Mohon tunggu...
Cipta Mahendra
Cipta Mahendra Mohon Tunggu... Dokter - Dokter yang suka membaca apapun yang bisa dibaca.

Kesehatan mungkin bukan segalanya, tapi segalanya itu tiada tanpa kesehatan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Tantangan Dokter Masa Depan

25 Januari 2021   16:09 Diperbarui: 25 Januari 2021   16:17 1541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Kemajuan teknologi kesehatan bukan lagi keniscyaan, namun telah menjadi kenyataan, apalagi di era pandemi Covid-19 ini. Penemuan vaksin yang biasanya memakan waktu bertahun-tahun, kini untuk Covid-19 hanya kurang dari setahun saja. Keterdesakan akibat laju penyebaran dan infeksi yang sangat cepat serta penerapan kecerdasan buatan untuk analisis biologisnya memungkinkan 'semangat' untuk menciptakan vaksin Covid-19 dalam waktu sekejap menjadi kenyataan. 

Tidak hanya untuk kasus Covid-19 saja, dalam bidang radiologi misalnya, saya telah membaca berbagai artikel penelitian yang sering menyatakan bahwa akurasi diagnosis berdasarkan pembacaan film seringkali lebih tinggi untuk yang dilakukan oleh analisis kecerdasan buatan daripada dokter spesialis radiologi sekalipun. 

Sementara di bidang patologi, inklusi algoritma dari kecerdasan buatan untuk membantu diagnosis juga sudah mulai dijajaki untuk analisis berbagai spesimen pasien, mulai dari hasil pemeriksaan laboratorium sampai prediksi kerentanan terhadap penyakit-penyakit genetik. Bidang bedah pun tidak ketinggalan. Teknik operasi robotik sudah sering dianggap lebih presisi dalam melakukan pembedahan pada pasien, meskipun untuk sekarang masih dibantu pengoperasiannya oleh dokter spesialisnya. Bahkan tidak jarang pula saya membaca dari laman daring informasi kesehatan terbaru bahwa di masa depan, akan semakin banyak bidang-bidang kedokteran yang 'terjajah' oleh teknologi.

Dalam bidang kesehatan masyarakat, disrupsi pelayanan kesehatan juga sudah mulai jamak terdengar saat ini. Pemanfaatan telepon genggam untuk inovasi pelayanan sudah mulai dilakukan. Salah satunya yaitu adanya Indonesian Calkulator Oocytes. Saya juga teringat dengan ulasan tele-kardiotokografi (tele-CTG) untuk membantu para bidan di daerah-daerah terpencil, yang pernah dibahas di media-media massa beberapa waktu lalu. 

Belum lagi, kini semakin menjamurnya situs-situs daring (online) yang menjadi wadah untuk tanya jawab atau konsultasi dan portal informasi kesehatan yang bisa diakses kapan dan dimana saja. Dengan adanya situs-situs itu, semua orang mampu mendapat akses konsultasi dan informasi kesehatan, meskipun jauh dari pusat layanan kesehatan sekalipun. Cukup bermodal internet, masyarakat sudah bisa menjadi seperti dokter, yang mengetahui berbagai penyakit.

Sekarang ini kita masih berada dalam era industri 4.0. Dalam bidang kesehatan, setiap era ditandai dengan adanya sebuah lompatan besar yang membuatnya berbeda bermakna dengan era sebelumnya. Dimulai dari era 1.0 yang ditandai dengan mulai dikenalnya penyakit sebagai fenomena biologis dan bukan magis atau mistik, era 4.0 pada masa kini ditandai dengan kontribusi teknologi informasi kesehatan untuk membantu dokter dalam perawatan pasien. Pesatnya perkembangan teknologi membuat para ahli kesehatan telah memprediksikan era 5.0 di waktu nanti.

 Era ini dimulai dengan penggunaan teknologi untuk manajemen pasien secara mandiri, yang berarti bahwa kecerdasan buatan dan internet of things (IOT) dapat cepat membuat diagnosis dan tatalaksana dengan akurasi tinggi, bahkan untuk kasus-kasus penyakit langka atau jarang yang sulit dipahami dokter. 

Masalah penyakit genetik dan kelainan molekular sel yang kompleks akan bisa dipecahkan dalam waktu singkat oleh kecerdasan buatan. Hanya tinggal masalah waktu untuk melihat adanya sebuah mesin pencari layaknya Google yang khusus untuk menelurkan detil hasil diagnosis dan saran tatalaksana pasien terhadap semua penyakit yang pernah ada. Cukup hanya dengan mengetikkan tanda dan gejala pasien serta hasil pemeriksaan fisik, hasil keluar sekejap. Saya yakin tidak ada dokter di dunia yang otaknya secanggih mesin seperti itu.

 Dokter VS Kecerdasan Buatan

Lalu apakah kelak dokter tak lagi dibutuhkan? Apakah profesi dokter akan menjadi sejarah? Saya katakan tidak. Sampai kapanpun, dokter akan tetap diperlukan. Namun demikian, dokter di masa depan harus menyesuaikan diri dengan kemajuan yang terjadi. Peran dokter di waktu mendatang bukan lagi sekadar pemeriksa pasien dan pemberi informasi, tetapi lebih sebagai jembatan antara teknologi kesehatan dan pasien (masyarakat). Dokter akan lebih banyak mengambil peran yang tidak mampu dilakukan mesin kecerdasan buatan tercanggih sekalipun.

Sebuah mesin pencari canggih mungkin memang akan bisa menjadi lebih pintar daripada dokter dalam hal deteksi dan algoritma manajemen penyakit pasien. Kapasitas memori mesin sudah tentu lebih tak terbatas dibanding manusia apapun sehingga tidak diragukan lagi peran dokter dalam ranah ini suatu saat bisa diambil alih. 

Tetapi perlu diingat bahwa setiap pasien adalah unik. Kita tahu tidak ada satupun manusia yang sama dengan manusia lain, baik genetis, psikologis, apalagi lingkungan dan sosial budayanya. Dengan begitu, setiap manusia pastilah membutuhkan pendekatan penanganan yang berbeda. Mesin kecerdasan buatan tidak mengenal pasien secara pribadi sehingga hasil analisis pemeriksaan pasien yang ditelurkan hanya bersifat umum. 

Disinilah peran dokter menjadi penting. Sebuah mesin hanya pintar sejauh apa yang diprogramkan padanya, tetapi dokter adalah manusia yang memiliki pikiran dan kepekaan hati untuk menilai apa yang paling sesuai untuk pasiennya. Sebagai contoh, pada kasus penyakit maag sebuah mesin dapat saja langsung menyarankan obat-obat paten agar cepat sembuh dan mengurangi waktu sakit, namun jika pasien itu dari kalangan kurang mampu, penggunaan obat generik tentu lebih sesuai. Seorang dokter perlu mengenal pasien tidak hanya dari penyakitnya, tetapi juga kondisi sosial dan ekonominya.

Dokter juga perlu melakukan pendekatan mental-emosional ke pasien-pasiennya. Sebagai makhluk sosial, pasien juga adalah manusia, yang memerlukan sentuhan batin dari manusia lain, makhluk yang hidup dan bukan mesin sebagai benda mati. Bahkan jika mesin kecerdasan buatan suatu saat sudah sangat mampu mendiagnosis dan menatalaksana pasien, dukungan dokter tetap akan selalu dibutuhkan. 

Sudah banyak contoh kasus pasien yang menghadapi sakit keras ataupun kronis terbantu dengan adanya dukungan moral dan batin dari dokter yang merawat, yang membuat mereka menjadi lebih kuat dan semangat serta tak sering bergantung pada obat. Pasien-pasien ini secara mental merasa lebih diperhatikan dokter sehingga akhirnya bermanifestasi secara fisik dan meringankan rasa sakit yang dideritanya.

Dokter VS Media Sosial

Disrupsi teknologi media sosial sudah bukan hal asing untuk kita. Ratusan bahkan ribuan informasi kesehatan berseliweran, melanglang buana di berbagai platform media sosial dan menjadi konsumsi khalayak. Namun tidak sedikit informasi kesehatan yang ngawur dan menyesatkan juga ikut tersiarkan di dalamnya. Peran dokter dibutuhkan sebagai pelurus untuk mengklarifikasi informasi yang beredar. Ini bisa dilakukan baik langsung melalui akun-akun media sosial dokter bersangkutan ataupun melalui konsultasi saat pasien datang ke tempat praktik. Dengan hal ini, masyarakat luas bisa memahami informasi yang lebih akurat dan terhindar dari mitos-mitos kesehatan yang tidak masuk akal.

Meskipun situs-situs daring konsultasi kesehatan telah banyak dijumpai dewasa ini, peran dokter pun juga tak dapat tergantikan. Ingat bahwa pasien umumnya adalah orang awam, bukan dokter. Walaupun situs-situs tersebut biasanya menjawab pertanyaan konsultasi dengan bahasa yang sedapat mungkin menggunakan bahasa awam, selalu ada kemungkinan ketidakpahaman pasien terkait jawaban yang dituliskan dokter yang menjawab, baik untuk istilah maupun pemahamannya. 

Oleh karena itu, memeriksakan diri langsung ke dokter tetap masih lebih baik agar dokter bisa melihat langsung pasien dan melakukan penyesuaian pendekatannya untuk menjelaskan lebih baik. Khusus untuk era pandemi seperti sekarang ini, tele-konsultasi (online) langsung dengan dokter pemeriksa di klinik atau rumah sakit dapat menjadi alternatif untuk kunjungan yang tidak mendesak selain datang langsung ke tempat.

Semua dokter sudah mengetahui bahkan sejak masih dalam masa pendidikannya bahwa pemeriksaan fisik pasien merupakan hal sangat penting dalam setiap pemeriksaan medis untuk menentukan diagnosis dan tatalaksana pasien. Pemeriksaan fisik tentu tidak bisa dilakukan dengan konsultasi yang dilakukan melalui situs daring. 

Meskipun konsultasi tekstual sudah bisa membantu dokter mendapatkan gambaran awal penyakit pasien, namun tidaklah lengkap tanpa diteruskan sampai tahap pemeriksaan fisik, yang berguna untuk penyingkiran kemungkinan-kemungkinan diagnosis lain (banding) yang tidak bisa dilakukan hanya melalui konsultasi tukar kata seperti di situs-situs daring tersebut. 

Dengan begitu, dokter tetap dibutuhkan untuk melakukan pemeriksaan fisik ini, saat pasien datang langsung ke tempat dokter berpraktik. Hal ini sebenarnya juga berlaku untuk tele-konsultasi era pandemi, namun tetap lebih baik dibandingkan datang langsung ke tempat yang lebih berisiko terpapar virus Covid-19 atau justru tidak pernah memeriksakan diri sama sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun