Berangkat dari permasalahan yang ada di masyarakat, Agradaya mencoba memberikan solusi yang inovatif. Pertama, Agradaya memberikan pelatihan dan pendampingan praktik pertanian alami atau natural farming. Tujuannya adalah menghasilkan panenan dengan kualitas yang bagus dan berstandar produk organik. Kedua, Agradaya memberikan pelatihan dan pendampingan manajemen lahan dan analisa usaha tani. Tujuannya adalah memberikan pemahaman kepada petani perihal pengaturan lahan sampai harga pokok penjualan.
Ketiga, Agradaya membangun rumah surya yang berfungsi mengeringkan hasil pertanian dengan teknologi sederhana sehingga petani bisa selangkah lebih maju. Tujuan pembangunan rumah surya adalah meningkatkan nilai jual dan memperpanjang usia rempah para petani.
Setelah adanya rumah surya, kualitas hasil pertanian menjadi lebih baik ketimbang dijemur secara terbuka. Selain itu proses pengeringan menjadi lebih higienis serta terhindar dari debu dan hujan. Biasanya hasil panen dijemur di pekarangan atau jalan yang tentunya mempengaruhi higienitas akibat terpapar kotoran ayam atau burung. Â
Tantangannya adalah petani mengalami kesulitan dalam membuat rumah surya. Mereka belum mengerti bentuknya. Petani mulai paham saat diajak melihat rumah surya yang sudah jadi. Agradaya melakukan pendekatan dengan masyarakat secara perlahan.
KeadilanÂ
Dari hasil pertanian yang dipasok petani, yaitu jahe, temulawak, dan kunyit kering selanjutnya Agradaya mengolahnya menjadi berbagai produk organik, seperti minuman rempah dalam bentuk bubuk. Saat ini Agradaya tengah mengembangkan jahe, temulawak, dan kunyit dalam bentuk oil.
Setelah petani menjalin kerja sama dengan Agradaya, dari segi ekonomi terasa cukup membantu dalam memenuhi kebutuhan. Namun masa panen rempah yang hanya setahun sekali dan kayu sengon yang paling cepat tiga tahun mendesak petani mencari pemasukan lain. Alternatifnya adalah menjadi buruh bangunan. Bahkan para ibu menjadi buruh pengangkut material.
Setiap bulannya penghasilan petani bisa mencapai Rp 1,5 juta. Dari jumlah tersebut, Rp 300 ribu berasal dari pertanian dan Rp 1,2 juta dari pekerjaan buruh. Padahal seharusnya petani sejahtera dari hasil pertanian, bukan dari hasil buruh.
Sebelumnya petani memanfaatkan kotoran kambing sebagai pupuk. Itupun kalau sempat dan kotoran kambingnya ada. Kalau tidak, lahan dibiarkan begitu saja.
Agradaya menilai kualitas dan kuantitas hasil panen akan menjadi lebih baik jika menerapkan natural farming. Di Dusun Pringtali ada 25 ibu yang intensif membuat pupuk, pestisida, herbisida, dan fungisida dari bahan alami berupa fermentasi pepaya mentah, pepaya matang, brotowali, sampai biji mahoni. Pestisida bisa menghindarkan tanaman dari hama.
Sebenarnya tersedia bahan kimia sebagai alternatif. Namun bahan tersebut merusak alam. Petani pun harus mengeluarkan uang. Natural farming tidak merusak lingkungan dan ekosistem, murah, bahkan gratis.