Mohon tunggu...
Christie Damayanti
Christie Damayanti Mohon Tunggu... Arsitek - Just a survivor

Just a stroke survivor : stroke dan cancer survivor, architect, 'urban and city planner', author, traveller, motivator, philatelist, also as Jesus's belonging. http://christiesuharto.com http://www.youtube.com/christievalentino http://charity.christiesuharto.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Pak RT yang Memeras Warga, Ternyata Masih Ada!

3 Maret 2019   11:36 Diperbarui: 3 Maret 2019   16:18 1733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita tentang "mafia tanah" di Indonesia, khususnya di Jakarta, memang sudah menjadi rahasia umum. Ketika orang tua saya mempunyai beberapa bidang tanah dan ada yang pernah dijual oleh oknum, dan diterbitkan sertifikat palsu, kami sudah merasakan sendiri, betapa orang tua kami membeli dari hasil keringatnya tetapi dijual oknum dan ditebitkan sertifikat palsu.

Aku tidak mau berdebat tentang ini, karena pasti sudah banyak orang yang pernah berhadapan dengan mafia-mafia tanah ini. Dan kami sungguh merasa bahwa negara kami ini tidak nyaman dengan berbagai kejahatan, terutama dengan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

Saat ini, ibu saya sudah menemukan pembeli untuk sebidang tanah kami di kawasan Klender. Tanah ini dibeli orang tua saya sekitar tahun 1980-an. Dan orang tua saya selalu membayar PBB dan pajak-pajak lainnya, setiap tahun, lewat bank.

Dahulu, setelah ibu membayar pajak-pajaknya, anak buah papa mengambil SPPT-nya ke kelurahan di sana. Dan setelah papa meninggal, ibu tetap membayar pajaknya melalui bank, tetapi tidak mengambil SPPT-nya. Ibu pikir, 'ah tidak apa-apa' tapi ibu mempunyai bukti pembayarannya yang diterbitkan oleh bank.

Lalu, siapa sangka ada yang mau membeli tanah seluas 288 m2 ini, beberapa hari lalu?

Yang mau membeli adalah tetangga tanah orang tuaku ini, katanya mau buka kost-kostan. Jadilah, kemarin ibu saya sibuk dengan semua persiapan bahkan sudah siap dengan notaris.


Jika mau dijual, memang ibu harus siap dengan semua dokumen-dokumennya, termasuk SPPT sejak tanah ini dipunyai oleh orang tua saya. Sehingga itu harus mengambil SPPT yang terakhir tahun 2018, untuk melihat nilai NJOP-nya. Begitu hasil diskusi dengan notaris.

Nahhh....

Masalah mulai dari sini....

Semua sudah didiskusikan antara ibu, notaris serta calon pembeli. Kami, 3 orang anak dari orang tuaku sudah menandatangani sebagai ahli waris.

Kemarin, ibu dengan diantar salah satu oom-ku, datang ke lokasi tanah, dengan notaris serta calon pembeli. Ibu diminta membuat surat pengantar dari RT setempat, di daerah Buaran tanah milik orang tuaku. Surat pengantar ini untuk mengambil SPPT tahun 2018 ke kantor pajak.

Ibu dengan oomku serta calon pembeli, datang ke Pak RT "S". Begitu ke rumahnya, ibu sudah diperas. Sebelumnya, memang si calon pembeli sudah bilang, bahwa RT di sana gila uang dan selalu memeras warga, jika butuh bantuan. Bahkan sampai jutaan! Dan sepertinya, warga tidak bisa berbuat apa-apa.

Begitu juga dengan ibuku.

Ketika ibu dan oomku ke sana, Pak RT meminta uang, tetapi belum bicara "berapa". Karena ibu sudah di beritahu tentang pak RT ini, ibu memang sudah menyiapkan uang, sekedarnya. Ibu hanya bawa uang Rp500 ribu untuk mengurus ini.

Pak RT di sana meminta uang tanpa bilang berapa, lalu ibu memberikan Rp400 ribu. Kata ibu, Pak RT langsung berhitung. Dan dia bilang,

"Wah..., kalau ini kurang Bu. Untuk Pak RW-nya gimana?"

Ibu jawab, "Ini bareng-bareng dengan Pak RW. Ok pak, saya kasih 100 ribu lagi."

Dan memang uang ibu tidak ada lagi di dompet. Jadi, uang ibu Rp500 ribu sudah ludes....

Pak RT bilang, "Nanti kalau surat sudah selesai, ibu kasih uang lagi ya."

(foto tidak bisa aku tayangkan)

Dokumentasi pribadi

Surat pengantar RT ini memeras ibuku Rp500 ribu! Benarkah, surat ini berharga Rp500 ribu?

Ibu sudah stress, karena kata ibu, Pak RT-nya sangat menekan ibu. Ibu khawatir, nanti rencana penjualan tanah ini disabotase. Karena terbukti, sejak beberapa saat lalu, tanah ibu dari 288 m2, sudah berkurang menjadi 250 m2. Ibu susah untuk mengklaimnya. Seperti mencari jarum di tengah-tengah jerami. Mafia tanah sudah merajalela.

Jadi, tanah orang tuaku di Klender ini, sudah berkurang sekitar 30 m2! Entah, siapa yang berbuat, tetapi orang tuaku sudah tidak mempermasalahkannya....

Ok-lah....

Akhirnya, kemarin ibu pulang dengan stress berat sampai beliau sakit. Pak RT sudah menelpon 14 kali, dan ibu tidak angkat. Dan SMS beberapa kali dan ibu tidak membalasnya. Dan ibu stress berat. Tadi pagi, ibu baru cerita kepadaku.... 

Dokumentasi pribadi Nomor HP Pak RT yang menelpon 14 kali ke HP ibuku, dan tidak ibu angkat, karena sudah stress.
Dokumentasi pribadi Nomor HP Pak RT yang menelpon 14 kali ke HP ibuku, dan tidak ibu angkat, karena sudah stress.
Aku mempelajari situasi dan aku mulai membalas SMS Pak RT, dengan "ancaman". Aku katakan, tentang pemerasan kepada ibuku, dan kata-kata pembeli tanah, tentang RT yang suka memeras. Dan kuancam untuk kulaporkan lewat QLUE serta menulis di Kompasiana.

Pak RT tetap berusaha untuk menghubungi ibu (karena aku membalas sms-nya lewat HP ibu), tetapi aku tidak mengangkatnya. Pak RT minta supaya aku angkat teleponnya dan "kita bicara!" 

Itu yang aku tidak setuju! 

Jika aku mau bicara dengannya, berarti aku sudah masuk perangkapnya. Dia akan meminta maaf, karena terbukti setelah tadi pagi aku balas SMSnya dan "mengancam"nya, surat pengantarnya sudah diberikan kepada oom-ku, TANPA MEMINTA UANG LAGI!

Bahkan, oom-ku menawarkan, "Berapa sisa yang harus dibayar?" 

Dijawabnya, "Ah..., ga usah." 

Berarti, dia ketakutan dengan "ancamanku".... 

Jika aku mau diajak bicara, berarti aku masuk ke perangkapnya. Dia akan meminta maaf dan mungkin dia baik-baik kepada ibuku. Tetapi, bagaimana dengan warga yang lain? Aku 100% yakin, dia tetap akan memeras warga lain, kecuali ibuku! Dan aku tidak mau itu! 

Beres? 

Mungkin! Beres, bahwa surat pengantar sudah dibuatkan untuk oom-ku bawa ke kantor pajak, untuk mengambil SPPT tahun 2018. Dan selanjutnya transaksi bisa berjalan. 

Tidak beresnya adalah aku tidak mau Pak RT ini memeras warga lainnya. Akhirnya, aku SMS Pak RT itu lagi. Untuk mengembalikan uang Rp500 ribu milik ibuku ke rekening atas nama ibuku. 

Karena aku tahu, buat surat pengantar itu tidak dikenakan biaya. Jika surat selesai, jika si pembuat surat mau memberi secara sukarela, ya silahkan saja. Tetapi TIDAK MEMINTA BAYARAN SAMPAI Rp500 RIBU, bahkan lebih lagi jika menuruti permintaan Pak RT, untuk kasus ibuku! 

Bagaimana warga di sana? Memang Rp500 ribu itu sedikit? Banyak sekali, tahuuu.... 

Aku marah dan sungguh amat marah
Aku tidak tahu, apakah kasus ini bisa ditindak atau tidak. Aku tidak akan memperpanjang, tetapi tulisan ini akan ku-share ke medsos sampai instansi-instansi yang berkepentingan. 

Aku sudah melaporkan di QLUE. Syukur-syukur tulisan ini bisa terbaca oleh Gubernur bahkan pemerintah pusat. Bahwa, mafia tanah masih merajalela, walau aku tahu pemerintah sudah berusaha untuk mengecilkannya. 

Sekarang, 

Aku hanya menunggu jawaban dari pemerintah. Dan aku tetap menunggu transferan Rp500 ribu dari Pak RT yang memeras ibuku. Dan semoga dari tulisan ini, Pak RT itu ditindak tegas! Apapun bentuknya. Supaya warga di sana, bisa terbantu jika berhubungan dengan RT di sana....
***
Reformasi mental memang susah. Pak RT ini jika memang hanya sekedar diperingatkan, aku yakin dia akan tetap memeras warga. Tetapi jika dia ditindak tegas, dia harus mendapatkan "shock terapy". Karena orang-orang seperti ini, dipikirannya hanya "untuk memperkaya diri"-nya saja, memeras masyarakat! 

Dan amanah seorang RT adalah melayani masyarakat.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun