Maka, alih-alih melihat Gen Z sebagai fakta, kita lebih tepat memahaminya sebagai efek diskursif. Mereka hadir dalam bentuk yang kita kenal bukan karena realitasnya sederhana, tetapi karena wacana dominan membentuknya demikian.
Dengan perspektif ini, generasi menjadi cermin dari relasi kuasa dalam masyarakat. Apa yang tampak sebagai "karakter generasi" sebenarnya adalah refleksi dari pertarungan ekonomi, politik, dan budaya.
Dari Generasi ke Struktur
Akhirnya, kita harus bertanya: apa gunanya kritik terhadap konsep generasi ini? Jawabannya sederhana: agar kita tidak terjebak dalam mitos yang mengalihkan perhatian dari struktur sosial yang sebenarnya juga menentukan hidup kita.
Gen Z bukanlah entitas homogen yang bisa didefinisikan secara tunggal. Mereka adalah individu-individu dengan posisi sosial yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh kelas, gender, etnisitas, dan lokasi. Tapi, ketika label "Gen Z" diperlakukan sebagai realitas alamiah, perbedaan ini menghilang, dan masalah struktural ikut tersembunyi.
Dengan mengalihkan perhatian ke "karakter generasi," kita lupa membicarakan isu besar: neoliberalisme yang semakin eksploitatif, ketidaksetaraan kelas yang melebar, krisis iklim yang makin akut, atau demokrasi yang terus melemah. Semua masalah ini direduksi menjadi soal "mentalitas Gen Z."
Maka, kita perlu menggeser fokus dari generasi ke struktur. Pertanyaan penting bukanlah "siapa itu Gen Z?", melainkan "siapa yang diuntungkan dengan definisi Gen Z sebagai begini atau begitu?" Pertanyaan ini menyingkap relasi kuasa yang bersembunyi di balik narasi populer.
Dengan perspektif itu, kita bisa melampaui jebakan homogenisasi. Kita bisa melihat anak muda bukan sebagai satu blok generasi, tetapi sebagai kelompok yang beragam, yang menghadapi struktur sosial berbeda. Hanya dengan cara ini, kita bisa memahami kondisi nyata mereka.
Akhirnya, generasi hanyalah cermin kabur. Apapun nama generasinya, sajiannya tetap buatan. Yang lebih penting untuk kita bongkar adalah struktur sosial yang menentukan siapa yang berkuasa, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dimarginalkan.
Tanpa itu, pembicaraan tentang Gen Z akan selalu jatuh pada mitos. Dan, kita tahu, mitos lebih sering bekerja untuk melanggengkan status quo daripada membebaskan manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI