Mohon tunggu...
cliffton wijaya
cliffton wijaya Mohon Tunggu... pelajar

Pelajar membantu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Republik dalam Bayang - Bayang Krisis Kepemimpinan

26 September 2025   08:52 Diperbarui: 26 September 2025   08:52 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kondisi Indonesia saat ini mencerminkan akumulasi dari tiga krisis fundamental yang saling menguatkan: fobia kolektif yang melumpuhkan kemampuan berpikir rasional, disfungsi institusional yang menciptakan impunitas bagi elite, dan degradasi moral kepemimpinan yang menggerogoti fondasi demokrasi. Kasus terbaru yang sangat relevan adalah kontroversi Pilpres 2024 dan dinamika koalisi pascapemilu yang menunjukkan pola yang sama dengan ketiga artikel di atas. Presiden Prabowo Subianto yang dilantik Oktober 2024 menghadapi tantangan besar dalam memulihkan kepercayaan publik setelah periode pemerintahan sebelumnya yang diwarnai berbagai skandal korupsi dan pelemahan institusi demokrasi. Kasus korupsi e-KTP yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto, skandal Jiwasraya, hingga korupsi bansos COVID-19 menunjukkan bagaimana elite politik memanfaatkan krisis untuk kepentingan pribadi. Fenomena "fobia terhadap oposisi" yang muncul dalam bentuk kriminalisasi aktivis dan pembatasan ruang sipil juga mencerminkan mentalitas penguasa yang tidak percaya diri menghadapi kritik konstruktif.

Disfungsi institusional yang terungkap dalam kasus pagar laut ilegal memiliki pola yang sama dengan penanganan berbagai skandal lainnya, seperti kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hingga kini tidak tuntas diselesaikan, atau kasus Century yang berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Koordinasi yang buruk antarlembaga juga terlihat dalam penanganan pandemi COVID-19, di mana tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Kesehatan, Gugus Tugas, dan pemerintah daerah menciptakan kebingungan publik dan inefisiensi anggaran. Bahkan dalam kasus yang lebih sederhana seperti penanganan banjir Jakarta, kita melihat pola yang sama: saling lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah, solusi temporer yang tidak menyentuh akar masalah, dan ketiadaan akuntabilitas yang jelas ketika program gagal dilaksanakan.

Krisis kepemimpinan Indonesia bukan sekadar masalah moral individual, tetapi kegagalan sistemik dalam membangun kultur politik yang mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi dan kelompok.

Untuk mengatasi krisis multidimensional ini, diperlukan reformasi sistemik yang melibatkan seluruh stakeholder dalam society. Pertama, di level pendidikan, kurikulum nasional harus diperkuat dengan komponen literasi media dan berpikir kritis agar generasi muda tidak mudah terpengaruh hoaks dan dapat menganalisis informasi secara objektif. Kementerian Pendidikan perlu bekerja sama dengan ahli psikologi sosial untuk mengembangkan program anti-fobia yang mengajarkan respons rasional terhadap ancaman, baik nyata maupun imaginer. Kedua, reformasi birokrasi harus difokuskan pada penyederhanaan prosedur dan peningkatan akuntabilitas melalui sistem digitalisasi yang transparan dan mudah diaudit publik. Presiden Prabowo perlu membentuk task force khusus yang bertugas mengevaluasi dan merestrukturisasi tumpang tindih kewenangan antarlembaga, dengan timeline yang jelas dan sanksi tegas bagi pejabat yang tidak kooperatif. Ketiga, sistem rekrutmen dan promosi PNS harus direformasi dengan mengutamakan merit system dan integritas, termasuk penerapan tes psikologi untuk mengidentifikasi kandidat yang memiliki ketahanan mental dan komitmen terhadap pelayanan publik.

Pada level politik, DPR dan MPR perlu merevisi mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan sumpah jabatan dengan membentuk komisi etik yang independen dan memiliki kewenangan sanksi yang tegas. Partai politik harus diwajibkan melakukan kaderisasi berbasis kompetensi dan integritas, bukan sekadar loyalitas pribadi atau kemampuan finansial. Sistem pemilu juga perlu direformasi dengan memperkuat threshold dan mengurangi jumlah partai politik agar konsolidasi demokrasi dapat berjalan lebih efektif. Keempat, penegakan hukum harus diperkuat melalui pembentukan pengadilan khusus untuk kasus korupsi dan pelanggaran kode etik pejabat, dengan hakim yang independen dan proses persidangan yang transparan. KPK perlu dikembalikan kekuatannya dan diberikan kewenangan tambahan untuk melakukan pencegahan korupsi melalui audit sistem dan rekomendasi perbaikan tata kelola. Kelima, partisipasi masyarakat sipil harus difasilitasi melalui pembentukan forum konsultasi publik yang regular dan memiliki kekuatan hukum dalam proses pengambilan kebijakan, sehingga civil society tidak hanya berperan sebagai "pemadam kebakaran" tetapi juga sebagai mitra konstruktif dalam governance.

Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada kemampuan kita mentransformasi krisis kepemimpinan menjadi momentum untuk membangun sistem politik yang lebih akuntabel, transparan, dan responsif terhadap kepentingan publik.

Ketiga artikel yang dianalisis menunjukkan bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis kepemimpinan yang multidimensional, mulai dari ketidakmampuan berpikir rasional, disfungsi institusional, hingga degradasi moral politik. Krisis ini bukan sekadar masalah individual para pemimpin, tetapi refleksi dari kegagalan sistemik dalam membangun kultur politik yang mengutamakan kepentingan publik. Solusi yang diperlukan bukan hanya perbaikan prosedural, tetapi transformasi mendasar dalam mentalitas berbangsa yang mengutamakan fakta di atas opini, transparansi di atas kepentingan pribadi, dan akuntabilitas di atas impunitas. Momentum pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo harus dimanfaatkan untuk melakukan reformasi struktural yang komprehensif, melibatkan seluruh elemen bangsa dalam membangun Indonesia yang lebih demokratis, adil, dan sejahtera. Tanpa political will yang kuat dan komitmen jangka panjang dari seluruh stakeholder, krisis kepemimpinan ini akan terus berulang dan mengancam sustainability pembangunan nasional serta cohesion sosial masyarakat Indonesia.

Sumber Artikel:

  1. Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu (F. Rahardi, Kompas.com, 19 April 2011)
  2. Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal (Editorial Tempo, Januari 2025)
  3. Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo, Kolom Kompas, 28 Agustus 2024)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun