Mohon tunggu...
Cika
Cika Mohon Tunggu... Tutor - ...

No me gusta estar triste . Pecinta "Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang" #WARKOP DKI . Suka menjadi pekerja tanpa melewati titik kodrat wanita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Koin Keberuntungan

10 April 2020   01:59 Diperbarui: 10 April 2020   02:04 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by pixabay.com

Menutup telpon dengan hati-hati, matanya jelalatan. Memandang ke atas telpon umum, memastikan tidak ada CCTV lalu dia tarik kembali benang dari koin yang dia masukkan ke dalam mesin telpon umum.

"Hebat, dengan koin ini aku bisa menakut-nakuti setiap orang yang dulu menghina dan mencibirku."

Dia tutup memo di tangannya, wana coklat tua dengan ujung yang sudah keriting. Tak ada yang berani menyentuhnya, di halaman muka tertulis namanya dan di ujung namanya dia sematkan gambar pistol serta pisau berlumuran darah.

35 tahun dia berjibaku dengan paku dan batu, menunggu untuk menuju tanah rupanya tak semudah memecah nanah.

Dia selalu menyesal telah lahir menjadi anak Sukanti dan Marjuki. Pasangan tua ini tak salah bila mereka punya anak diberi nama Cilako. Entah apa yang ada dalam benak mereka, yang pasti menurut pengakuan tetangga, Cilako hadir saat sedang terjadi wabah penyakit di kampungnya. Penyakit ini bisa menyerang siapa saja, namun akan berdampak mematikan bila penyakit ini menyerang anak kecil, balita, terlebih lagi pada bayi baru lahir.

Sadar bahwa Sukanti telah berbadan dua, dan wabah masih terlalu liar menyelimuti kampungnya maka Marjuki memberi nama CIlako, dia yakin bahwa Cilako akan hadir tidak lama setelah Sukanti kesakitan , mengaduh, meregang nyawa dan membuang berliter darah. Dan setelah itu hanya satu tarikan tangis yang akan didengar, karena setelahnya Cilako akan mati.

Marjuki keliru, Cilako hidup.

Menyesal tak pernah datang di awal. Cilako benar-benar mendapat celaka.

Usia 3 bulan, Cilako terjatuh dari ranjang. Kepala membentur lantai tanah yang mengeras menyerupai batu. Menangis dengan kuat tak membuat darahnya berhenti mengalir. Sukanti hanya menggendongnya dan menembangkan rumekso ing wengi. Cilako tertidur.

Berkali-kali Cilako celaka, Sukanti dan Marjuki terlalu teledor, hingga Cilako tumbuh dengan muka dan badan penuh luka, baret di seluruh tubuhnya. Bahkan akhirnya Cilako memanjangkan rambutnya agar dia bisa menutupi sebagian mukanya.

"Lari, cepat lari. Penjahat kampung menuju ke sini!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun