-

“Ji, buka!” Teriak Neffry di depan pintu kamarnya. Tak perlu berteriak dua kali, pintu kamar itu sudah terbuka. Neffry menarik post it kuning dari pintu, “apaan ini? Urgent? Uruk? Upil?” Yang ditanya melongos kembali masuk ke kamar dan meraih gitar. Jari-jarinya memainkan nada-nada melow.

“Pantai yuk Ji, kamar lu bauk, lapuk, pengap!” Neffry menatap kondisi kamar sahabatnya itu yang sangat berantakan. Seekor kecoa terbirit-birit bersembunyi di balik tumpukan buku saat Neffry mulai menyingkirkan pakaian kotor yang menggantung di tali gorden jendela. Lalu ia membuka jendela lebar-lebar. Aji tidak menjawab. Dia malah ikut merapikan kamarnya. Memasukkan pakaian kotor ke keranjang cucian. Menaruh komik-komik di raknya, menaruh piring, mangkok, gelas, ke dapur. Ibunya yang melihat semua itu tersenyum. Memang ada beberapa hal yang tidak bisa dijangkau perempuan itu terkait sifat anaknya.

“Bu, kita mau ke pantai.” Aji terlihat lebih segar setelah mandi, dia mengenakan kaos putih dan jeans yang sudah sangat belel. Neffry berdiri di sampingnya sambil mengacungkan kedua jempolnya. Perempuan itu tersenyum dan mengangguk.

“Jaga diri ya” pesan perempuan itu.

“Oke, berangkaaat!” jawab Neffry ceria.

-

Mereka sampai di Parangtritis saat matahari siap untuk ditelan samudera Hindia. Aji melepas sendalnya, membiarkan kakinya menapaki pasir pantai yang masih menyimpan hangatnya mentari siang tadi. Neffry mengikuti di sampingnya. Sesekali dia menatap wajah sahabatnya yang sedang galau akut.

“Sampai kapan kita diam begini, kayak orang baru pacaran?”

Aji terkekeh. Dia duduk dan mulai menimbun kedua kakinya dengan pasir. Dia terlihat ragu untuk bercerita. Matanya sesekali menatap matahari yang perlahan mulai tenggelam. “Semua ini tentang Lela, Fry.” Aji pun memulai asal mula kenapa dia mengasingkan diri.

“Oh iya! Aku baru ingat! Lu udah tahu belum?”

“Apa?” tanya Aji cepat.

“Lela kan kabur.” jawab Neffry pendek.

“Serius lu?!” spontan Aji melompat berdiri.

“Iya, lha belum tau dia. Gue pikir lu tahu.”

“Kapan?”

“Sudah seminggu, lhaaa elu kok gak update banget sih!”

“Kampret lu! Seminggu yang lalu dia abis ke tempat gue Fry...” Aji kembali murung, dia kelihatan sangat terkejut.

“Nah itu! Dia pasti udah cerita kan sama lu?”

“Cerita apaan?”

“Lha lu kenapa sih Ji! Kenapa dia sampai dinikahkan sama itu laki-laki kecoa!” Neffry emosi, dia tidak menyangka, Aji, orang yang biasanya paling tahu hal-hal kecil yang terjadi pada Lela,  kini tidak mengetahui hal besar yang terjadi pada orang yang dia cintai itu.

“Yang gue tahu, dia akan nikah sama itu laki-laki. Itu aja.” jawab Aji putus asa.

“Parah lu. Dia nggak kasih tahu alasannya?”

“Gue nggak mau denger penjelasan dia, gue udah ancur banget saat itu.”

Neffry menatap kasihan pada sahabatnya itu. Inilah cinta rupanya, bikin orang mampus, batin Neffry.Nefrrydiusianya yang hampir mencapai seperempat abad memang belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta yang benar-benar cinta. Sekedar suka, mengagumi sih sering.

“Ceritain gue Fry.” pinta Aji.

Neffry duduk di samping Aji dan mulai menceritakan kisah sedih yang menimpa sahabat perempuannya itu, Lela. Aji mendengar di sampingnya, raut benci, sedih, putus asa, dan marah berganti-ganti tercipta di wajahnya.

“Gue udah telat ya Fry?” tanya Aji setelah sahabatnya itu menceritakan masalah sebenarnya.

“Nggaklah, justru gue berharap lu yang musti bawa Lela pulang. Entah dia di mana sekarang. Bapak Ibunya kecarian. Untungnya laki-laki itu tidak memperpanjang masalah.”

“Iya Fry, gue juga menyesal banget, gak mau dengerin penjelasan dia waktu itu.”

“Hmm, lu carilah dia. Gue mau beli minum dulu, parah lu.”

“Apaan lagi?”

“Gue cerita ampe berbusa, lu gak ada niat buat kasih minum.”

Aji melongo lalu tertawa lepas untuk pertama kalinya setelah hampir sebulan dia dirundung kesedihan atas masalah cintanya. Setelah ini dia hanya perlu menghubungi Lela, meminta dia  pulang, dan meminta maaf atas sikap bodohnya.

-

Aji menganggap menemukan Lela gampang, tinggal telepon, minta untuk pulang, selesai. Tapi ternyata tidak semudah yang dia bayangkan. Malam sepulang dari pantai, Aji langsung masuk kamar. Dan seperti biasa, meringkuk di sudut kasurnya dengan jemarinya siap dengan angka satu untuk panggilan cepat ke Lela. Dengan tersenyum getir Aji menekan tombol itu dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya. Matanya membeliak takkala mendengar operator yang menjawab.

“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan. Silakan hubungi beberapa saat lagi.”

Aji terpekur sejenak. Lela tidak punya nomor lain. Dia hanya punya satu nomor telepon sejak SMA, sepengakuan Lela saat masa-masa pedekate. Tidak mungkin dia punya nomor lain tanpa sepengetahuanku. Aji mencoba lagi, hasilnya sama. Operator yang menjawab. Dia mencoba lagi, lagi, dan lagi. Hasilnya tetap sama.

Kali ini Aji mencoba jalan lain. Dia menyalakan komputernya. Mencari modemnya yang entah di mana dia letakkan. Laci meja belajarnya dibongkar dan isinya ditumpahkan ke atas kasur, matanya meneliti. Modem yang dicari tak di sana. Ia berjinjit di depan lemari dan tangannya mencoba meraih tas yang sudah sebulan lalu dia taruh di sana. Hup! Dapat. Aji buka semua kancing tas itu dan isinya ditumpahkan ke atas kasur. Dan si sanalah dia.

Dengan cepat ia mencolokkan modem itu port USB, menunggu sejenak untuk internet terkoneksi dengan baik, Aji menatap foto mereka berdua yang berbingkai kayu buatannya sendiri. Setahun yang lalu, saat liburan semester enam mereka berdua ke Monas. Foto bahagia berlatar monas yang gagah. Aji tersenyum lalu melanjutkan untuk masuk ke akun Facebooknya. Saat dia mengetik nama Lela Ayunda di kolom pencari, Aji menemukan kotak putih yang bertuliskan, “Tambahkan sebagai teman”. Aji menepuk keningnya. Ia lupa kalau dua bulan yang lalu Lela memutuskan pertemanan mereka di Facebook hanya karena Lela cemburu Aji saling berbalas komentar dengan gadis-gadis lain.

Aji menatap profil Lela yang hanya menampilkan foto, sampul, dan beberapa hal lain terkecuali status-statusnya.

Aji keluar dari akun facebooknya. Dan mencoba masuk dengan menggunakan email Lela yang dia ketahui dan dengan kata sandi coba-coba. Tak satupun berhasil. Aji melirik jam dinding, pukul 23.45. Tidak terasa. Perut juga sudah keroncongan, dia lupa makan malam. Keningnya masih berkerut saat keluar dari kamarnya. Aji langsung menuju dapur. Mengeluarkan sebotol air, menyendok nasi sepiring dengan lauk yang banyak, dan sepelastik rambutan dari Neffry diangkut ke kamar.

“Kelaparan?” Ibu Aji  bersandar pada kusen pintu kamarnya. Rupanya perempuan itu sudah melihat Aji sedari tadi.

Aji tidak menjawab. Dia hanya memamerkan gigi gingsulnya dan langsung kembali ke kamar.

Di kamar, Aji, menyantap semua makanan itu. Sambil berpikir, cara apa yang akan dia gunakan untuk menghubungi kekasihnya itu. Setelah menghabiskan semua makanan itu, Aji tiduran di kasur, dan kembali menghubungi Lela. Hasilnya masih sama. Aji mengatur panggilan itu agar panggilan diulang otomatis dan speaker diaktifkan.

Ia meraih saklar lampu yang menggantung di samping, mematikan dan menghidupkan lampu kamarnya hingga matanya lelah oleh cahaya. Dan dia pun tertidur.

-

Saat paginya terbangun, Aji mendapti ponselnya sudah mati karena kehabisan baterai. Dengan tergesa-gesa ia berangkat ke kantor. Rambutnya yang sudah panjang mengembang begitu saja tanpa ia sempat menjinakkan dengan gel kesukaannya. Sarapan yang sudah disiapkan Ibunya dimasukkannya dengan cepat ke tupper biru dan pagi itu Aji menjadi pembalap.

Di kantor wajahnya masih saja muram dan semakin gelap saat tugas-tugas mulai menumpuk di atas mejanya. Ia mendengus, membenturkan pelan kepalanya ke meja, dan menghela nafas panjang. Mari kita mulai hari ini, katanya dalam hati. Sambil mendengarkan suara Curt Cobain  dari headsetnya, Aji mulai mengerjakan desain pesanan dari bagian produksi.

Dan saat Aji dalam kondisi sakral itu, tiba-tiba benang-benang kelabu di otaknya memercik, dan mengembalikan dirinya pada satu waktu, hanya sekejap tapi itu adalah jawaban. Mungkin itu jawaban. Kemungkinan besar.

Aji semakin bersemangat mengerjakan desain pesanan itu. Saat jam makan siang ia bertekad sudah harus menyelesaikan semuanya. Dan dia melakukannya!

“Bray! Pesanannya lu udah kelar, ambil sendiri di meja gue ya. Mau pulang bentaran. Ada hal penting!” Aji menutup telepon. Dan langsung meraih kunci motornya.

Sudah setahun sejak dia menerima nomor paling pribadi Lela. Dan baru kali ini ia mengingatnya. Lela mempunyai dua nomor telepon. Satu yang ada di daftar kontak Aji dan nomor ini diketahui orangtua dan hampir semua teman Lela. Yang kedua, yang katanya Lela, hanya Aji yang mengetahui itu.

“Kalau ada apa-apa, Mas telepon ke nomor itu ya. Cuma mas, yang tahu nomor itu,” kata Lela saat itu. Mereka sedang menikmati malam di satu angkringan yang tak jauh dari tugu Jogja.

Begitu tiba di rumah. Aji langsung memasuki kamarnya. Ia  mencari agenda kecil yang dulu dia sering bawa kemana-mana. Lagi, kamar itu seperti kapal pecah. Sudah hampir semua laci diperiksa dan isinya di keluarkan di atas kasurnya. Saku-saku jaket yang menggantung di balik pintunya ia periksa satu-satu, lalu ia lempar ke dalam keranjang cucian.

Agenda itu entah di mana.

“Ibu tidak tahu, terakhir kali Ibu melihat agenda itu di kamarmu sekitar setahun yang lalu.” Jawab Ibunya saat Aji menanyakan.

Dengan tangan hampa Aji kembali ke kantor. Wajahnya semakin kusut, berlipat-lipat, dan hampir tidak ada kehidupan di sana. Ia menghempaskan pantatnya pada kursi panas itu. Memegangi kepalanya, ia mencoba mengingat di mana ia menyimpan buku itu.

“Ji, pinjam obeng mini donk,” Jeff berdiri dengan lengan berpangku pada kubikelnya. Aji tidak langsung menjawab. Ia malah melotot. Lalu membuang mukanya.

“Yah, kenapa ini bocah. Pinjem! Hape gue rusak lagi.” Jeff tak mau kalah dengan sikap jutek Aji. Ia tetap memaksa dan tidak mau beranjak dari tempatnya meski wajah Aji sudah semakin menyebalkan.

Akhirnya dengan terpaksa, Aji membuka lacinya dan mulai mencari obeng yang dimaksud Jeff. Hanya perlu mengeruk dua kali dari barang-barang yang-entah-apa yang memenuhi lacinya, obeng itu sudah menampakkan diri. Ia memberikan kepada Jeff dengan setengah melemparnya dan Jeff menangkap dengan wajah penuh kemenangan.

Tidak hanya obeng. Di sana, diantara puluhan lipatan kertas yang dibentuk segitiga, sesuatu yang dicarinya, tersenyum menyapanya. Spontan ia meraih buku itu dan mulai membolak balik halamannya satu demi persatu karena ia sudah lupa persisnya tanggal berapa saat mereka duduk menikmati malam di angkringan itu. Jemarinya bergetar hebat saat menemukan nomor telepon itu, begitu juga saat ia menekan pada tombol ponselnya.

“Mas,” sapa suara Lela di seberang saluran.

“...” Aji tak mampu berkata-kata, matanya mulai berkabut saat mendengar suara itu. “Kamu di mana?” tanya Aji cemas.

“Jakarta...”jawab Lela tertahan.

“Pulanglah, Mas pengen minta maaf,”

“Hanya karena itu?”

Aji terdiam, dia ingin sekali menjawab dengan kalimat yang puitis dan romantis. Tapi dia bukanlah laki-laki yang mampu melakukan hal itu.

“Mas pengen kamu, pulang. Di sini sama Mas. Pulanglah Lela... Mas kangen banget...,”

Tanpa di minta, Lela mulai mengeluarkan apa yang mengganjal selama ini di hatinya.

“Lela pikir, dengan menikahi laki-laki itu semua masalah di rumah akan selesai. Dan sepertinya memang begitu nantinya. Makanya Lela menuruti inginnya Ayah dan Ibu. Hingga saat Lela berpikir tentang diri Lela sendiri, apa yang Lela mau. Lela nggak mau itu semua. Lela nggak mau hidup di jalan yang bukan pilihan Lela. Dan mereka nggak berhak melakukan semua itu sama Lela. Lela bukan Siti Nurbaya, Mas...”

“Iya, kamu buka Siti Nurbaya, Kamu Lela Ayunda-Mas,” saat Aji mengatakan kalimat terakhir itu, Lela terisak di seberang sana.

-

Aji sudah sampai di pantai tempat mereka pertama kali bertemu, dua jam lebih awal dari perjanjian. Ia memandang hamparan air di depannya. Raut wajahnya terlihat tenang dan bahagia, tapi tidak pada hatinya. Di sana, deburan ombak berlomba-lomba meraih bibir pantai. Seluruh jiwanya menanti wajah manis yang sangat ia rindukan. Aji merebahkan diri pada pasir pantai. Kini matanya menatap langit di sepertiga malam. Lumayan, bulan dengan awan cirrus, ditemani beberapa bintang di sekilingnya.

Aji tak tahu berapa lama ia dalam posisi seperti itu, yang jelas semburat oranye kemerahan mulai mencumbunya. Aji bangkit, senyumnya mengembang menatap mentari yang selalu menepati janjinya. Indah. Dan saat riak-riak air di lautan memantulkan cahaya itu, Aji merasa semesta menari untuknya. Setiap mata yang memandang pasti akan berdecak kagum olehnya.

Aji tak menyadari kahadiran Lela di sampingnya, hingga Lela memegang tangannya. Aji menoleh dan menatap wajah gadis yang dikasihinya itu. Di sana, di wajah itu, mentari terbit dengan begitu indahnya.

Lela tersenyum dan airmatanya jatuh saat pandangan mereka bertemu.

----

Sumber gambar: http://4.bp.blogspot.com/-iAOn4kiVZP4/TzD49QT22eI/AAAAAAAAAJo/33-3NIflWt0/s1600/5.2.jpg

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun