Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Panja Putusan MA : Multifungsi, Disfungsi Dan Mak Erot

7 Maret 2012   05:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:24 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Komisi III DPR RI telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Putusan MA (Mahkamah Agung) dengan tujuan hendak meneliti dan memeriksa putusan lembaga peradilan tertinggi di Indonesia ini. Meski hal ini mungkin bukan lagi sebuah topik yang aktual, namun Saya masih tergelitik untuk buka suara lewat tulisan, karena sebagai seorang rakyat yang seharusnya terwakili oleh mereka pun Saya merasa berhak pula berpendapat.

Sedikit mengingat pemahaman pribadi mengenai Demokrasi Pancasila di negeri tercinta ini. Bahwa apa yang selama ini Saya pahami adalah sistem kekuasaan/demokrasi kita sedikit banyak mengadopsi skema Trias Politika yang dicetuskan oleh Montesqieu, yakni adanya kekuasaan eksekutif (pemerintahan), legislatif (perundang-undangan), dan yudikatif (peradilan). Namun demikian yang dicetuskan oleh Montesqieu itu dalam demokrasi Pancasila dipoles kembali sesuai karakter mulia bangsa kita. Dengan kata lain, Montesqieu menerapkan sebuah “pemisahan” kekuasaan sedangkan kita lebih memilih “pembagian” kekuasaan. Maksud pembagian dalam hal ini adalah agar masing-masing pemegang mandat kekuasaan itu tetap bisa saling terkoneksi dalam melaksanakan tugasnya dan lebih seirama tanpa masing-masing saling menjatuhkan. Itu yang saya cerna, tolong dikoreksi jika kurang tepat.

Terkait dengan Panja Putusan MA yang dibentuk oleh Komisi III DPR dan kalau tak salah telah mulai bekerja tanggal 1 Maret kemarin, banyak pihak yang kontra (menyayangkan). Saya belum menemukan terdapat pihak yang mendukung (pro), kemungkinan besar hanyalah mereka yang duduk di kursi legislatif khususnya Komisi III ini saja yang “ngotot” mendukung. Dan kebetulan, Saya juga termasuk dalam pihak yang kontra, murni tidak mendukung, bukan karena ikut-ikutan saja.

Saya setuju dengan banyak pendapat yang menilai langkah Komisi III ini “kebablasan”. Selain landasan hukum yang kurang jelas, patut dipertanyakan pula maksud dan tujuan utama dibentuknya panja ini. Karena jika ditinjau dari tugas dan wewenang DPR secara umum serta Komisi III pada khususnya, baik yang diatur dalam UUD 45 (amandemen) ataupun peraturan perundangan di bawahnya, sulit ditemukan adanya “kepantasan/kelayakan” mereka membentuk panja ini. Meskipun bisa saja mereka tetap mencari “pembenaran” saat hendak mempertahankannya, pasti tetap banyak dalih yang bisa dibuat, baik itu tentang tidak ada larangan/batasan tegas serta alasan klasik aspirasi rakyat.

Banyak “kelucuan” yang akan terjadi  ketika Panja ini bertujuan hendak memeriksa dan meneliti Putusan MA. Yang pertama adalah mengenai kapasitas anggota panja itu sendiri. Di samping kemampuan dalam bidang hukum mereka yang diragukan untuk menyamai/melampui para hakim agung, jika  mereka hendak menempatkan posisi yang notabene “merasa lebih hebat” (karena hendak memeriksa dan meneliti) pada akhirnya akan dipertanyakan mengenai produk apa yang akan mereka hasilkan dan kegunaan/kekuatan produk itu untuk ditindaklanjuti.

Yang kedua, putusan MA adalah suatu produk yang didalamnya telah nyata terlindungi oleh Undang-undang tersendiri (kekusasaan kehakiman) yang didalamnya terkait erat dengan kewenangan/indepensi hakim (agung). Jika Komisi III berkehendak memeriksa dan meneliti produk ini, maka mau tidak mau mereka akan terkesan jauh merasuki hal yang bersifat materiil secara hukum. Dalam ini kembali dipertanyakan produk apa yang akan mereka hasilkan. Jika nantinya mereka akan memberikan sebuah rekomendasi, pada siapa dan legalitas produk itu untuk dilaksanakan akan jauh dari kelayakan. Namun jika hasil akhirnya hanyalah pendapat hukum (legal opinion), jelas sangat tidak diperlukan hadirnya sebuah panja tersendiri.

Yang ketiga, mengingat perilaku anggota DPR yang cenderung “tidak berkenan” di mata rakyat selama ini, langkah mereka membentuk panja untuk hal yang terkesan “mengintervensi” kewenangan lembaga tinggi lain dalam hal ini MA seperti halnya sebuah “bunuh diri”. Apalagi Mahkamah Agung secara umum masih dipandang lebih kredibel daripada para anggota DPR itu sendiri. Panja ini akan dinilai sarat kepentingan politik.

Yang keempat, jika panja ini berdalih akan lebih fokus pada faktor lain terkait etika/perilaku hakim dalam membuat sebuah putusan, jelas hal ini akan jauh panggang dari api. Karena DPR seharusnya memandang dan menghormati lembaga lain pula yakni Komisi Yudisial yang lebih berkompeten melaksanakan tugas ini.

Pada akhirnya Saya memandang bahwa pembentukan Panja Putusan MA ini adalah sebuah hal yang sangat tidak diperlukan. Yang tertangkap adalah kesan bahwa DPR hendak menunjukkan arogansi dan keinginan superiornya saja. Mereka hanya ingin dipandang lebih “perkasa” dibandingkan kekuasaan/lembaga tinggi lainnya. Setelah mereka berusaha tampak lebih kuat dari eksekutif, sekarang kekuasaan yudikatif pun hendak diintervensi juga.

Sebuah lembaga tinggi layaknya DPR ketika dengan dalih demi rakyat mereka hendak menunjukkan sebuah tindakan “multifungsi”, namun tanpa kebijaksanaan  matang serta justru mengabaikan fungsi utamanya yang sampai saat ini belum menunjukkan hasil positif, maka yang terjadi adalah sebuah “disfungsi” (kemunduran). Padahal jelas bahwa apa yang selama ini dikehendaki rakyat yang katanya mereka wakili adalah ingin agar DPR khususnya Komisi III “berfungsi” sebagaimana mestinya terutama dalam hal tugas/kewenangan legislatif.

Langkah DPR selama ini terutama dalam tindakan terbaru itu jika diibaratkan sebagai seorang pria dan rakyat adalah perempuan/pasangan yang hendak dipikatnya adalah sosok lelaki yang tengah mengalami ketakutan/masalah dengan “alat vital”nya yang dia rasa kurang besar. Tindakan  “kurang rasional” karena paradigma hanya besarnya alat vital itulah yang akan mampu  memuaskan wanita/pasangannya. Hal ini membuat Panja Putusan MA di Komisi III DPR layaknya “Mak Erot” saja.

Seperti halnya wanita/pasangan merasa nyaman/bahagia/puas dengan laki-laki/suaminya tidak melulu menimbang besar atau kecil alat vitalnya, namun terutama adalah “cara memainkannya” yakni sikap mengayomi serta bertanggungjawab sesuai tugas dan kewajibannya. Demikian juga tak jauh beda terhadap apa yang dibutuhkan rakyat pada DPR sebagai wakilnya.

Salam.

.

.

C.S

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun