Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh kabar bahwa produk-produk seperti tuak, wine, beer, dan bahkan "tuyul" mendapatkan sertifikat halal. Kabar ini langsung viral di berbagai media sosial, menimbulkan reaksi beragam, dari keheranan hingga kecaman. Banyak yang bertanya-tanya, bagaimana bisa minuman beralkohol dan "tuyul," yang secara tradisional dianggap tidak sesuai dengan prinsip halal, justru mendapatkan sertifikat tersebut? Di balik kontroversi ini, ada sejumlah hal yang perlu diluruskan agar masyarakat tidak salah paham.
Menurut penjelasan dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), persoalan ini sebenarnya bukan tentang produk-produk tersebut secara harfiah. Nama-nama seperti tuak, beer, wine, dan tuyul yang muncul dalam daftar sertifikasi halal ternyata hanyalah nama produk atau merek dagang, yang dalam proses produksinya benar-benar mengikuti standar halal. Dengan kata lain, meskipun nama-nama tersebut mengandung konotasi yang tidak sesuai dengan prinsip halal, bahan-bahan dan proses produksinya justru memenuhi semua kriteria halal yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sebagaimana dikutip oleh Andrea Wiwandhana, Founder CLAV Digital, "Kontroversi ini menunjukkan pentingnya edukasi publik terkait penamaan produk dan proses sertifikasi halal. Nama produk kadang bisa menyesatkan persepsi, namun esensi dari sertifikasi terletak pada bahan baku dan metode produksinya." Dalam hal ini, BPJPH dan MUI sudah memberikan klarifikasi bahwa produk-produk dengan nama kontroversial tersebut sebenarnya tidak mengandung bahan-bahan haram, seperti alkohol atau zat lain yang diharamkan dalam Islam. Nama produk hanyalah strategi pemasaran yang kadang memang menimbulkan ambiguitas di kalangan masyarakat.
Namun, ini bukan pertama kalinya sertifikasi halal menimbulkan kebingungan. Sebelumnya, ada juga kasus produk non-makanan seperti kulkas dan peralatan rumah tangga yang mendapatkan sertifikat halal, yang sempat menjadi perdebatan. Dalam kasus tersebut, sertifikasi halal diberikan bukan karena produknya dimakan atau diminum, melainkan karena proses produksinya memastikan tidak ada penggunaan bahan-bahan haram atau metode yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Misalnya, dalam produksi kulkas, beberapa bahan kimia yang digunakan bisa jadi mengandung unsur non-halal, sehingga produsen yang ingin menjual ke konsumen Muslim perlu memastikan bahwa seluruh prosesnya sudah halal.
Kembali ke soal tuak, wine, beer, dan tuyul, ini sebenarnya lebih mencerminkan isu tentang kesepakatan penamaan daripada substansi dari produk itu sendiri. Menurut laporan dari Kementerian Agama, nama-nama tersebut memang bisa menjadi masalah di tingkat branding dan komunikasi, namun tidak ada keraguan terkait kehalalan produk itu sendiri. Nama produk seperti "tuak halal" atau "beer halal" mungkin dianggap sebagai sesuatu yang mengundang kontroversi, karena dalam pikiran masyarakat umum, tuak dan beer selalu dikaitkan dengan minuman keras yang memabukkan dan tidak halal. Namun, secara teknis, jika produk tersebut dibuat tanpa bahan-bahan haram dan sesuai dengan standar kehalalan, maka tidak ada masalah dari segi syariah.
MUI sendiri dalam sebuah pernyataan resminya menegaskan bahwa sertifikat halal diberikan berdasarkan proses verifikasi yang ketat dan melibatkan berbagai elemen penting, mulai dari bahan baku hingga proses produksi. Dalam kasus tuak, beer, wine, dan tuyul ini, MUI menjelaskan bahwa produk-produk tersebut sebenarnya adalah variasi non-alkohol yang diproduksi dengan bahan-bahan yang halal dan tidak ada zat yang memabukkan di dalamnya. Sehingga, secara syariah, produk tersebut sah untuk dikonsumsi oleh umat Muslim, meskipun namanya mengandung unsur yang kontroversial.
Bagaimana dengan produk bernama "tuyul"? Nama ini tentu menjadi yang paling aneh di antara yang lain, mengingat "tuyul" biasanya merujuk pada sosok mistis dalam budaya Indonesia. Dalam kasus ini, nama "tuyul" digunakan sebagai merek dagang untuk sebuah produk tertentu yang ternyata tidak ada kaitannya dengan hal-hal mistis atau supernatural. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa dalam dunia bisnis, penamaan produk bisa sangat bervariasi dan kadang-kadang menimbulkan ambiguitas atau bahkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat.
Sertifikasi halal adalah proses yang sangat teknis dan melibatkan berbagai standar dan aturan yang sangat ketat. Dalam konteks produk makanan dan minuman, sertifikasi halal memastikan bahwa produk tersebut bebas dari bahan-bahan yang dilarang dalam Islam, seperti babi, alkohol, atau bahan-bahan lain yang diharamkan. Proses ini melibatkan audit yang teliti terhadap setiap tahapan produksi, mulai dari sumber bahan baku, proses pengolahan, hingga distribusi produk tersebut. Oleh karena itu, ketika sebuah produk mendapatkan sertifikat halal, masyarakat Muslim bisa yakin bahwa produk tersebut aman dan sesuai dengan syariat.
Namun, di era digital seperti sekarang, dimana informasi bisa dengan cepat viral di media sosial, persoalan seperti penamaan produk bisa dengan mudah menimbulkan kesalahpahaman. Hal ini kembali menekankan pentingnya literasi digital di kalangan masyarakat. Informasi yang beredar harus diteliti dengan seksama sebelum kita bereaksi atau menyebarkannya lebih lanjut. Klarifikasi dari pihak berwenang seperti BPJPH dan MUI sudah cukup untuk menjelaskan bahwa produk-produk yang namanya kontroversial ini sebenarnya aman dikonsumsi oleh umat Muslim.
Secara keseluruhan, kasus sertifikat halal untuk tuak, beer, wine, dan tuyul menunjukkan betapa pentingnya komunikasi yang jelas antara pelaku bisnis, lembaga sertifikasi, dan masyarakat. Nama produk memang bisa menjadi isu yang sensitif, terutama ketika berhubungan dengan norma-norma agama. Namun, dengan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana proses sertifikasi halal berjalan, kita bisa melihat bahwa yang lebih penting adalah substansi dari produk tersebut, bukan hanya namanya. Semoga dengan adanya klarifikasi ini, masyarakat bisa lebih memahami konteks dari berita yang viral dan tidak mudah terjebak dalam kesalahpahaman.