Mohon tunggu...
Michael  Turnip
Michael Turnip Mohon Tunggu... Koki - Chef Turnip

Saya Seorang Chef, dari dapur dan dari memasak saya bisa mengajarkan kepada anak anak saya tentang sebuah proses, tidak hanya menikmati hasil di meja makan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pengalaman Menjadi Juru Masak di Atas Kapal

16 Oktober 2019   20:15 Diperbarui: 18 Oktober 2019   10:39 1427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi | free-photos/pixabay

Di sini saya ingin berbagi pengalaman sekaligus menulis tentang perjuangan seorang koki/chef yang bekerja di atas kapal.

Ini cerita tentang diri saya yang kebetulan saya seorang koki di kapal asing. Sebagian saya ambil dari cerita teman-teman yang seprofesi dengan saya yang juga seorang koki di kapal. 

Bukan hal mudah bagi kami untuk bekerja di atas kapal apa lagi harus meninggalkan keluarga, istri, anak anak dan orang tua dalam waktu yang lumayan lama, terkadang 6 bulan atau bahkan 1 tahun tergantung kebijakan perusahaan. 

Kebanyakan dari sebagian orang yang bekerja berangkat pagi pulang sore atau malam itu sudah biasa dan tidak pantas untuk mengeluh. Beda dengan kami yang berangkat Januari pulang Juni.

Dalam satu hari selama 13 jam saya habiskan waktu di dapur. Selama 6 bulan semusim kontrak kerja saya sebagai tukang masak di atas kapal. Jauh dari keluarga meninggalkan Istri dan anak yang saya cintai. 

Jika anda bekerja di darat berangkat pagi dan pulang sore atau malam anda tidak pantas untuk mengeluh. Lain dengan saya bila saya berangkat Januari dan pulang bisa Juni atau bahkan lebih tergantung kebijakan perusahaan. 

Bersyukurlah anda yang setiap saat bisa berkumpul dengan keluarga. Bagi Sebagian orang 6 bulan adalah waktu yang cepat tapi tidak bagi saya, 6 bulan terasa 6 tahun. Sebenarnya tidak keinginan saya bekerja di atas kapal. Siapa sih yang mau jauh dari keluraga?

Dengan profesi saya saat ini saya bisa cari kerja di negara saya sendiri walaupun dengan gaji yang di bilang pas-pasan untuk kebutuhan hidup. 

Setidaknya saya bisa bahagia bisa setiap saat bersama keluarga. Atau paling tidak saya bisa buka usaha kecil kecilan sebagai penjual makanan sesuai bidang saya, tapi kebutuhan hidup terus meningkat dan saya harus bekerja keras demi keluarga.

Pada akhirnya saya putuskan untuk bekerja di atas kapal sebagai juru masak.

Saya sangat berterimakasih kepada keluarga terutama Istri saya yang selalu mendukung keputusan saya dan saya bersyukur mempunyai Istri yang dapat memahami keadaan saya. 

Sebagai juru masak di atas kapal bukanlah hal yg mudah saya berhadapan dengan krakter orang yg berbeda-beda baik dari suku, agama, bangsa dan bahasa, dan tentunya, lidah mereka berbeda-beda untuk merasakan makanan yang saya buat. Saya harus memutar otak bagaimana caranya agar masakan saya bisa mewakili semua lidah orang.

Saya jadi teringat dengan Ibu saya betapa sulitnya dia mengatur menu untuk anak-anaknya agar masakannya layak, enak dan anak-anaknya bisa senang dan sehat. 

Sebagai juru masak di atas kapal saya berperan layaknya seorang ibu yang harus menyiapkan makanan untuk anak anaknya. Hal-hal tidak menyenangkan pasti selalu ada kritikan pedas, umpatan menjadi menu tambahan saya.

Tapi, saya terus belajar dan terus berbuat yang terbaik buat mereka. Karena tanpa kritikan kita tidak bisa maju. Rasa kesal dan sakit hati pasti ada karena saya manusia. 

Bagaimana tidak, saya sudah berusaha masak yang layak tapi terkadang masi kurang layak di hadapan mereka, masak di atas kapal tidak sama dengan kita masak di darat, di mana semua bahan dan bumbu bumbu ada.

Tapi lain di atas kapal dengan bahan-bahan yang terbatas dan saya harus putar otak untuk mengatur juga mengolahnya sampai cukup untuk 4-5 minggu agar orang-orang tidak kekurangan makanan.

Ini adalah cerita saya dan pengalaman saya sebagai juru masak di atas kapal. Hari hari saya bertemu dengan bahan-bahan mentah. Sayur sayuran, berbagai jenis daging halal dan haram, ikan dan bumbu-bumbu mentah lainnya.

Di dapur saya banyak belajar tentang kesederhanaan dan kemewahan tentang makanan. Dari dapur saya juga bisa belajar tentang perjalanan hidup karena dari dapur semua harus diproses dengan baik agar tercipta sebuah makanan yang layak dan bergizi.

Dari dapur kelak saya akan mengajarkan kepada anak anak saya tentang sebuah proses tidak hanya menikmati hasil di meja makan.

Bagi saya menjalani hidup sama dengan memasak butuh peroses agar layak di hidangkan di depan orang orang  yang akan menyantap masakan yang kita buat.

Di dapur kita harus menjaga semua bahan bahan agar tetap baik dan layak begitu juga dengan kehidupan kita kita harus menjaga tingkah laku, ucapan dan tindakan kita agar tidak menyakiti orang lain.

Dari dapur saya merasa sama prosesnya ketika kita menjalani kehidupan kita sendiri, di sana ada proses yang berjalan, ada kesabaran, ada persiapan, ada proses mematangkan dan juga menghidangkan atau menyajikan. 

Intinya dari dapur saya belajar bahwa hidup itu butuh proses. Wajar bila jalan menuju kesuksesan itu sulit, karena kesuksesan adalah puncak yang berada di tingkat teratas.

Tetap semangat. Jalani proses dan yang terpenting selalu andalkan Tuhan.

Semoga tulisan saya bermanfaat bagi kita.

Salam
Norrkoping 16- 10- 2019
Chef Turnip

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun