Mohon tunggu...
Chyntia Pinky
Chyntia Pinky Mohon Tunggu... Administrasi - Tidak ada

Penulis | Kreator | Pelaku Seni | Praktisi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

ASEAN Perlu Pengadilan HAM!

24 Juni 2018   14:01 Diperbarui: 24 Juni 2018   14:17 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jarang terekspos media masa, keberadaan korban pelanggaran HAM berat masih menderita. Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada negara-negara ASEAN masih belum terselesaikan, bahkan beberapa diantaranya hingga kini masih terjadi seperti kasus perekrutan tentara anak di Myanmar dan pelanggaran HAM terahdap etnis Rohingya. Selain itu, kita perlu bercermin pula bahwa di Indonesia sendiri setidaknya masih ada 8 kasus dari 11 kasus pelanggaran HAM berat yang belum tuntas ditangani dan terkesan seolah tidak ingin diselesaikan.

Legitimasi yuridis dalam hal ini memegang peranan penting untuk menjamin bahwa setiap manusia tanpa memandang ras, agama, suku, dan bangsa berhak untuk hidup secara layak sebagai makhluk Tuhan yang harus diperlakukan dengan baik. Setidaknya terdapat 3 pembagian hukum mengenai HAM, yaitu: Deklarasi Universal HAM, pengaturan regional Deklarasi HAM seperti Deklarasi HAM Regional ASEAN di Bangkok 1993, dan pengaturan hukum nasional yang diratifikasi dari hukum internasional.

Memang dalam menjamin HAM, negaralah yang memegang peranan penting untuk memastikan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM terhadap warga negaranya. Sayangnya, dalam beberapa kasus pelanggaran HAM sendiri justru dilakukan oleh negara itu sendiri. Maka diperlukannya legitimasi hierarkis yang lebih tinggi untuk dapat menyelesaikan kasus-kasus tersebut.

Di ASEAN saat ini terdapat Intergovernmental Commission on Human Righs  (AICHR) yang didirikan sebagai bentuk kepekaan negara-negara ASEAN terhadap HAM. Sayangnya, keberadaan AICHR di ASEAN hanya sebatas pada promosi yang bersifat persuasif, bukannya bersifat 'menyelesaikan' dan kurangnya sifat 'memproteksi'. Dapat dilihat dari beberapa kasus yang tidak memperoleh penanganan oleh AICHR diantaranya: pengaduan yang dibuat oleh korban pelanggaran HAM berat di Indonesia pada tahun 1966 dan insiden kerusuhan Mei 1998 serta 16 kasus yang diajukan oleh masyarakat sipil lainnya. Ini dikarenakan AICHR belum memiliki mekanisme penyelesaian sengketa HAM.

Maka sebagaimana regional Eropa, Inter-Amerika, dan Afrika telah memiliki pengadilan HAM, sudah seharusnya regional Asia Tenggara memiliki pula pengadilan HAM-nya sendiri. Mengingat masih banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berlarut dan cenderung sensitif yang sejatiya sulit untuk diselesaikan oleh negara masing-masing.

Dalam hal ini, dengan adanya keberadaan pengadilan HAM, AICHR memiliki intervensi khusus terhadap negara yang berkaitan dengan kemanusiaan. Bahwa sejatinya kita perlu memandang HAM sebagai suatu hal yang pelu dilindungi oleh segenap manusia. Sebab, tanpa keberadaan pengadilan HAM, AICHR tidak memiliki sifat keefektifan yang nyata dalam mewujudkan tujuannya untuk memajukan dan mengapuskan pelanggaran HAM.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun