Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dapur Bambu

12 Juni 2014   16:51 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:05 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="" align="aligncenter" width="485" caption="sumber gambar:http://cache4.asset-cache.net/gc/461555359-businessman-looking-out-over-the-city-at-gettyimages.jpg"][/caption]

-

Dua jam lagi, aku akan kembali ke rumah itu. Sudah selama ini. Aku masih mengingat semuanya seakan semuanya terjadi kemarin. Mataku kembali berkaca-kaca.

Pematang Siantar, dapur bambu kami ...

-

Sebentar lagi warung Tulang Jait tempat kami biasanya mengutang akan tutup. Kupercepat langkahku, sudah hampir jam sepuluh malam. Tulang Jait tidak suka melayani pembeli saat dia sendiri sedang berbenah untuk menutup warungnya. Apalagi yang mengutang.

“Hmmh, ngutang lagi. Kapan kalian bisa  gak ngutang Togap?” Tulang Jait biasa bertanya begitu saat aku datang dengan pesanan Mamak di tanganku. Begitu pun, dia selalu menyiapkan pesanan yang tertulis di secarik kertas yang kuberikan kepadanya. Dia tidak pernah membiarkanku pulang dengan tangan kosong.

Warung itu masih buka. Aku berlari. Dalam hati, aku sudah membayangkan percakapan yang akan terjadi. Bagaimana tingkahku saat menunggu pesananku disiapkan dan bagaimana raut wajah Tulang Jait saat menyiapkan pesananku. Aku sudah hapal mati.

“Tulang!” panggilku seperti biasa. Biasanya kepala Tulang Jait akan melongok dari balik etalase, memandangku dengan tatapan sebal. “Mau apa kau Togap?” lalu dia bertanya begitu. Tapi kali ini muncul gadis seusiaku. Memakai kacamata tipis dan rambutnya keriting panjang.

“Apa?” tanyanya dengan nada menantang. Kusodorkan kertas pesanan Ibu padanya. Dia mengambilnya dari tanganku  dengan sedikit kasar. Matanya meneliti tulisan di kertas itu lalu menatapku dengan penuh selidik.

“Kau si Togap?” tanyanya dengan nada menjengkelkan.

“Iya,” jawabku pendek. Gadis di depanku ber-oh pendek.

“Bentar,” katanya lagi sambil berbalik menuju pintu rumahnya. Warung Tulang Jahit terletak persis di depan rumahnya.

“Paaaak!! Si Togap mau ngutang lagi. Kukasih nggak?” teriak gadis itu kencang. Tidak menunggu lama, kemudian terdengar teriakan Tulang Jait, “Kasih aja!!”

Gadis itu kembali menghadap aku. Menatapku sebentar dengan tatapan yang aneh, seakan aku pengutang abadi di warung mereka. Saat dia menyiapkan pesanan Mamak. Aku meneliti wajahnya. Dia memiliki hidung yang tinggi, rambut panjang keriting, dan bibir yang mungil.

“Apa kau liat-liat?!” bentaknya. Aku terkesiap dan langsung menunduk. Dia menyerahkan pesanan  Mamak dan mengembalikan secarik kertas yang kuberikan padanya yang sudah beri tanda centang.

“Makasih,” ujarku padanya lalu berjalan pulang.

-

Hidup kami di mulai saat orang-orang beristirahat. Kayu bakar yang seharian dijemur di atas seng dipindahkan ke dapur kami yang berdinding anyaman bambu. Pada lantai semen yang mengkilat – Mamak sering mengelap lantai itu dengan ampas kelapa parut–  terletak beberapa helai daun pisang,  dan di lantai tanah terdapat tiga tungku berjejer. Tiga bakul berukuran besar dari anyaman bambu terletak di sudut dapur, beberapa kain sarung panjang yang sudah lusuh disampirkan di sisi bakul itu. Dua dandang besar yang sisi luarnya menghitam oleh jelaga siap untuk dipakai. Tepung beras dan tepung ketan akan diayak, dan dikukus, dilanjutkan dengan jemari keriput Mamak membuat adonan, yang nantinya akan kubungkus dengan daun pisang dan kembali dikukus untuk siap di jual ke kampung sebelah dan ke pasar Horas.

Aku anak penjual Lappet.

Mamak sudah menjual lappet sejak aku kelas 3 SD, sampai sekarang aku sudah kelas 3 SMP. Selama itulah rutinitas yang kami lakukan selalu sama. Dan hebatnya, Mamak tidak pernah mengeluh, itu cukup membuatku kuat. Aku dan Mamak hanya berdua. Berdua dalam rumah semi permanen yang dapurnya berdinding anyaman bambu. Berdua menjalani hidup.

Aku masuk dari pintu samping yang langsung menghubungkan dengan dapur bambu kami. Di bawah cahaya lampu neon Mamak terlihat sibuk memotong daun pisang dengan ukuran yang hanya ditakar-takar saja. Dia melihatku sekilas lalu tersenyum. Kuletakkan pesanan Mamak di lantai. Tepung beras, tepung ketan, gula pasir, gula merah, mie instan, dan telur.

“Marah lagi dia?” tanya Mamak iseng sambil tertawa.

“Biasalah,” jawabku sambil duduk di depannya. Mengambil pisau dan mulai memotong-motong daun pisang.

“Tulang itu baik, jangan melawan kau sama dia ya,” pinta Mamak.

Aku mengangguk sambil terkekeh. Mamak menatapku sebentar, lalu kembali sibuk dengan daun-daun pisangnya. Tanpa diminta aku menceritakan tentang gadis berkacamata itu kepada Mamak. Mamak mendengarkan dan sesekali tersenyum. Setelah aku selesai bercerita, Mamak menyuruhku untuk tidur. Mamak akan membangunkanku jam dua pagi.

-

Aku selalu bangun sebelum Mamak membangunkanku. Masih dengan sarung melilit tubuhku, aku ke dapur dan mendapati Mamak sedang membungkusi lappet. Tanpa berbicara aku duduk menghadap Mamak. Kedua tangan kami cekatan membungkusi adonan lappet itu dengan daun pisang.

Jam empat pagi, saat ayamku si jantan berkokok, semua adonan sudah dibungkus daun pisang. Aku dan Mamak menyusun lappet ke dalam dandang besar untuk kembali di kukus satu jam penuh.

Sambil menunggu, Mamak mengalasi bakul bambu dan kain sarung dan menaruh dandang yang berukuran sedang di dalamnya. Aku, di sisi dapur yang membelakangi ruang depan memasak nasi, telur dadar, dan tumis kangkung, lauk untuk aku dan Mamak untuk sehari penuh.

Kulihat Mamak sudah selesai dengan dengan bakulnya dan kini bersiap untuk mandi. Aku duduk di samping kompor, menunggu telur dadar matang.

“Inilah aku, inilah hidupku,” selalu begitu kukatakan pada diriku sendiri, setiap pagi saat aku dan Mamak menyiapkan semuanya.

Aku seperti Mamak, tidak banyak berkata-kata, tapi kami banyak melihat dan mendengarkan. Selebihnya kami serahkan kepada hati untuk memilah-milah, mana yang terbaik, yang bisa jadi pembelajaran di kemudian hari.

Saat Mamak selesai mandi, semua masakanku sudah selesai. Kulanjutkan dengan mengurangi kayu bakar dari setiap tungku tempat lappet dikukus. Dengan penjepit bambu, satu persatu kupindahkan lappet ke dandang yang dibakul bambu. Dan tak lama kemudian,  Mamak menyusul memindahkan lappet itu ke dandang yang satunya lagi.

Jam lima pagi, semua sudah siap. Aku membantu Mamak menaikkan bakul yang berisi satu dandang lappet ke atas kepalanya. Mamak akan menjualnya dari kampung ke kampung. Dan dua dandang lagi akan kuantarkan ke pasar Horas menggunakan sepeda becak. Di sana ada Nantulang dan Tante yang akan menjual lappet itu untuk kami, dengan upah mereka 500 Rupiah untuk satu lappet yang terjual.

Dan setelah mengantar lappet itu, aku berangkat ke sekolah. Begitu terus sampai aku kelas 2 SMA.

-

Seringkali aku berpikir begini saat kakiku mengayuh sepeda becak, “suatu saat nanti semua ini harus diakhiri. Suatu saat nanti aku yang akan bekerja untuk Mamak. Untuk kami berdua.”

Dan satu pagi, di hari ke sepuluh di bulan Juni. Semuanya berhenti. Berhenti bukan dengan cara yang aku mau tapi dengan cara yang Dia mau.

Mamak tergeletak di antara bakul-bakulnya. Api di tungku masih menjilati dandang di atasnya, sedang lappet di dalamnya menanti untuk dijual.

-

Mamak sudah selesai, sedang aku harus memulai lagi dengan cara yang baru. Yang aku belum tahu cara apa yang harus aku lakukan, untuk aku bisa menyambung hidupku, pendidikanku.

Seminggu setelah pemakaman Mamak, aku kosong. Kebersamaan dalam diam yang kami jalani bersama setiap pagi kini hening membeku. Hampir setiap pagi aku duduk di pintu dapur dan mataku menyuguhkan apa yang aku mau, melihat Mamak yang tengah menyiapkan lappet seperti biasa.

Dan di satu pagi yang basah. Aku tak bisa menahan emosiku. Aku melakukan semua apa yang kami lakukan setiap pagi. Dari menyiapkan adonan hingga mengukus. Aku lakukan semuanya dengan air mataku yang tak kunjung berhenti. Lalu, masih dengan air mata yang luruh di pipiku, aku mulai memakani lappet itu seperti kesetanan. Aku lepas kendali.

Dan saat itu juga aku sadar aku harus berhenti. Aku harus memulai hidupku yang baru.

Tulang Birong, begitu aku memanggilnya karena kulitnya hitam. Saudara Mamak satu-satunya membawaku ke Jakarta, dia membiayai hidupku dan pendidikanku hingga perguruan tinggi. Pada matanya aku menemukan mata Mamak. Tulang Bironglah sekarang tempatku pulang.

-

Mak, aku datang! Di sana, di tanah yang seharusnya berdiri rumah kita dengan dapur bambunya, kini  berdiri dengan gagahnya rumah permanen bercat merah jambu. Tak ada lagi dapur bambu.  Tak ada lagi kita di sana. Aku hanya memandangi rumah itu dari jauh, mencari sisa kenangan di sana.

Dan dengan langkah mantap aku menuju warung Tulang Jait. Senyumku tak bisa kutahan saat menemukan semuanya masih sama.

“Tulang!” panggilku. Dan si sanalah dia. Tulang Jait melongokkan kepalanya dari balik etalase. Matanya berbinar menatapku. Setengah melompat, dia berdiri dan berlari memutari warungnya. Dan saat dia sudah di depanku. Dia menepuk punggungku dan memelukku erat.

Saat dia melepaskan pelukannya kulihat matanya basah. Tulang Jait tak mampu berkata-kata, tapi aku tahu dia senang melihatku mampu berjuang sampai sekarang ini.

Setelah berbincang-bincang, aku mengeluarkan amplop coklat dari tasku dan kuberikan padanya. Dia tertawa.

“Bah Togap! Diingot ho do hape?!” katanya sambil berdiri hendak mengambil buku utang, yang langsung kucegah. Aku tahu kalau dia akan menolaknya saat mengetahui selisih uang di amplop dengan yang di buku utang.

Saat aku izin pamit seorang gadis kecil dengan hidung tinggi berlari menghampiri Tulang Jait. Hidung yang aku kenal, hidung gadis  berkacamata tipis dan berambut keriting. Tulang Jait mengenalkan gadis kecil itu padaku. Namanya Gracia, cucunya.

Aku berpapasan dengannya, dan dia juga masih sama, berkacamata, berambut keriting, dan berbibir mungil. Pandangan kami bertemu sebentar. Di belakangku, gadis kecil itu memanggilnya, “Mama!”.

Aku memang harus memulai lagi.

-

Lampet, dibaca lappet adalah kue khas suku batak. Terbuat dari tepung beras atau ketan, dengan gula merah ditengahnya.

“Bah Togap! Diingot ho do hape?!” (Bahasa Batak) artinya “Wah Togap, ternyata kamu masih ingat?!”

Pasar Horas, pasar yang terletak di pusat kota Pematang Siantar.

-

Ingin menulis fiksi tentang kenangan, budaya, tempat wisata dan kuliner kota kelahiran? Silakan ikuti Event Fiksi Kota Kelahiran yang diadakan oleh Fiksiana Community di Kompasiana.

Untuk infonya silakan simak di sini

Terima kasih ^_^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun