Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjaga Energi untuk Negeri

31 Desember 2015   23:28 Diperbarui: 31 Desember 2015   23:55 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Citra, harga BBM di Indonesia murah ya?” seorang teman bertanya ketika saya masih tinggal di sana. Saat itu harga bensin di Taiwan besarnya dua kali lipat harga bensin di Indonesia. Mendengar jawaban saya, dia berujar, “Enak ya jadi negara penghasil minyak, harga bensin bisa lebih murah.”

Pertanyaan itu muncul karena dia (saat itu) tahu bahwa Indonesia merupakan negara produsen bahan bakar fosil, salah satunya minyak bumi. Yang dikatakannya dengan”enak” sehubungan dengan harganya yang murah sebenarnya tidak berhubungan secara langsung dengan produksi minyak karena selama ini kita dilindungi subsidi. Tapi memang bukan itu poinnya. Dia iri, iri pada negara kita yang kaya.

Taiwan, negara berpenduduk sekitar 25 juta jiwa itu memang tak memiliki kekayaan sumber daya alam seperti Indonesia. Sebagian besar konsumsi energinya disuplai oleh bahan bakar impor, dan Indonesia adalah pengekspor batu bara terbesar untuk Taiwan. Lebih dari 90% bahan bakar untuk negara kecil itu ditopang oleh impor minyak dan batu bara, sisanya dari pembangkit energi tenaga nuklir dan energi terbarukan.

Dengan statistik seperti itu, jika saya orang Taiwan, saya khawatir luar biasa. Apa jadinya bila pasokan bahan bakar fosil terhambat? Apa jadinya bila cadangan bahan bakar dunia menipis?

Menariknya, mereka justru termotivasi. Mereka fokus pada pengembangan sumber energi alternatif, mulai dari tenaga surya, electric vehicles, tenaga angin, waste-to-energy power plant, hingga biofuel.

Bagaimana dengan Indonesia?

Ini Tentang Kapan, Bukan Lagi Jika

Semenjak Revolusi Industri, eksploitasi bahan bakar fosil naik tajam. Dalam 200 tahun terakhir, kita sudah menghabiskan bahan bakar fosil dalam jumlah yang sangat besar dan kini kita menyadari bahwa kekayaan alam ini akan habis. Indonesia sendiri memiliki cadangan minyak dan gas alam sebesar 22 miliar barrel, namun hanya sekitar 4 miliar barrel yang dapat kita ambil. Banyak? Jangan salah. Jumlah “besar” itu hanya setara dengan 10 tahun produksi minyak dan 50 tahun produksi gas. Cadangan bahan bakar fosil kita finite, terbatas, and it is only a matter of when we will run out of it – not if.

Iya, kita harus menyadari bahwa ini bukan lagi jika, kita hanya tinggal menunggu waktu cadangan minyak dan gas alam yang menjadi penopang energi kita habis. Jika kita jalan di tempat, dalam waktu10 tahun kita akan kehabisan minyak. Jika kita tak kemana-mana, gas alam kita akan habis dalam waktu 50 tahun. Setelahnya, dari mana kita menggantungkan hidup?

Dalam ilmu kimia dan fisika, ada sebutan driving force.  Sebutan ini digunakan untuk satu faktor yang mendorong terjadinya sebuah reaksi. Misalnya jika suhu dua lapisan berbeda, maka terjadilah perpindahan panas. Perbedaan suhu itu yang disebut sebagai driving force. Di bidang ilmu lain, yaitu ekonomi, ada istilah inherited wealth dan created wealth. Yang saya amati, untuk urusan sumber energi, Taiwan memiliki driving force yang tinggi untuk mengembangkan created wealth karena mereka tak memiliki inherited wealth. Iya, mereka termotivasi untuk mencari sumber energi alternatif yang mumpuni karena mereka sadar mereka tak sekaya kita.

Lalu jumawakah kita? Tentu saja tidak. Semakin menipisnya cadangan bahan bakar fosil mau tidak mau memang harus dijadikan driving force bagi Indonesia untuk mencari solusi. Kita tak bisa leha-leha jumawa dengan kekayaan warisan (inherited wealth) kita. Bukan lagi menitikberatkan pada eksplorasi cadangan minyak dan gas alam yang masih ada, kita harus berpikir tentang sumber energi yang lebih bersih dan terbarukan.

Pertanyaannya kemudian menjadi, aset dan potensi apa yang kita miliki? Apa saja kesempatan yang tersedia dan tantangan  apa yang kita hadapi?

Si Mungil Algae: Aset dan Potensi, Kesempatan dan Tantangan, Inovasi dan Kolaborasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun