Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Mengancam, Diancam, Terancam dan Ancaman

20 Maret 2012   02:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:44 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Akhir-akhir ini kata yang menggunakan kata dasar ancam sempat menghangat dengan segala bumbu-bumbu perluasan tanggapan dilatarbelakangi oleh pemahaman dan tentu saja kepentingan penghangatnya.

Ada baiknya kita kembali menengok secara jernih ketika ada kalimat yang diungkapkan oleh seseorang dengan tema ancam mengancam ini. Tentu saja agar kita bisa mendudukkan sebuah makna sebagaimana mestinya, tidak bias, apalagi jika sudah diolah sesuai pola pikir yang hendak diciptakan berlatar belakang motivasi-motivasi lain yang memberangus substansi.

Sebelumnya Saya sedikit mengutip perkataan (Presiden) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya selaku pembina partainya yang disiarkan oleh TVRI. Kurang lebih inti perkataan beliau demikian “, Kebijakan untuk menaikkan harga BBM memanglah keputusan yang sulit, tak ada presiden yang gembira melakukan langkah ini. Pro dan kontra pasti timbul. Dari SMS-SMS yang masuk ke nomor kami ada yang setuju, tidak setuju, ada yang mendoakan bahkan ada yang memaki bahkan mengancam. Tapi tak apalah...”

Ketika kita tilik arti kata mengancam itu menurut KBBI jika tak salah kutip kurang lebih adalah menyatakan maksud (niat,rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mencelakakan pihak lain (pihak yang diancam).

Tentu saja dalam konteks mengancam jelas ada obyek yang diancam. Efek turutannya adalah pihak yang diancam tersebut merasa terancam, dan yang ini adalah lebih fokus pada sebuah rasa. Baik terkatakan oleh si obyek atau tidak rasa terancam itu pastilah ada. Masalahnya di sini adalah pada besar atau kecilnya rasa terancam itu bagi si obyek terkait adanya ancaman tersebut.

Sebuah contoh fiktif sebagai pembanding. Ketika si Budi, anak kelas 5 SD diperjalanan dicegat oleh pemuda berandal lalu ditodong belati. Sang penodong mengancam akan menusuknya jika si Budi menolak menyerahkan uang sakunya. Maka jelas kadar rasa terancam si Budi ini pasti demikian besar bahkan mungkin tak mampu ia tanggulangi sehingga lebih memilih menyerah.

Ketika konteksnya adalah ungkapan dari seorang presiden yang menyatakan bahwa terkait kebijakan (sulit)nya untuk menaikkan BBM, ada pihak yang memaki dan mengancam, tentu saja dapat diyakini bahwa maksud yang kemungkinan besar ingin beliau sampaikan adalah bukan dibesar-besarkan pada rasa terancam itu, apalagi sepertinya beliau tidak pernah mengungkapkan secara langsung rasa terancam itu.

Yang Saya tangkap dari perkataan presiden dalam hal ini adalah ingin memberikan pemahaman bahwa dalam keputusannya yang sulit (terpaksa) menaikkan BBM ini dia menanggung resiko untuk tidak populer, dimaki bahkan diancam. Sebesar atau sekecil apapun reaksi tidak suka (ancaman) dari pihak lain, kebijakan ini harus tetap dia ambil. Dan meski tersirat, jelas mudah dicerna bahwa presiden tidak takut pada ancaman itu, bukan ingin dianggap menderita dan dikasihani, apalagi merasa terancam dalam kadar yang besar. Dia ingin rakyat tahu bahwa dia tahu ada pihak yang tidak menyukai kebijakannya, bahkan ada pihak yang ingin mengail di air keruh (kudeta). Bukan hanya ditujukan pada rakyat saja, namun tentu juga kepada pihak yang diduga ingin berbuat nista tersebut (jika ada).

Dan tak perlu kita suruh dan ributkan pun pastinya presiden melalui intelejen telah melangkah mengantisipasi bahkan menindaklanjuti secara prosedur, jika hal itu ada dan terbukti.

Sangat disayangkan menurut Saya, ketika kita dan media terlalu membelokkan tema ancam mengancam ini menjadi “bias” dan melebar ke mana-mana. Sebaiknya jangan menerjemahkan menjadi presiden merasa terancam (besar) atau bahkan dibalik menjadi presiden yang mengancam (rakyat) lah, padahal andai beliau “mengancam” pihak-pihak yang diduga hendak mengail di air keruh, sah-sah saja menurut Saya.

Tak usah berlebihan, mari kita cerna maksud dan perkataan seseorang sesuai konteks dan substansinya. Intinya jika ancaman dan kudeta itu ada, presiden kita dan perangkat negeri ini tidak takut dan sudah siap menghadapinya. Rakyat tak usah terlalu membesarkan/mensensasionalkan "keinginan/pemahaman" takutnya.

Ini pendapat pribadi Saya dalam memaknai, silahkan jika ada yang berbeda pendapat, namun sebaiknya tak usah memaki, apalagi mengancam. Sama-sama rakyat kok.

Salam.

.

.

C.S.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun