Mohon tunggu...
Citra Melati
Citra Melati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan pembelajar

@cmelati86

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayo (Tidak) Jujur!

16 Desember 2020   19:48 Diperbarui: 2 Januari 2021   13:04 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : medium.com

Nilai lebih penting daripada kejujuran.

Saat ini sebagian besar guru lebih menghargai nilai daripada kejujuran. Sekolah telah jarang menghargai proses anak, sekolah selalu mengharapkan hasil, padahal untuk memperoleh hasil memerlukan waktu dan proses dengan cara alami, tuntunan guru, dan potensi sang anak. Bila dipaksakan menuntut hasil dengan cepat yang tidak sesuai individu anak dan mengikuti aturan yang ada, akhirnya menghalalkan segala cara yang berakibat terjadinya manipulasi.

Anak bisa mendapatkan nilai bagus karena tidak jujur melalui "nyontek". Sebagian guru sendiri bahkan menerapkan budaya "nyontek" agar tidak memalukan sekolah. Nilai adalah segalanya dalam pendidikan sekolah, baik itu nilai rapor atau nilai unas sebagai hasil evaluasi akhir. Di sekolah sudah ditanamkan image buruk seperti ini. Di sekolah saja sudah menanamkan budaya dan mental tidak jujur, bagaimana bisa mengharapkan generasi yang luhur?

Sekolah juga telah menanamkan budaya instan melalui nilai. Hal yang terpenting adalah anak menurut, tidak usah banyak tanya, mengumpulkan tugas sesuai perintah, dsb. tanpa melibatkan keingintahuan anak. Sekolah mengharapkan bagaimana caranya anak bisa meningkatkan belajarnya untuk mendapat nilai bagus, mengintensifkan semua mata pelajaran walau tak paham, sehingga ketika ada anak yang kesulitan belajar di mata pelajaran lain, akhirnya beberapa guru mengarang nilai saja.

Selama belajar daring, anak masih belum bisa, tahu, jauh dari makna mengerti, apalagi paham materi yang disampaikan guru, sehingga orangtua sering khawatir dan terpaksa mengerjakan tugas anak demi memenuhi nilai sekolah, beberapa guru tidak acuh apakah anak paham atau tidak, pakai cara apa, yang penting selesai, tidak penting apakah jujur atau tidak, yang penting dapat nilai daripada tidak naik kelas atau tidak lulus.

Apa esensi belajar anak seperti itu? Mau jujur, pasti dinilai malas dan mendapatkan nilai jelek. Beberapa guru tidak jelas saat menyampaikan materi atau bahkan tidak mengajar bertatap muka dan berinteraksi langsung ke anak sewaktu daring. Jika mau memilih, lebih baik tidak jujur biar selamat.

Apakah bisa menanamkan kejujuran kalau seperti ini? Apakah guru sekolah mau menerima anak yang nilainya jelek? 

Bagaimana sekolah menanamkan pendidikan karakter jujur jika sistemnya bobrok dan tidak ada perubahan (sejak revolusi industri pertama). Maukah sekolah menghargai kejujuran anak jika anak nilainya jelek? Nilai bagus atau jelek mana yang lebih dihargai sekolah?  Walau anak jujur kalau nilainya jelek tetap jelek tidak ada bedanya. Tidak hanya guru sekolah dan orangtua malu kalau anak nilainya jelek, anak juga malu. 

Nilai semu yang menggambarkan diri

Disini bahwa kesuksesan anak dilihat dari nilai. Anak boleh sukses asalkan jujur. Hal tersebut bisa diumpamakan kehidupan nyata dengan perbandingan nasib dua anak di kemudian hari. 

Pertama, orangtua berambisi ingin anaknya menjadi polisi tetapi tidak lolos, karena kecewa akhirnya memakai jalan tidak jujur melalui suap agar lolos dan bergaji mapan, punya mobil dan rumah. Kedua, anak usaha sendiri belum berpenghasilan tetap tapi kerja berkah dan bermanfaat bagi orang lain berkat mempertahankan kejujuran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun