Lucu rasanya hidup di negeri yang bisa heboh karena ulat bulu, tapi adem ayem saat korupsi terjadi. Seolah-olah ulat lebih berbahaya daripada pejabat yang main mata dengan hukum.
Saya membaca tiga artikel opini---Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu, Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal, dan Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati. Dari situ saya sadar satu hal: masalah utama negara ini bukan kekurangan aturan, tapi kekurangan logika dan keberanian.
Artikel pertama menunjukkan bagaimana ulat bulu bisa jadi musuh bersama. Padahal kalau mau mikir jernih, ulat itu ya cuma serangga biasa yang nanti juga jadi kupu-kupu. Tapi karena tampilannya "menyeramkan", semua orang langsung panik. Sayangnya, kepanikan semacam ini tidak muncul ketika yang merusak bukan ulat, tapi manusia.
Lalu ada kasus pagar laut ilegal. Bambu-bambu dipasang seenaknya di laut, melanggar aturan, tapi penyelesaiannya malah berputar-putar. Kalau rakyat kecil yang salah, hukum bisa cepat sekali bekerja. Tapi kalau pelakunya punya kekuasaan, tiba-tiba semuanya ribet. Lucunya lagi, banyak pejabat bicara soal "penegakan hukum", tapi tindakannya tidak kelihatan.
Artikel ketiga membuat saya makin yakin bahwa akar masalahnya ada di keteladanan pemimpin. Banyak pejabat bersumpah saat dilantik, suaranya lantang, pakai jas rapi, tapi setelah itu sumpahnya seperti dilupakan. Etika politik hanya jadi hiasan, bukan pegangan hidup.
Ulat bisa berubah jadi kupu-kupu, tapi korupsi tidak akan berubah jadi kebaikan, meskipun dibungkus dengan alasan pembangunan.
Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?
Pertama, jangan gampang panik untuk hal-hal kecil. Ketakutan itu wajar, tapi jangan sampai mengalahkan akal sehat. Kita boleh jijik sama ulat, tapi jangan sampai cuek sama ketidakadilan.
Kedua, berani bertanya dan menuntut penjelasan. Kasus pagar laut tidak boleh dibiarkan menggantung. Negara harus tegas, supaya rakyat tidak semakin pesimis.
Ketiga, kita harus lebih kritis pada para pemimpin. Kalau mereka bisa sumpah di depan publik, mereka juga harus siap ditegur kalau melanggar. Rakyat bukan penonton, tapi pengawas.
Saya percaya, perubahan itu tidak selalu datang dari tokoh besar. Kadang, perubahan dimulai dari orang-orang biasa yang berani berpikir jernih.
Lebih baik jadi rakyat yang berani berpikir, daripada pejabat yang hanya berani bersumpah.
Ulat bisa kita hindari, tapi kebenaran tidak boleh dihindari. Pagar laut bisa dicabut, tapi jangan biarkan pagar moral tetap runtuh. Sumpah boleh diucapkan, tapi lebih penting untuk dijaga.
Bangsa ini tidak butuh orang yang sok berani, tapi butuh orang yang berani waras.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI