Orang bertakwa adalah orang yang mulia. Salah satu kemuliannya, ia dijamin memperoleh ampunan atas dosa-dosanya. Hal ini berarti bahwa siapapun yang berhasil meraih predikat takwa akan memperoleh jaminan tersebut.
Pendek kata,siapapun dan apapun status sosialnya akan memperoleh jaminan tersebut. Apakah ia kaya, miskin, laki, perempuan, berpangkat, rakyat biasa, suku a, b, c,dlll asalkan berhasil meraih predikat takwa, akan memperoleh jaminan atas dosa-dosanya. Hal ini sekalugus menjelaskan bahwa sudah ada kepastian tentang kehidupan yang bahagia di akhirat bagi orang-orang yang bertakwa. Jaminannya pasti surga.
Pertanyaanya, kok bisa orang bertakwa mendapat jaminan ampunan atas dosa-dosanya? Sebab, orang bertakwalah yang mampu menjawab hukum kausalitas dalam kehidupan yang dijalani yaitu  adanya "aksi dan reaksi". Lalu, apa yang dimaksud hukum kaulitas tentang aksi dan reaksi?Â
Hukum itu mengurai tentang langkah yang dilakukan orang bertakwa dan hasil yang akan diperolehnya. Dalam hal ini, langkah yang dilakukan orang bertakwa adalah aksi, sedangkan hasil yang diperoleh adalah reaksi.
Seperti diketahui bahwa orang bertakwa adalah orang yang sudah berhasil melakukan "zero hawa nafsu" (setidaknya "little hawa nafsu"). Hal ini menjadi dasar orang bertakwa melakukan langkah-langkah dalam hidupnya.Â
Langkah demikian, pasti akan mendorong orang bertakwa melakukan dialog dengan "hati kecilnya". Sebab hati kecil inilah yang menjadi cermin sesungguhnya langkah seseorang itu baik atau tidak, benar atau salah. Artinya, hati kecil itu akan berkata dengan sebenar-benarnya.
Ketika hati kecilnya mengatakan bahwa yang dilakukan adalah tidak benar, maka orang bertakwa akan mengikuti "sinyal" yang diberikan oleh hati kecil. Artinya, hati orang bertakwa dipandu oleh suara hati kecilnya. Oleh sebab itu langkah yang dilakukan orang bertakwa berada dalam filter hati kecilnya.
Aksi- Reaksi dalam Konteks Dosa dan Pahala Orang Bertakwa
Dalam kehidupan setiap orang sebenarnya berada dalam hukum kausalitas aksi dan reaksi. Sebab setiap orang pasti melakukan sesuatu, dan menginginginkan sesatu dari apa yang dilakukan. Apa-apa yang dilakukan hakikinya adalah aksi yang ditunjukkan, sedangkan sesuatu yang diinginkan hakikinya adalah reaksi. Maka, reaksi akan sangat dipengaruhi oleh aksi. Sebab reaksi adalah jawaban atas aksi yang dilakukan.
Hukum tersebut juga berlaku bagi orang bertakwa. Apa yang dilakukan adalah aksi, hasil yang diperoleh adalah reaksi. Bedanya, aksi orang bertakwa didasarkan pada kata hati kecilnya, sehingga reaksi yang muncul akan relevan, sesuai, sama dengan sinyal hati kecilnya. Sehingga ketika hati kecilnya mengatakan itu jahat, orang bertakwa akan menghentikan aksinya. Sebaliknya, ketika hati kecilnya mengatakan "baik", orang bertakwa akan melakukannya.
Mengapa orang bertakwa bisa mengikuti hati kecilnya? Seperti diuraikan di atas, bahwa orang bertakwa adalah orang yang sudah berhasil meminimalisasi hati dan jiwanya dari hawa nafsu. Modal inilah yang mampu mendorong orang bertakwa langkahnya terpandu dengan hati kecilnya.
Pendek kata, orang betakwa adalah orang yang sudah memahami konsep keagamaan dengan baik (ilmu) dan menjalankan dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten (istiqomah). Sehingga orang bertakwa mampu mengelola hati dan jiwanya sesuai ketetapan Allah SWT. Kemampuan demikian pada akhirnya menjadikan orang bertakwa sangat hati-hati melakukan sesuatu agar tidak pada lahirnya dosa. Lawan kata dosa adalah pahala.
Dalam konteks ini, langkah hati-hati orang bertakwa adalah aksi, pahala yang diperoleh dari kehati-hatian adalah reaksi. Karena aksi yang dilakukan orang bertakwa adalah "positif", maka akan memunculkan reaksi yang positif. Reaksi positif tersebut bisa disebut pahala yang diperoleh.
Bagaimana dengan aksi orang-orang yang belum bertakwa? Pada umumnya, aksi yang dilakukan masih "melawan" kata hatinya. Aksi yang dilakukan melahirkan aksi yang negatif, sehingga akan memunculkan reaksi yang negatif. Reaksi negatif itu bisa disebut sebagai dosa.
Contoh: Apakah seorang koruptor hati kecilnya mengatakan boleh? Tentu tidak. Hati kecilnya pasti mengatakan perbuatan itu akan merugikan diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Namun, ia nekat melakukan korupsi. Maka aksi yang dilakukan adalah negatif. Ia melawan hati kecilnya demi kepentingan hawa nafsunya, Â sehingga muncul reaksi yang negatif juga (dosa).
Andaikata, langkahnya diketahui, akan membuat malu dirinya, keluarganya, koleganya, institusinya, dll. Rasa malu tersebut hakikinya adalah siksa yang diterima di dunia. Andaikata tidak diketahui, biasanya akan memperoleh siksa dunia pada saat "sakaratul maut". Sebab ia akan merasakan rasa sakit yang luar biasa. Sebab, ruhnya sulit keluar dari jasadnya, akibat dosa yang masih membelitnya. Belum lagi di akhirat, pasti akan memperoleh siksa yang lebih menyakitkan lagi.
Mengingat langkah-langkah orang bertakwa yang bisa dibilang selektif, terkendali dan terkontrol dengan kata hati kecilnya, maka langkah-langkah orang bertakwa akan mengalirkan pahala. Dosa demi dosa akan tertutupi dengan aneka pahala yang diperolehnya. Maka, orang bertakwa akan dijamin dihapus dosanya.Â
Hari terakhir bulan ramadan, hendaknya menjadi momen refleksi diri. Sudahkah selama menjalani ramadan, kita sudah mengalirkan aksi yang positif sehingga mengalirkan reaksi yang positif yaitu pahala, bukan dosa? Sebagai manusia biasa, menjadi orang bertakwa adalah cita-cita. Semoga ramadan tahun ini, setidaknya menjadi pijakan kita memulai hidup sebagai orang yang bertakwa. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI