Sebab, permasalahan Indonesia yang kita hadapi kini bukan lagi sekadar rusaknya alam atau hancurnya tatanan ekonomi, melainkan juga keretakan moral yang menggerogoti sendi-sendi bangsa. Kita sedang hidup di masa ketika etika tinggal rangkaian kata tanpa makna, hukum kehilangan taring, dan kejujuran berubah menjadi barang langka. Negeri ini seakan berdiri di atas panggung sandiwara panjang, di mana kebenaran dan kepura-puraan bertukar peran.
F. Rahardi dalam artikelnya Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu membuka tabir tentang penyakit sosial bangsa yang terjebak dalam ketakutan semu. Ia menggambarkan bagaimana masyarakat kita mudah dilanda kepanikan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak berbahaya---seperti ulat bulu---namun begitu tenang menghadapi kemerosotan moral dan krisis akal sehat. Ulat bulu yang seharusnya menjadi bagian dari keseimbangan alam justru dijadikan musuh, sebagaimana kita memusuhi kebenaran yang seharusnya kita pelihara. Rahardi menohok kesadaran kita bahwa negeri ini sesungguhnya sedang dikuasai "fobia moral," ketakutan untuk berpikir jernih dan bertindak benar.
Ironi itu semakin terasa nyata ketika kita menatap kasus pagar laut ilegal di perairan Banten. Editorial Tempo menyingkap wajah buram penegakan hukum yang carut-marut dan penuh sandiwara. Bukannya menegakkan keadilan, para aparat justru terjebak dalam lingkaran birokrasi yang membingungkan dan saling menyalahkan. Proses hukum yang seharusnya sederhana berubah menjadi labirin kepentingan. Fakta-fakta terang-benderang seolah diselimuti kabut kekuasaan. Kasus ini bukan semata persoalan pelanggaran tata ruang laut, melainkan cermin dari tumpulnya nurani hukum negeri ini. Saat hukum tunduk pada modal dan kuasa, maka keadilan hanyalah fatamorgana di padang tandus kekuasaan.
Budiman Tanuredjo dalam tulisannya Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati memperdalam luka moral bangsa. Ia menyoroti para pemimpin yang telah bersumpah atas nama Tuhan untuk menegakkan demokrasi dan mengutamakan kepentingan rakyat, tetapi justru mengkhianati janji itu dengan mudahnya. Sumpah dan etika tinggal teks mati, sekadar formalitas di awal jabatan tanpa makna dalam laku kehidupan. Dua puluh enam tahun pascareformasi, idealisme yang dahulu berkobar kini meredup. Rakyat kembali menjadi penonton dari drama kekuasaan yang miskin keteladanan. Tanuredjo mengingatkan bahwa bangsa ini kehilangan "muazin" moral---sosok-sosok yang mampu menyeru dari menara nurani tentang kejujuran, kesederhanaan, dan tanggung jawab.
Ketiga artikel tersebut sejatinya bertemu dalam satu benang merah: Indonesia sedang dilanda krisis moral kolektif. Dari ketakutan yang tak beralasan, penegakan hukum yang berbelit, hingga pelanggaran sumpah jabatan, semuanya berakar pada hilangnya rasa malu dan tanggung jawab. Bangsa ini seakan takut menghadapi dirinya sendiri---takut pada kebenaran, takut kehilangan kekuasaan, dan takut kehilangan topeng kepura-puraan yang menutupi kebusukan sistem.
Kini, sudah saatnya bangsa ini berhenti menjadi penonton di negeri sendiri. Sudah waktunya kita menyalakan kembali api kejujuran yang padam, menghidupkan kembali sumpah yang telah dilupakan, dan mengembalikan hukum ke pangkuan nurani rakyat. Sebab tanpa keberanian moral, semua reformasi hanyalah omong kosong; tanpa integritas, setiap sumpah hanyalah gema hampa di ruang parlemen yang sunyi makna.
Semoga mimpi panjang yang membelokkan arah reformasi segera usai. Semoga keadilan kembali berdiri sebagai menara nurani bangsa---menyadarkan setiap insan untuk mengelola negeri ini dengan hati yang bersih. Dan semoga para pemimpin kita kembali mengerti bahwa jabatan bukan tempat berlindung dari kesalahan, melainkan amanah suci untuk menjaga marwah kemanusiaan dan kebenaran.
Sumber Artikel
F. Rahardi, Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu --- Kompas.com
Editorial Tempo, Penindakan Hukum atas Kasus Pagar Laut Ilegal di Perairan Banten --- Tempo.co
Budiman Tanuredjo, Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati --- Kompas.com, 28 Agustus 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI