Mohon tunggu...
cliffton wijaya
cliffton wijaya Mohon Tunggu... pelajar

Pelajar membantu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Republik dalam Bayang - Bayang Krisis Kepemimpinan

26 September 2025   08:52 Diperbarui: 26 September 2025   08:52 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebab, permasalahan Indonesia yang kita hadapi sudah sangat serius. Saat ini yang rusak bukan sekadar alam dan lingkungan, melainkan juga moralitas para pemimpin.

F. Rahardi dalam artikelnya mengungkap paradoks mendasar bangsa Indonesia yang mudah dihinggapi ketakutan berlebihan terhadap ancaman yang sesungguhnya tidak membahayakan. Fenomena ledakan populasi ulat bulu yang memicu kepanikan massal justru merefleksikan kondisi psikologis bangsa yang kehilangan kemampuan berpikir rasional. "Ulat, terlebih ulat bulu, sangat dibenci. Sementara keindahan kupu-kupunya dikagumi. Padahal, ulat tidak menyebarkan penyakit mematikan seperti nyamuk." Kontradiksi ini menggambarkan betapa dangkalnya pemahaman masyarakat terhadap siklus alamiah kehidupan. Ironisnya, respons berlebihan terhadap ulat bulu ini justru merugikan ekosistem karena mendorong penggunaan pestisida massal yang memusnahkan predator alami. Ketakutan yang tidak berdasar ini kemudian meluas menjadi pola perilaku kolektif yang mencerminkan ketidakstabilan mental bangsa dalam menghadapi perubahan.

Penulis dengan cerdas menggunakan metafora ekologis untuk membongkar akar permasalahan politik Indonesia yang lebih mendalam. Pengalaman langsung penulis di lahan garapan Kelompok Tani Lestari Griya Karmel menjadi jangkar empiris yang memperkuat kredibilitas analisisnya, di mana "saya melihat banyak sekali kupu-kupu kuning beterbangan berpasang-pasangan. Saya yakin sekarang anak ulat bulu sudah mulai memangsa apa saja yang hijau di kawasan tersebut." Strategi naratif ini tidak sekadar menyajikan observasi personal, tetapi membangun fondasi argumentasi yang menghubungkan fenomena alam dengan kondisi sosial-politik. Teknik kontrastif temporal yang membandingkan resiliensi masyarakat era 1950-1960an dengan kondisi kontemporer sangat efektif dalam menunjukkan degradasi ketahanan mental bangsa. Kemakmuran semu yang ditandai proliferasi mal dan makanan cepat saji justru menciptakan generasi yang mudah panik dan kehilangan adaptabilitas. Pendekatan retoris yang memadukan fakta ekologis dengan kritik sosial ini menciptakan dampak persuasif yang kuat.

Diagnosis paling tajam dari artikel ini terletak pada konsep "fobia nasional" yang menginfeksi seluruh lapisan kepemimpinan Indonesia. "Presidennya takut dimakzulkan, menterinya takut di-reshuffle, dan partai politiknya takut dikeluarkan dari koalisi" menggambarkan patologi politik yang didasari insecurity daripada visi yang jelas. Kondisi ini menciptakan siklus kebijakan reaktif yang tidak menyelesaikan masalah fundamental, melainkan justru memperparah krisis kepercayaan publik. Ketika institusi pendidikan merespons kedatangan ulat bulu dengan meliburkan sekolah alih-alih memberikan edukasi tentang metamorfosis, hal ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam membangun literasi ilmiah dan kemampuan berpikir kritis. Metafora "republik hantu" yang digunakan penulis sangat tepat untuk menggambarkan negara yang dihuni ketakutan-ketakutan maya yang menghalangi kemajuan. Solusi yang ditawarkan melalui peningkatan literasi ekologis dan pemulihan keseimbangan alam sebenarnya merupakan alegori untuk rekonstruksi mentalitas bangsa yang lebih rasional dan berbasis bukti ilmiah.

Editorial Tempo menampilkan kritik institusional yang sangat tajam terhadap disfungsi birokrasi dalam menangani kasus pagar laut ilegal di Banten. Kasus yang seharusnya straightforward ini justru terjebak dalam lingkaran saling lempar tanggung jawab antar-institusi yang mengindikasikan kelemahan struktural dalam sistem penegakan hukum Indonesia. "Penyidikan kasus ini semestinya tidak memerlukan teknik yang rumit dan bertele-tele. Pemasangan patok-patok bambu sepanjang 30,16 kilometer sejak 2023 itu melibatkan banyak orang yang dapat dimintakan keterangan." Pernyataan ini mengkontraskan simplisitas faktual kasus dengan kompleksitas artificial yang diciptakan birokrasi untuk menghindari akuntabilitas. Ketidaksinkronan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI AL, dan Polri dalam menangani kasus ini menunjukkan absennya koordinasi yang efektif dalam struktur pemerintahan. Fenomena pembongkaran pagar laut oleh TNI AL yang diklaim atas perintah presiden, sementara Menteri Kelautan dan Perikanan menganggapnya sebagai perusakan barang bukti, mencerminkan chaos komunikasi di level eksekutif.

Pendekatan jurnalistik investigatif yang digunakan editorial ini sangat efektif dalam mengekspos inkonsistensi dan ketidakjelasan penanganan kasus. Strategi expose dengan menggunakan kutipan langsung dari berbagai pejabat untuk menunjukkan kontradiksi dalam pernyataan mereka menciptakan efek dramatis yang memperkuat kritik terhadap incompetence birokrasi. "Kepala Korps Kepolisian Perairan dan Udara Polri Inspektur Jenderal Mohammad Yassin menyatakan belum ada tindak pidana dalam perkara itu. Dia berdalih masih menunggu keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mengusut penanggung jawab pemasangan pagar laut tersebut." Pernyataan ini menunjukkan bagaimana institusi penegak hukum menggunakan prosedur birokratis sebagai tameng untuk menghindari tindakan tegas. Framing "sandiwara" dalam judul sangat strategis karena mengkarakterisasi seluruh penanganan sebagai pertunjukan teatrikal daripada upaya serius penegakan hukum. Referensi terhadap penelurusan independen Tempo yang lebih efektif daripada investigasi institusi negara menggarisbawahi superioritas jurnalisme investigatif atas birokrasi yang korup.

Dimensi politik-ekonomi yang terungkap dari kasus ini menunjukkan bagaimana kekuasaan ekonomi dapat mengkooptasi institusi negara dan menciptakan impunitas bagi elite. Keterkaitan pagar laut ilegal dengan proyek PIK 2 Tropical Coastland yang melibatkan taipan Sugianto Kusuma dan jejaring elite politico-business memperjelas motif ekonomi di balik skandal ini. "Penetapan kawasan itu sebagai proyek strategis nasional (PSN) oleh Presiden Joko Widodo pada Mei 2024 juga beraroma politik balas budi atas keikutsertaan Agung Sedayu Group dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara." Revelasi ini mengekspos bagaimana kebijakan publik dapat terdistorsi oleh kepentingan privat dan transaksi politik yang tidak transparan. Potensi konflik sosial yang diidentifikasi editorial ini sangat serius karena melibatkan tidak hanya kerusakan lingkungan tetapi juga "upaya mencaplok tanah masyarakat demi segelintir elite superkaya." Rekomendasi untuk Presiden Prabowo agar turun tangan langsung mencerminkan urgensi kasus ini sebagai litmus test kredibilitas pemerintahan baru. Tanpa penanganan yang tegas dan transparan, kasus ini akan menjadi preseden berbahaya bagi impunitas elite dan dapat memicu ketidakpercayaan publik yang lebih luas terhadap institusi negara.

Budiman Tanuredjo dalam kolomnya menghadirkan kritik yang sangat mendasar terhadap krisis keteladanan dalam kepemimpinan Indonesia. Artikel ini tidak sekadar mengungkap fenomena pengabaian sumpah jabatan, tetapi menggali akar permasalahan sistemik yang menggerogoti fondasi demokrasi Indonesia. Kutipan lengkap sumpah anggota DPR yang dibuka dengan "Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota DPR dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945" menciptakan ironi yang sangat kuat ketika dikontraskan dengan upaya mereka untuk mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi. Transformasi sumpah dari komitmen sakral menjadi ritual kosong mencerminkan degradasi integritas politik yang sistemik. Penggunaan terminologi "teks mati" sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana norma-norma konstitusional kehilangan daya implementatif dalam praktik politik aktual. Kegagalan anggota legislatif dalam menghormati putusan MK No 60/2024 dan No 70/2024 menunjukkan ancaman serius terhadap supremasi hukum dan prinsip separation of powers dalam sistem demokrasi Indonesia.

Strategi naratif yang digunakan penulis dengan membuka artikel menggunakan kutipan lengkap sumpah jabatan sangat efektif dalam menciptakan kontras dramatis antara komitmen formal dengan praktik politik yang oportunistik. Pendekatan komparatif historis dengan merujuk pada Gerakan Reformasi 1998 dan enam tuntutan reformasi sebagai parameter evaluatif memberikan kerangka temporal yang memperkuat kritik terhadap stagnasi reformasi. "Dua puluh enam tahun setelah Gerakan Reformasi 1998, muncul lagi gerakan masyarakat sipil tahun 2024 yang melawan kehendak elite untuk mengabaikan konstitusi" menunjukkan kontinuitas perjuangan demokratik yang harus diulang karena elite politik gagal menginternalisasi nilai-nilai reformasi. Referensi kepada tokoh-tokoh bangsa yang telah tiada seperti "Hatta, Agus Salim, Nurcholish Madjid, Buya Ahmad Syafii Maarif, Gus Dur, IJ Kasimo dengan politik bermartabat" berfungsi sebagai kontras nostalgia yang memperkuat argumen tentang krisis keteladanan kontemporer. Teknik personifikasi ini menciptakan kesan kekosongan kepemimpinan moral yang mendalam. Analogi "muazin" yang hilang tanpa ada penggantinya sangat kuat dalam menggambarkan absennya figur yang dapat memberikan panduan moral dan spiritual bagi bangsa.

Diagnosis paling penting dari artikel ini adalah identifikasi bahwa krisis keteladanan bukan hanya masalah individual para pemimpin, tetapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam proses seleksi dan kaderisasi kepemimpinan nasional. "Soal ketidakadilan ekonomi, soal keteladanan, dan lumpuhnya penegakan hukum, soal perjudian. Rasanya belum ada perubahan signifikan" menunjukkan persistensi masalah struktural yang tidak terselesaikan meskipun telah 26 tahun pascareformasi. Kenyataan bahwa masyarakat sipil harus turun ke jalan untuk menggagalkan upaya pengabaian konstitusi oleh elite politik menunjukkan bahwa penjagaan demokrasi tidak dapat lagi diandalkan sepenuhnya pada institusi formal. Civil society menjadi garda terakhir dalam mempertahankan konstitusionalisme ketika institusi negara gagal menjalankan fungsi checks and balances. Keberhasilan gerakan masyarakat sipil 2024 dalam menghentikan revisi UU Pilkada yang bermasalah memang patut diapresiasi, namun hal ini juga mengindikasikan ketergantungan yang tidak sehat pada mobilisasi massa untuk menjaga konstitusi. Solusi jangka panjang memerlukan rekonstruksi kultur politik dan penguatan mekanisme institusional untuk mencegah berulangnya krisis serupa di masa mendatang.

Ketika institusi negara kehilangan kemampuan menyelesaikan masalah sederhana, masyarakat harus mempertanyakan kompetensi dan integritas kepemimpinan nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun