Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jauhi Adikku, Playboy!

1 Maret 2012   11:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:41 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sketsa wajah indah seorang gadis yang  menyita hatiku hampir usai kugores pada selembar kertas putihku. Hanya butuh sedikit arsiran pensil halus pada tepi-tepi rambut pendeknya dan sosok mempesona dengan senyum lembutnya akan segera tampak di mataku. Ingin kubingkai hasil goresanku dan kupajang pada dinding kamarku.

Tapi dering ponsel di saku membuatku harus menundanya sejenak. Kudengar suara berat Anton, sahabat dan juga rekan kerjaku.

“ Bram, kita harus bertemu malam ini juga” , Ada yang aneh pada suaranya, biasanya dia tak sedingin ini. Kubayangkan wajahnya yang murung saat lontarkan suara.

“ Tengah malam begini? Ada apa sih, Ton?”

“ Aku tunggu. Di sudut taman kota”

“ Emang..”

Tut..tut..tut..

Anton menutup telponnya tanpa menjawab pertanyaanku. Dan sepertinya aku harus ke sana. Dia jarang bersikap seperti ini jika tak ada hal penting dan harus segera selesai. Seperti kebiasaannya selama ini di kantor tempat kami bersama bekerja.

***

Taman kota ini jelas sudah sunyi. Lampunya yang redup menjadikannya bertambah senyap. Apalagi langit terlihat mendung, gelap tanpa satu pun bintang yang menampakkan diri. Dingin, itu pasti.

Lelaki itu berdiri beku dengan muka mengeras. Ingin segera tahu keinginannya, aku menghampirinya bergegas. Dingin dan tajam tatap mata, saat aku selangkah didepannya.

“ Hai, Ton. Ada apa malam-malam beg..”

“ Bugh!”

“ Akh!”

Sapaanku belum tuntas ketika tak kusangka pukulan Anton meluncur deras. Tepat menghantam wajahku. Tubuhku yang betul-betul tak bersiap terhempas keras. Pukulannya betul-betul menyakitkan. Pandanganku menjadi sekejap berkunang-kunang, darah menetes dari hidung dan bibirku yang terluka. Warna merah itu nyata disela jari saat aku mengusapnya.

“ Ton..! Kenapa?”

“ Kau telah menghinaku, Bram!”

“ Maksudmu?”

“ Kau sepelekan apa yang pernah kumohon padamu”

“ Ini tentang apa?”

“ Aku sering bilang, jangan kau dekati Vina, adikku!”

Hm, ini rupanya. Jadi ini tentang Vina, gadis yang sketsa wajahnya ingin segera kuselesaikan. Aku ingat, Anton memang selalu keberatan saat aku bertanya tentang adiknya itu. Yang kutahu, alasannya adalah wajar, karena sekian lama kami bersahabat, dia tahu banyak riwayatku, terutama deretan wanita sebagai kekasihku yang tak memakan waktu lama lalu kutinggalkan.

Selama ini aku tahu dia selalu mencegah agar aku jangan sampai bertemu dengan adiknya. Namun apa hendak dikata, aku dan Vina akhirnya bertemu juga ketika aku berkunjung ke rumah mereka. Dulu niatku hendak bertemu Anton, tapi dia tak ada. Dan kuakui sejak pertemuan pertama itu, pesona dan kelembutannya selalu mengganggu tidurku. Getaran itu merasuk dada saat kami berkenalan. Halus genggamannya laksana belaian kasih yang meneduhkan.

Pertemuan pertama berlanjut ke kisah-kisah kami selanjutnya. Aku dan Vina memiliki perasaan yang sama. Dan sebuah tekad yang bulat, wanita ini hendak kujadikan akhir pelabuhan hatiku nanti. Meski tengah merahasiakan, aku tetap ingin memberitahukan tentang hubungan kami pada Anton, namun tentu saja tidak serta merta. Menunggu saat yang tepat.

Tapi ternyata yang direncana tak selalu berjalan sesuai kehendak. Entah mengapa, Anton lebih dahulu tahu tentang aku dan Vina. Inilah sekarang yang membuatnya murka.

“ Ton. Maaf, aku belum mengatakannya padamu..”

“ Tak perlu! Sekarang aku sudah tahu. Yang penting, segera akhiri hubungan itu. Jauhi Vina!”

“ Tidak. Tak akan. Aku bersungguh-sungguh dengan adikmu”

Dukh!

Hukh!

Aku terjerembab lagi. Perutku terasa pecah ketika tendangannya mendarat keras di sana. Sakit sekali yang kurasa, tapi aku begitu terpana melihat Anton begitu marahnya. Tak pernah selama kami bersahabat melihat dia seperti kesetanan itu.

“ Uhk..., sab..sabar, Ton”

“ Jangan kau samakan adikku dengan Maya, Rani, Grace, Anita dan yang lainnya, Bram!”

“ Tentu tidak, Ton. Vina yang terakhir..”

“ Huh. Playboy tengik! Aku selalu tahu kebiasaanmu!”

“ Beneran, Ton. Percayalah,..”

“ Aku tak percaya!”

“ Akan kubuktikan!”

“ Tak perlu! Tinggalkan dan jauhi saja adikku!”

“ Tidak! Kau tak berhak melarang aku dan Vina, kami...”

Plak! Dukh! Dess!

Bruk!

Bertubi-tubi Anton menghajarku sepenuh tenaga. Tentu saja selain tak sempat, aku pun tak berniat melawan ataupun menangkisnya. Begitu runyam suasana, dia begitu tega menjadikanku bulan-bulanan. Badanku serasa remuk redam hingga ke ujung-ujung tulang.

Dia sejenak berhenti mengobral pukulan ketika tubuhku lemah meringkuk di rerumputan.

“ Bram, kumohon. Akhiri hubungan kalian”

“ Tidak! Kecuali Vina yang mengatakan”

Dukh!

Auhk!

Tendangannya kembali menghantam iga. Sesak dan nyeri.

“ Dengar, Bram. Terakhir kali aku harus mengatakan sesuatu padamu”

“ A..apa..itu?”

“ Vina jantungnya lemah dan mengidap...leukimia”

Aku sedikit terhenyak di sela remuk redam sakitnya badan. Tapi bayang-bayang senyum teduh itu melenyapkan segala keraguan, aku akan tetap melanjutkan hubungan. Justru semakin berlebih kehendakku untuk membuat Vina bahagia.

“ Memangnya kenapa, Ton. Aku akan tetap bersamanya”

“ Sudahlah, Bram. Kau hanya akan menyakitinya. Tingkah lakumu selama ini akan membuat aku kehilangan adikku satu-satunya”

“ Ton. Tidakkah manusia bisa berubah?”

“ Iya. Tapi itu bukan kamu! Aku tahu siapa kamu! Tinggalkan adikku! Atau aku akan...membunuhmu!”

“ Maaf, Ton. Aku akan tetap dengan Vina..”

“ Playboy keras kepala!”

Blugh! Dug! Dess!

Auhk!

Anton kembali kesetanan. Aku yang sudah terkapar tak berhenti dijadikannya sansak pukulan dan tendangan, bahkan injakan sepenuh daya. Bertubi-tubi hantaman itu semula terasa sekali nyeri dan menyesakkan, namun lama-kelamaan tubuhku seperti kebas menerima, karena selanjutnya sekelilingku menjadi gelap tak berwarna.

***

Semula agak kabur namun perlahan wajah itu nyata di depanku. Vina, gadis ayu ini tampak sayu di tepi pembaringanku. Sekarang kurasakan kembali seluruh tubuhku remuk redam. Apalagi rusukku, seperti berderak saat ku coba sedikit bergerak. Mungkin ada yang patah atau retak. Hm, aku berharap tulang yang patah itu tak parah. Dan kuharap gadis manis didepanku ini adalah bagian dari rusukku yang katanya hilang satu. Dilenganku jelas tertanam jarum infus, mengalirkan cairan melalui selang kecil dari botol bening di atasnya.

“ Mas Bram, ..sudah sadar”, suara lirih dan lembutnya menyapa. Ada seulas senyum meski sedikit berat menggelantung di bibir tipisnya.

“ Ughh.., Vin.., aku di rumah sakit?”

“ Iya, Mas. Jangan banyak bergerak”

Jemari kami saling menggenggam, halus dan hangat yang mengalir dari sana membuat tubuhku terasa ringan.

“ Kemana kakakmu?”

“ Setelah membawamu ke sini, dia menyerahkan diri ke kantor polisi”

“ Akh,..kenapa harus begitu? Aku harus ke sana. Ini tak perlu,...aughk..”

“ Mas, jangan banyak gerak dulu.., tunggu setelah sembuh, Mas Bram bisa ke sana”

Aku terdiam, menatap wajah teduh yang tak bosan kubuat sketsa. Ada murung di sana. Akh, mudah-mudahan peristiwa yang terjadi tidak menjadikan kambuh sakitnya. Vina sejenak beranjak, geraknya gemulai menyentuh remote penyejuk ruangan, menaikkan temperatur karena memang ruangan ini terlalu dingin. Lalu dia kembali duduk, kali ini di tepi pembaringan.

“ Mas, kamu sudah tahu tentangku, kan?”

“ Hmm,..iya, Vin”

“ Kalau tentangmu dan wanita-wanita lain itu, benarkah kata Mas Anton?”

Aku sejenak diam. Aku menyesali suasana ini, seharusnya aku lebih dulu menceritakan, tak perlu dengan peristiwa tak terduga seperti ini.

“ Maksudmu, Vin?’

“ Mas Bram, playboy? Suka gonta ganti pacar?”

“ Vin. Pentingkah itu? “

“ Aku tak tahu, Mas”

“ Yang jelas, sekarang kekasihku hanya kamu, Vin. Bukankah masa lalu tak bisa diulang?”

Vina terdiam. Aku tak tahu apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Ah, andai saja aku lebih dulu mengatakan semua pada Anton, peristiwa semalam pasti tak terjadi. Andai saja aku lebih cepat menyatakan pada Vina tentang semua. Tapi semua telah terjadi, suasana tak riang itu lebih dahulu datang.

“ Mas, mungkin benar apa kata Mas Anton itu”

“ Vin...kamu..?”

“ Lebih baik kita berpisah, sebelum semua menjadi menyakitkan”

“ Vin,..kamu tak percaya aku? Aku yakin, aku mencintaimu. Bukankah sama yang kau rasakan?”

“ Bukan tentang kamu, Mas. Tapi tentang aku”

“ Kamu..?”

“ Aku tak pantas untukmu. Kau akan menyesal jika terus bersamaku”

“ Tidak, Vin...tak akan..”

“ Mas Bram akan mudah mencari gadis yang lebih sempurna daripada aku..”

“ Vin,...tak ada yang seperti kamu.., jangan begitu...”

Vina beranjak dari duduknya, melepas rangkaian jari kami yang sebelumnya saling genggam. Lalu dia tersenyum ringan, manis sekali. Dengan jari lembut dikibaskannya anak rambut yang jatuh dikeningnya. Namun berderai kembali karena rambut pendeknya itu begitu lembut dan berkilau adanya.

Ada genangan berkaca di indah matanya. Ia tunduk mengecup pipiku.

“ Mas Bram. Aku sayang  kamu”

“ Vin,..aku..”

“ Tapi, maafkan aku yang harus pergi darimu”

“ Vin,..jangan Vin...”

“ Aku tak pantas buatmu..., selamat tinggal Mas, semoga cepat sembuh”

“ Vin...!”

Gadis ini dengan lembut melepas tanganku yang berusaha menahannya. Ada isak yang kudengar, tapi dia lebih bergegas melangkah pergi.

Sakit sekali semua yang kurasa. Semua nyeri bersahutan ketika aku hendak memaksakan diri menahannya. Aku rebah kembali. Remuk redam laksana seribu anak panah menghujam.

Dia pergi saat sketsa wajahnya sekejap lagi kuselesaikan.

***

.

.

C.S

Maret/2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun