Praktik perbudakan sudah ada sejak zaman kekaisaran Romawi, dan merupakan akibat dari kekalahan perang, dimana daripada dibunuh, suatu bangsa lebih baik dijadikan sebagai budak dari yang menang. Praktik perbudakan juga berkembang masif sebagai hasil dari penjelajahan samudra dan perdagangan antar benua, serta praktik imperialisme dan kolonialisme, seperti misalnya pada awal abad ke-19, dimana sebanyak 600,000 budak dari Afrika dibawa ke Amerika (Martinez, 2013). Berbagai upaya untuk menghapuskan perbudakan juga telah diupayakan, terutama terkait dengan perbudakan bagi perempuan, dimana upaya ini bukan muncul dari lembaga formal, melainkan dari lingkungan tempat tinggal antar tetangga dan lembaga religius, yaitu gereja (Martinez, 2013). Upaya untuk menghapuskan perbudakan dan pembatasan hak-hak pergerakan perempuan yang terjadi di abad ke-19 ini kemudian menjadi salah satu akar penting dalam pengadaan dialog mengenai isu-isu kontemporer dalam hukum hak asasi manusia internasional (Martinez, 2013).Â
Akan tetapi jika menengok ke belakang dengan sedikit lebih jauh, dibawanya bangsa Afrika ke Amerika di awal abad ke-19, perdagangan budak (slave shipment), kolonialisme dan imperialisme merupakan pengekspresian perasaan dominan atau superioritas yang dimiliki oleh bangsa Barat, khususnya yang berada di benua Eropa, seperti Inggris dan Prancis, Spanyol dan Italia, sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk keluar dan 'memanusiakan' bangsa yang dianggap mereka sebagai uncivilized (Black et al., 2000). Meskipun tidak menampik bahwa terdapat pengaruh besar dari Barat juga lah yang menghadirkan hukum hak asasi internasional dan anti perbudakan seperti saat ini. Meskipun begitu, apakah perbudakan benar-benar telah hilang?
Jika kita melihat dari sistem ekonomi internasional saat ini, ekonomi neoliberal merupakan nilai yang dominan. Dimana, negara berkembang dan miskin merupakan 'budak' dari negara maju melalui pinjaman hutang yang seperti lingkaran setan, yang sangat sulit untuk suatu negara untuk kemudian mengurangi pengaruh negara eksternal dalam kehidupan dan politik domestik negaranya begitu mereka terjebak dalam pinjaman hutang. Mengutip dari John Adams, "There are two ways to conquer and enslave a nation. One is by the sword. The other is by debt" (John Adams dalam Carrera, 2021).Â
Mungkin dari sini akan muncul pertanyaan, lalu apa hubungannya perbudakan negara dengan perbudakan manusia? Untuk menjawab itu, pertama, perlu diketahui bahwa ketika negara terkena hutang, maka negara yang terlilit akan menggunakan seluruh pendapatannya untuk membayar hutang, dan setelah itu, untuk kepentingannya. Selama proses ini, infrastruktur publik atau sektor ekonomi lokal yang mungkin lebih produktif dan lebih solid tidak akan ditangani oleh pemerintah, sehingga artinya, jika utang tersebut dilunasi, negara tersebut harus berhutang lagi untuk membangun kembali infrastruktur ekonomi yang mampu bertahan terhadap tantangan sosial saat ini (Carrera, 2021). Inilah yang dimaksud dengan lingkaran setan, ketergantungan yang tiada berakhir. Kedua, kepentingan nasional negara. Kepentingan nasional negara akan mempengaruhi political will dari para pemimpin negara. Sehingga, apabila pemenuhan hak asasi manusia, seperti penghapusan perbudakan secara maksimal dan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan tidak terdapat dalam kepentingan nasional, atau bukan termasuk prioritas - disepelekan, dianggap bisa dikerjakan nanti - kepentingan nasional negara, maka perlindungan dan pemenuhan hak tersebut tidak akan kunjung dipenuhi.Â
Ketiga, kembali kepada rasa nasionalisme. Mengambil contoh dari sejarah bangsa Eropa dalam Black et al (2000), rasa nasionalisme yang menguat, sampai kepada titik etnis tertentu merasa lebih unggul dari etnis lainnya lah yang menjadi kemunduran Eropa dari masa keemasannya dan menghancurkan kekaisaran multinasional besar seperti Austro-Hungary. Sama dengan hal ini, di negara yang memiliki banyak bangsa, akan terdapat pemikiran yang tertanam di alam bawah sadar para pemimpin negara bahwa mereka lebih unggul dari kelompok lainnya. Baik itu etnis lain, maupun kelompok ekonomi yang kelasnya dibawah mereka. Pandangan sejenis inilah yang menjadi justifikasi bagi negara untuk melakukan perbudakan modern kepada warga negara. Sehingga memanglah betul bahwa perbudakan tradisional telah sangat jarang terjadi, namun nyatanya itu telah berubah menjadi perbudakan modern.Â
Akhir kata, ketika perbudakan dibawa ke dalam sistem, nyatanya itu tidak pernah hilang atau dihapuskan sepenuhnya. Melainkan bagian-bagian ekstrim-nya lah yang dihapus, dan sisanya disesuaikan dan mengalami evolusi sehingga subjek perbudakannya tidak akan sadar bahwa dirinya sedang mengalami perbudakan. Namun, seperti bagaimana pergerakan komunitas-komunitas yang berawal dari akar rumput, hingga menjadi transnasional dan membangkitkan kesadaran global dapat menghapuskan perbudakan tradisional dan mendirikan hukum hak asasi internasional bagi isu tersebut, demikian pula sumber kekuatan pergerakan yang sama dapat menghapuskan perbudakan modern oleh negara ini.Â
Referensi:
Black, C. E., English, R. D., Helmreich, J. E., Helmreich, P. C., & McAdams, A. J. (2000). Europe Triumphant: 1300-1900. In Rebirth: A Political History Of Europe Since World War II (pp. 3-53). Avalon Publishing.
Carrera, B. (2021). Capitalism's Incompatibility with Human Rights' Compliance awarded by the University of Barcelona Solidarity Foundation with a Special Distinction on the research of peace]. DOI: 10.13140/RG.2.2.27235.68643
Martinez, J. S. (2013). The Anti-Slavery Movement and the Rise of International Non-Governmental Organizations. In D. Shelton (Ed.), The Oxford Handbook of International Human Rights Law (pp. 222-249). Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/law/9780199640133.003.0010Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI