Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kita Memang Kalah Kelas dari Jepang, Jalan Masih Panjang

16 November 2024   10:12 Diperbarui: 16 November 2024   10:14 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Suporter Indonesia (Achmad Ibrahim Associated Press) 

Tim Samurai Biru menghancurkan Garuda di dadaku di hadapan 60.000 lebih pendukung yang memadati Stadion Gelora Bung Karno. Gol bunuh diri dari Justin Hubner pada menit ke-35 mengawali kehancuran pasukan Shin Tae-yong yang sempat mengejutkan dengan peluang matang Ragnar Oratmangun yang terbuang sia-sia.

Pasukan Hajime Moriyasu kemudian menambah keunggulan lewat gol berkelas Takumi Minamino, lima menit sebelum wasit Bonyadifard Mooud dari Iran menutup babak pertama.

Di babak kedua, Jepang masih tetap superior, Hidemasa Morita kembali mengubah skor menjadi 3-0 di awal babak kedua. Yukinari Sugawara yang baru masuk dari bangku cadangan menggantikan Ritsu Doan menambahkan gol keempat Jepang.

Kecewa?? Ah sudahlah, ini adalah hasil yang memang sudah diduga sebelumnya. Jepang sebagai raksasa Asia sudah jelas-jelas bukan tandingan timnas merah putih, di daftar peringkat FIFA dengan selisih 115 tingkat saja sudah menunjukkan bagaimana gambaran kekuatan kedua tim.

Hasil pertandingan melawan Jepang ini setidaknya mengingatkan kita untuk tidak membawa angan-angan terbang terlalu tinggi. Berharap sih iya, karena ada semangat nasionalisme disini, tetapi hasil positif itu akan ada di partai lain berikutnya dan itu bukan dari Jepang.

Dari pertandingan semalam, Jepang telah mengajarkan kepada kita bagaimana iklim sepakbola profesional itu bisa membawa hasil yang positif di lapangan. Liga sepakbola Jepang, J1 League boleh dikata salah satu Liga terbaik di Asia, sangat profesional.

Namun, dari 23 skuad yang dibawa Jepang dalam pertandingan semalam, hanya dua pemain yang bermain di liga lokal Jepang. Kedua pemain itupun adalah penjaga gawang yakni Keisuke Osako penjaga gawang Sanfrecce Hiroshima dan Kosei Tani kiper Machida Zelvia.

21 pemain lainnya berkiprah di Eropa, di liga-liga utama Eropa seperti Inggris, Spanyol, Jerman, Perancis, Italia, Portugal, Belanda dll. Dan rata-rata pemain Jepang menjadi pemain utama di klubnya, tidak dapat dipungkiri bahwa iklim profesional dan kompetitif di liga itulah yang membawa pemain-pemain Jepang menjadi bintang bagi timnasnya.

Hal positif yang sama juga diperoleh timnas Indonesia, dengan pemain-pemain naturalisasi dan juga non naturalisasi yang berkompetisi di liga Eropa, Australia dan Jepang dan Korea Selatan. Hasilnya bisa kita lihat, peningkatan kualitas cukup signifikan.

Namun meski sedikit beraroma instan terutama dalam hal naturalisasi pemain, tetapi jalan ini yang harus ditempuh setidaknya sebagai trigger untuk membangun iklim persepakbolaan yang profesional di tanah air.

Bedanya dengan Jepang mereka memiliki Liga lokal yang profesional dan mereka sudah lama melakukannya. Sementara di Indonesia, harus kita akui bahwa Liga kita itu "salah urus", model kompetisi yang berubah-ubah, belum lagi kerusuhan suporter, manajemen klub hingga gaji pemain yang masih kerap menjadi masalah di klub-klub.

Kembali ke laga melawan Jepang, mereka adalah lawan yang tangguh, mereka tim yang sudah punya kelas bahkan kelas utama, tim sekelas Jerman pun pernah dibantai di Piala Dunia dengan skor 2-1.

Sementara timnas kita harus diakui belum punya kelas mereka masih mencari kelasnya. Tapi percayalah jalan kesana sudah terintis, semoga tidak lagi dirusak oleh segala kepentingan di luar sepakbola yang selalu mendompleng di persepakbolaan nasional.

Dari laga melawan Jepang, meski kalah kelas, penampilan beberapa pemain kita cukup positif dalam beberapa hal, penjaga gawang Maarten Paez yang melakukan empat penyelamatan sepanjang permainan namun Jepang memang terlalu tangguh.

Rizky Ridho cukup apik di posisinya, memiliki kesadaran posisi yang baik dan perannya yang cukup besar dalam memenangkan kembali penguasaan bola di area-area penting.

Jay Idzes yang bekerja keras dan dengan heroik menahan gempuran Jepang, membuat delapan sapuan yang penting. Begitu juga Justin Hubner yang beberapa kali melakukan intersep dan menjadi sosok vital di lini belakang Indonesia, meski akhirnya melakukan gol bunuh diri.

Yang menjadi persoalan di timnas dan belum-belum terpecahkan sampai sejauh ini adalah lini depan yang belum memiliki pemain yang tajam, dan secara keseluruhan kemampuan mencetak gol dari pemain-pemain kita masih sangat kurang. Terus terang ini yang paling membuat gregetan, penyelesaian akhir yang ibaratnya lelaki terkena penyakit impoten akut.

Melihat gol kedua Jepang yang dicetak Takumi Minamino mantan pemain Liverpool yang kini berseragam Monaco, ini jelas membuat cemburu, betapa mudahnya Ia mencetak gol berkelas tersebut.

Sebuah proses gol seakan Minamino sudah tahu bola akan diarahkan kemana oleh Kaoru Mitoma, Ia hanya butuh berlari menyongsong bola dan melakukan tembakan first time keras yang sangat sulit diantisipasi oleh kiper siapapun.

Begitu juga dengan gol-gol dari Jepang berikutnya yang dicetak Hidemasa Morita dan Yukinari Sugawara, gol-gol yang tercipta dari kematangan pemain yang terasah dari pengalaman bermain di level tinggi.

Hidemasa Morita gelandang tengah yang bermain di Liga Portugal bersama Sporting CP sudah terasah dalam persaingan tingkat tinggi, baik itu di klub untuk menjadi pemain utama maupun melawan tim-tim kuat di kompetisi.

Sporting CP saat ini memuncaki klasemen Liga Portugal, dan ada di peringkat dua Liga Champions. Hidemasa Morita termasuk dalam skuad utama Sporting saat mengalahkan Man. City di Liga Champions.

Yukinari Sugawara mantan pemain AZ Alkmaar yang musim 2024/25 ini membela Southampton, bermain sebagai bek namun Ia juga kerap mencetak gol dan memberi assist. Bersama Southampton, Sugawara telah tampil 10 kali dimana 8 kali sebagai starter dan dua kali sebagai pemain pengganti serta sekali di bangku cadangan, dengan 1 gol dan 1 assist.

Musim lalu di Eredivisie Belanda, bersama AZ Alkmaar, Sugawara tampil dalam 30 laga, dengan 4 gol dan 7 assist. Di musim sebelumnya, Ia bermain 31 kali dengan 3 gol dan 8 assist.

Begitu juga dengan pemain Jepang lainnya yang berkompetisi di liga elit Eropa dan di klub-klub papan atas, seperti Wataru Endo di Liverpool, Ritsu Doan di Freiburg, Ko Itakura di Borussia Monchengladbach, Kaoru Mitoma di Brighton Hove Albion dll.

Kekalahan dari Jepang, bukanlah ukuran kegagalan timnas, kita kalah karena memang lawan jauh lebih tangguh, peringkat 15 FIFA melawan peringkat 130, ibarat Goliath vs David dan sayangnya kita bukan David.

Shin Tae-yong dan para pemain naturalisasi bukanlah dewa yang bisa merubah ayam sayur menjadi ayam aduan. Mereka adalah manusia biasa yang juga punya kekurangan, bisa saja digantikan untuk visi dan misi serta tujuan yang baik dan jelas.

Lupakan laga melawan Jepang, percayalah dan yakinlah kemenangan kita akan terwujud saat melawan Bahrain dan juga China, namun kita mesti bersabar menunggu hingga 2025.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun