Mohon tunggu...
Chyntia Pinky
Chyntia Pinky Mohon Tunggu... Administrasi - Tidak ada

Penulis | Kreator | Pelaku Seni | Praktisi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sensor Mandiri, Pilih Film Sesuai Kebudayaan Sendiri

8 Juni 2018   22:56 Diperbarui: 8 Juni 2018   23:21 1964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film merupakan produk representasi untuk mempelajari kebudayaan. Sering kali film digunakan sebagai media pembelajaran baik secara otodidak maupun konvensional. Pada saat ini dunia perfilman sendiri berkembang secara dinamis. Film baru bermunculan setiap saat memenuhi media elektronik, tidak terkecuali di Indonesia. Tapi keberadaan film-film tersebut tidak selalu memiliki dampak positif, banyak di antaranya yang mengandung nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. 

Sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman, bahwa semua film yang ditayangkan di Indonesia harus mempunyai surat tanda lulus sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF), namun kemajuan teknologi membuat keberadaan film-film yang dapat ditayangkan menjadi tidak terkontrol, ditandai dengan adanya layanan streaming film melalui internet.

Layanan streaming adalah sebuah teknologi yang memungkinkan distribusi audio, video dan multimedia secara real time melalui internet. Layanan streaming ini memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk memilih film apa saja tanpa adanya penilaian apakah film tersebut layak untuk ditayangkan (sensor).

Pada dasarnya layanan streaming di Indonesia adalah illegal karena tidak mendapatkan izin dari LFS sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman tersebut, namun ada kalanya peraturan, kebijakan dan hukum terkait perfilman mempunyai keterbatasan apalagi melihat perkembangan dinamis dikalangan masyarakat, seperti :

Teknologi, kemajuan teknologi dan informasi yang kian pesat dapat membuat film dapat dengan mudah diakses dari berbagai media seperti internat, tv berlangganan, dan lain-lain, namun dari sisi teknologi masih banyak lagi celah yang belum dapat terjangkau atau dipayungi oleh peraturan, seperti halnya layanan streaming. Layanan ini sangat populer di kalangan masyarakat karena memiliki kemudahan akses untuk menonton film secara gratis.

Keberagaman masyarakat, dimana dengan latar belakang suku, agama, ras, dan kebudayaan yang berbeda-beda membuat kesulitan tersendiri untuk membuat keputusan yang dapat memuaskan semua pihak.

Oleh sebab itu, perlu adanya swasensor atau sensor mandiri dari diri penonton guna memilih tontonan yang berkualitas dan baik sesuai dengan usia. Sensor mandiri sendiri berarti bahwa penonton berperan aktif dalam memilih film yang sekiranya layak untuk ditonton dan mana yang tidak. Hal ini tentu saja cukup mudah karena LFS telah memberikan pedoman untuk melakukan sensor mandiri, diantaranya:

  • Klasifikasi Rating

Tidak ada klasifiksi rating yang diberikan dalam situs-situs layanan streaming. Oleh karena itu, diharapkan kepada masyarakat untuk lebih cerdas dengan mengidentifikasi terlebih dahulu klasifikasi film yang akan ditonton. Dalam hal ini orang tua juga berperan penting dalam memilihkan tontonan yang sesuai bagi anak dan memilihkan situs-situs sesuai usia anak.

  • Batasan dengan Agama

Penanaman nilai-nilai keagamaan penting dilakukan. Hal ini tidak hanya berguna bagi kehidupan sosial tumbuh kembang masyarakat, namun juga untuk membatasi tingkah laku seseorang terutama dalam hal membatasi menonton film-film yang tidak sesuai dengan nilai keagamaan.

  • Kearifan Budaya Lokal

Dengan keberagaman kebudayaan Indonesia, ada baiknya kita memilih film yang sesuai dengan kebudayaan tersebut. Misalnya pemilihan film-film yang notabenenya menggunakan bahasa yang santun dan mengandung nilai-nilai kebaikan sebagaimana nilai-nilai yang menjadi identitas bangsa. Tapi perlu diketahui, bahwa Indonesia terdiri dari beragam kebudayaan yang berbeda. 

Keberagaman ini menyebabkan nilai-nilai dalam masyarakat berbeda pula. Pada masyakarat tertentu, penayangan film-film dengan tato di tubuh bisa saja terkesan tabu, namun oleh suku-suku seperti Mentawai dan Dayak, tato merupakan kebudayaan bernilai tinggi dalam kehidupan sosialnya. Sehingga dengan begitu masyarakat perlu memilih sendiri tontonan yang sesuai dengan karakter kebudayaan masing-masing.

  • Pemanfaat Teknologi dan Internet

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun