Mohon tunggu...
Nurul Aiyuda
Nurul Aiyuda Mohon Tunggu... Mahasiswa yang ingin jadi penulis -

Mahasiswa Psikologi Universitas Gajah Mada Asli dari Riau, dari Negeri di Atas Awan. Tertarik dengan Psikologi Pemaafan. 'Semakin Sulit Kita berusaha-semakin sulit kita berputus asa' singkrof.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memaafkan Itu Sulit?

6 Oktober 2015   05:06 Diperbarui: 6 Oktober 2015   05:25 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Memaafkan itu sulit. Maksud saya adalah memaafkan atau pemaafan secara utuh atau menyeluruh. Pemaafan itu hanya untuk orang yang kuat, seperti kata Mahatma Gandhi “Pemaafan tidak pernah dilakukan oleh orang-orang lemah karena pemaafan itu adalah simbol dari kekuatan”.

Kadang, tanpa sadar ketika anda mengatakan bahwa anda memaafkan ‘pelaku’ misalnya. Anda menganggap, anda telah benar-benar memaafkannya ketika anda mengatakannya di depan semua orang -“ya gue maafin” bahkan dengan wajah tersenyum. Sementara di dalam hati, tidak demikian. Tahukah anda beberapa tokoh psikologi Baumeister, Exline & Sommer (1998) menggambarkan bahwa apa yang anda lakukan saat ini adalah ‘pemaafan semu’ (hollow forgiveness).

Pemaafan ini adalah pemaafan interpersonal yang melibatkan aspek sosial seseorang. Ini terjadi ketika anda mengungkapkan pemaafan di depan orang lain secara verbal, tapi kemudian tetap menyimpan dendam. Dalam hal ini jika anda melakukannya satu kali waktu mungkin akan bisa di abaikan, tapi bagaimana jika anda terus melakukan hal tersebut secara berulang tentu hal ini akan merepotkan diri anda sendiri. Sebab masalah yang sebenarnya tidak terselesaikan dengan baik, sementara ‘pelaku’ merasa dia sudah tidak memiliki masalah dengan anda. Jadi haruskah kita melanjutkan bentuk pemaafan seperti ini?

Di lain waktu kemudian anda mencoba memaafkan ‘pelaku’ tanpa bicara atau mengungkapkan secara langsung pada ‘pelaku’. Pemaafan seperti ini oleh Baumeister dkk (1998) disebutkan sebagai ‘pemaafan dalam diam’ (silent forgiveness). Pemaafan ini merupakan pemaafan sepihak (intrapersonal) dan terkesan amatir. Sering kali terjadi pada orang-orang asing yang tidak dikenal. Pemaafan seperti ini juga sering kali terjadi pada para wanita yang cenderung lebih tidak asertif mengungkapkan kegundahannya, kadang kala mereka cenderung lebih mengabaikan ataupun membawa permasalahan kedalam perasaan untuk dirasionalisasikan dengan cara mereka.

Dalam penelitian Tousaint dan Webb di tahun 2005 ditemukan bahwa wanita cenderung lebih memaafkan dibanding laki-laki disebutkan karena empati yang dimiliki oleh wanita dibanding pria yang lebih cendrung pada logika dengan prinsip keadilan. Sayangnya pemaafan seperti ini akan membuat dua kerugian bagi korban, mulai dari terus kembali di tindas oleh pelaku ataupun pelaku justru merasa terus bersalah dan menjauhi ‘korban’.

Nah, jika anda dalam hubungan pertemanan ataupun keluarga sebaiknya kita tidak melakukan salah satu dari bentuk pemaafan ini. Tapi kita justru melakukan kedua pemaafan ini, yaitu dengan melakukan pemaafan secara total baik itu intrapersonal maupun interpersonal. Dengan begitu ketika anda memaafkan tak ada pihak yang dirugikan. Sebab anda tidak perlu membohongi diri anda ketika memaafkan secara verbal, ataupun ditinggal oleh sahabat anda karena tidak mengungkapkan pemaafan. Jika perlu katakan pada teman atau keluarga anda dengan sikap asertif, sehingga kejadian tersebut tidak berulang. “ Gue maafin loe, tapi jangan diulangin” .

Worthington (2005) memandang pemaafan sebagai tindakan baik hati yang dapat mengembalikan rasa harga diri tanpa mengurangi harga diri orang lain. Daripada anda menyimpan dendam saat ini, lebih baik selesaikan saja permasalahnya sekarang dan detik ini juga, sebab tak ada yang akan berubah pada diri kita ketika memaafkan, kecuali kebaikan dan kebaikan.

Ini CLUP (Cerita Lain dan Unik dari Psikologi)

Dari Aiyudanuu

Sumber

Baumeister, R. F., Exline, J. J., & Sommer, K. L. (1998). The victim role, grudge theory, and two dimensions of forgiveness. dalam E. L. Worthington, Jr. (Ed.), Dimensions of forgiveness (hal 79-104). Philadelphia: Templeton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun