Mohon tunggu...
Cindy Olivia
Cindy Olivia Mohon Tunggu... Universitas Jember

Saya suka semua.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bertahan di Trotoar: Antara Perut dan Peraturan

12 Juni 2025   08:12 Diperbarui: 12 Juni 2025   08:12 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Saat pertama kali menjadi mahasiswa baru di Jember, saya sempat membayangkan perjalanan dari kost ke kampus bakal seru. Selain untuk menghemat pengeluaran, jalan kaki bisa menyehatkan. Tapi kenyataannya jauh dari bayangan. Kota Jember ternyata panas banget, dan yang bikin tambah panas, trotoarnya hampir tidak bisa dipakai buat jalan kaki. 

Trotoar yang aku lihat di sana lebih mirip etalase dagang. Daripada untuk pejalan kaki, trotoar di Jember penuh dengan gerobak, meja jualan, sampai kursi makan memenuhi ruang pejalan kaki. Jadinya, kita harus turun ke jalan raya, di mana kendaraan bermotor melaju kencang. Kalau tidak hari-hati, langkah kaki kita bisa jadi langkah terakhir.

Lucu juga ya. Dari kecil kita sudah diajarkan soal fungsi trotoar. Tapi kenyataan, yang berjalan kaki cuma kebagian sisa ruang. Ini bukan sekadar soal jalan, tapi soal keadilan.

Kalau dipikir-pikir, masalah ini sebenarnya mencerminkan ketidakadilan sosial. Kenapa ruang publik yang seharusnya bisa dipakai semua orang malah dikuasai atau pihak? PKL yang punya usaha tentu ingin cari nafkah. Tapi seharusnya mereka juga tidak mengorbankan hak pejalan kaki.

Pancasila sebagai dasar negara kita, mengajarkan nilai keadilan dan kemanusiaan. Kedua mengingatkan kita agar perlakukan sesama manusia dengan adil beradab, sedangkan sila kelima ditegaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, di lapangan, seolah yang kuat yang berhak, dan sayangnya, pejalan kaki bukan yang kuat.

Tentu saja, kita tidak bisa menyalahkan pedagang kaki lima (PKL). Mereka juga bagian dari masyarakat yang sedang berjuang untuk hidup. Tapi haruskah perjuangan satu pihak mengorbankan pihak lain? Harusnya ada solusi yang manusiawi dan adil bagi semua.

Misalnya, pemerintah bisa menyediakan zona khusus untuk PKL berdagang yang tetap memberi ruang aman untuk pejalan kaki. Dengan begitu, tidak ada yang dirugikan, dan ruang publik bisa digunakan bersama secara bijak.

Trotoar bukan hanya jalur beton di pinggir jalan. Trotoar adalah cermin kota itu sendiri, apakah kota itu peduli kepada manusianya atau hanya mementingkan hak sepihak? Kota yang manusiawi bukan cuma kota dengan jalan raya besar dan padat tapi kota yang memberikan ruang bagi mereka yang berjalan kaki, yang pelan tapi pasti. 

Lantas bagaimana harusnya kita bersikap? 

Pemerintah: Membuat kebijakan yang adil dan berpihak pada semua warga, termasuk PKL dan pejalan kaki.

Masyarakat: Menyadari bahwa ruang publik adalah milik bersama, bukan milik satu kelompok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun